"Kalian pasangan yang tampak sehat, segar!" ujar salah satu teman dari Cina
Dia bisa berbicara bahasa Indonesia? Tentu tidak dong, kebetulan istrinya dari Sumatera. Ada penerjemah saat kami berbincang di lobby hotel W Barcelona.
Ada rahasia umum yang ingin aku bagikan terkait pertanyaan temanku tadi. Suami seorang disabilitas, usianya pun sudah tidak muda lagi, sementara aku, dengan angka empat puluh empat, rasanya angka yang cukup fantastis dibandingkan angka tujuh belas. Perbedaan usia kami cukup jauh yakni, empat belas tahun. Tak jarang orang sering mengira bapak dan putrinya.
"Dia, bapakmu?" ketika kami ke luar kota.
"He's your father?" Ketika kami ada acara di luar Indonesia.
Pertanyaan itu sering terdengar, aku santai saja menanggapi dan menyikapi mereka. Dari satu pertanyaan tak jarang mereka jadi teman baik, saling berkunjung, saling mendoakan. Itulah yang diutamakan.
Aktivitas kami sederhana saja, seperti orang pada umumnya, bangun, tidur, makan. Ada sedikit berbeda dalam keseharian kami. Walaupun suami disabilitas tanpa tangan, dan tanpa kaki kanan, tidak membuat kami manja.Â
Bangun sebelum subuh aktivitas ibadah, setelahnya baru olahraga. Dengan kaki satu sebelah kiri, suami sudah biasa joging, sit-up. Aku sendiri jogging keliling kampung dengan anak cewek, sesekali bergantian dengan anak cowok. Namun, anak cowok lebih sering absen menemaniku, dia sudah banyak latihan fisik di clubnya.
Setiap akhir pekan aku selalu bersepeda dengan suami, bersepeda sudah sering dilakukan sebelum Pandemi. Kampung-kampung menjadi buruan, untuk hobiku ini suami memakai motor roda tiga.Â
Jika menghendaki bersepeda agak jauh melewati kota, suami memakai mobil kesayangannya si putih. Ups kesayangan kan hanya satu juga mobilnya. He ... he ... ada niat nambah sih, hanya belum jodoh, mau pilih yang mana, mana, mana. Lupakan!Â
Kembali ke hobi keluarga kami, fitness manjadi salah satu olahraga favorit anak cowok setelah renang. Itu menular kepadaku yang suka olahraga.