Mohon tunggu...
Sri Patmi
Sri Patmi Mohon Tunggu... Penulis - Bagian Dari Sebuah Kehidupan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis adalah Bagian dari Self Therapy www.sripatmi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Artikel Sri Patmi: Salibu Padi di Tanah Gemah Ripah Loh Jinawi

1 Januari 2021   17:16 Diperbarui: 1 Januari 2021   17:20 1019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dokpri
Dokpri
Setelah menentukan lokasi pengamatan, kemudian dilakukan survey lokasi untuk mengamati fase tumbuh padi pada segmen yang terpilih dengan menggunakan Hand Phone berbasis Android. 

Hasil pengamatan berupa foto kondisi lahan dan keterangan hasil amatan lainnya dimasukan ke dalam aplikasi pada Hand Phone tersebut yang kemudian nanti akan direkapitulasi oleh sistem yang telah dirancang oleh BPS. 

Setelah seluruh data ditabulasi dan direkapitulasi, dilakukan perhitungan peramalan luas panen produksi padi. Kemudian hasil luas panen yang telah ditentukan dikalikan dengan produktivitas yang akan menghasilkan jumlah produksi padi. 

Jumlah produksi yang dihasilkan masih berupa bentuk Gabah Kering Panen (GKP). Untuk mendapatkan angka jumlah produksi beras, BPS menggunakan beberapa angka konversi dari proses GKP ke  beras.

Pada tahun 2015 dan 2016 grafik berbeda terjadi dengan adanya grafik gerak naik dan turun. Kementan RI membuat program antisipasi dini, yaitu rehabilitasi irigasi, pompanisasi dan sumur dangkal. Hasilnya, produksi beras tetap naik dan surplus. Sebagai pembanding, penduduk Indonesia pada 1998 sebanyak 201 juta jiwa, dan pada 2015 berjumlah 255 juta jiwa. 

Kondisi iklim 2015 lebih parah dari 1998. Dengan kalkulasi impor beras di 1998 sebesar 12,1 juta ton, maka harusnya pemerintah impor beras 16,8 juta ton. Tetapi berkat Upaya Khusus (UPSUS) Padi Jagung dan Kedelai, Indonesia tidak perlu impor beras sebanyak di tahun 1998.

Sekedar diketahui 2016 tidak ada rekomendasi impor beras konsumsi. Beras yang masuk awal 2016 merupakan luncuran dari kontrak impor beras Bulog 1,5 juta ton pada akhir tahun 2015. Juga pada 2017 tidak ada impor beras konsumsi, namun 305 ribu ton yang merupakan beras menir untuk industri, bukan konsumsi (dengan HS Code sama). Pada peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 6 tahun 2012 tentang impor beras, hanya ada satu pos tarif beras yang tercantum. Pos tarif beras dengan kode 1006.30.99.00

Bukti lain bahwa produksi beras naik dapat dilihat dari gambaran, bahwa jumlah penduduk tahun 2014-2018 bertambah 12,8 juta jiwa dan mestinya membutuhkan tambahan beras 1,7 juta ton. Kebutuhan tersebut selama ini sudah dapat dipenuhi dari petani, dan saat yang sama petani juga masih menyimpan beras sebagai surplus produksi. Bila Stok Bulog menjadi ukuran, maka stok beras di gudangnya kini ada 2,34 juta ton beras.

Polemik data yang simpang siur antara Kementan dan BPS, dimana pada tahun 2018 Kementan memprediksi 80 juta ton GKG (Gabah Kering Giling) dan BPS rilis 56,5 juta ton GKG. Meski data yang dirilis oleh Kementan berasal dari BPS, selisih muncul karena adanya perbedaan dalam penggunaan metode perhitungan KSA dan metode lama. Dari sini sudah muncul indikasi pertanian yang loyo dan pertumbuhan semakin terancam. Kontribusi pertanian ke PDB 10,88%, terbesar ke-4 setelah industri, perdagangan dan konstruksi.

Perlu diketahui, capaian pembangunan sektor pertanian 2014-2018 meningkat drastis. Data BPS mencatat, PDB sektor pertanian naik Rp 400 triliun sampai Rp 500 triliun. Total akumulasi mencapai Rp 1.370 triliun. Peningkatan PDB petanian tahun 2018 dibanding 2017 sebesar 3.7% telah mampu melebihi target pemerintah sebesar 3.5%. Salah satu faktor yang mendongkrak peningkatan PDB pertanian adalah peningkatan ekspor.

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), dalam periode 2014 hingga 2018 terjadi kenaikan NTP. Dari acuan tersebut, pada 2012 NTP (Nilai Tukar Petani) berada di posisi 102,03 sedangkan pada 2018 berada di posisi 102,46. Sedangkan kenaikan NTUP (Nilai Tukar Usaha Petani) terpantau dari sebelumnya 106,05 pada 2014, meningkat menjadi 111,83 pada 2018. Sebagai dampaknya, pada Maret 2013, penduduk miskin secara nasional masih 14,32%, namun pada September 2018 jumlah penduduk miskin menurun menjadi 13,10%.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun