Jika ada yang mengatakan kehidupan kita tidak pernah ada konflik, itu diragukan kebenarannya. Sebagai makhluk sosial yang beragam karakter tentu dalam sebuah hubungan sosial sering terjadi konflik. Bahkan menurut  Dahrendorf dalam Margaret (2000:131), manusia memiliki sifat ganda yakni memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama.
Gesekan antara pasangan suami istri, kakak adik, antar teman, atau organisasi sering terjadi. Namun, bisa dikatakan konflik, jika dia tidak mampu mengolahnya dengan baik. Jika dia pandai mengolah setiap permasalahan, akan terasa itu bukan suatu konflik.
Sebenarnya konflik terbesar adalah bukan dengan orang lain atau dalam perang guna kemenangan. Namun, konflik dari dalam diri sendiri. Salah satu konflik diri yang paling besar adalah bagaimana menetralisir hati untuk melawan hawa nafsu. Seperti sabda Rasulullah saw., yang berbunyi:
"Jihad yang paling utama adalah seseorang berjihad [berjuang] melawan dirinya dan hawa nafsunya," (hadits ini derajatnya shahih. Diriwayatkan oleh Ibnu An-Najjar dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu.)
Kita pahami dulu apa yang dimaksud konflik.
Salah satu definisi yang selama ini banyak digunakan dalam beragam buku adalah sebagai berikut:
"Conflict is a struggle over value or claims to status. And acarce resources, in which aims of the conflicting parties are not only to gain the desired values but also neutralieze, injure, or eliminate their rivals." (International Encyclopaedia of the Social Science (Vol.3,1972:232).
Dalam teori ini disebutkan bahwa konflik bisa didefinikan sebagai tindakan untuk memperebutkan suatu nilai atau klaim status, dan sumber daya yang baik Yang mana tujuan para pihak yang berkonflik tidak hanya untuk mendapatkan nilai yang diinginkan tetapi juga menetralkan, melukai, atau melenyapkan saingan mereka.
Konflik menurut KBBI adalah percekcokan; perselisihan; pertentangan. 2. Ketegangan atau pertentangan di dalam cerita rekaan atau drama (Pertentangan antar dua kekuatan, pertentangan dalam diri satu tokoh, pertentangan antara dua tokoh, dsb); (sastra)
Konflik dipahami berdasarkan dua sudut pandang yakni tradisional dan kontemporer (Myers, 1933). Dalam pandangan tradisonal, konflik adalah sesuatu yang buruk, konflik ini sering dijadikan penyebab terjadinya pecahnya suatu hubungan, kelompok ataupun sebuah organisasi. Konflik dalam pandangan ini sering kali dikaitkan dengan kemarahan, pertentangan, dan agretivitas. Itu sebabnya konflik harus dihindari.
Dalam pandangan kontemporer, konflik didasarkan pada anggapan bahwa konfik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Konflik di sini adalah sebagai konsekuensi logis yang harus dihadapi, ditangani sehingga tidak merusak hubungan antar pribadi, antar kelompok, bahkan antar organisasi. Konflik dalam pandangan kontemporer adalah sesuatu hal yang biasa terjadi. Konflik bukan dijadikan suatu hal yang destruktif, melainkan harus dijadikan suatu kontruktif.