Bertambahnya usia yang sudah tak muda lagi. Bukan pula memasuki senja. Ditengah kedewasaan yang masih belum dewasa. Ditengah kematangan yang masih ranum. Berbagi aromanya saja sudah menyegarkan. Memberikan stimulus positif untuk kehidupan. Selama puluhan tahun, berbagi bukanlah menjadi barang yang tabu. Setiap detik manusia mampu berbagi dalam bentuk dan hal apapun.Â
Menjadi sempurnanya manusia telah membagi sebagian dari dirinya untuk orang lain. Seorang ibu, berbagi kebahagiaan dengan kasih tulus kepada putra putrinya. Memberikan darah dan dagingnya untuk menjadikan sosok generasi penerus mempertahankan peradaban manusia. Agungnya peradaban manusia dalam siklus kehidupan ini, menjadikan konsep berbagi semakin kompleks.
Dimana konsep berbagi dipengaruhi oleh kepentingan untuk mencapai tujuan. Menciptakan sebuah pencitraan untuk menyentuh ranah yang berbeda. Pola berpikir manusia pada akhirnya bukan berbagi dalam bentuk sederhananya alam saja. Bercampur aduk dan chaos menjadi konflik kepentingan yang beragam.Â
Sudah semestinya keagungan manusia dijadikan kunci dasar dalam sederhananya konsep berbagi itu sendiri. Memberi tanpa pamrih. Kesejatian dari hakikat alam. Pernahkah kita menyaksikan alam menagih janji atas segala pemberiannya terhadap kita? Jika manusia meminta balasan atas segala pemberiannya, sudah pasti kita sering melihat. Bahkan dijadikan sebuah hubungan transaksional dalam bentuk nilai tukar yang saling menguntungkan kedua belah pihak atau salah satunya saja. Sebuah keculasan yang mendarah daging. Alam dikuliti hingga tak bersisa. Dinikmati hasilnya, melupakan keagungan-Nya. Menodai sucinya nilai berbagi, memberi dan menyantuni.
Sosok Pak Direktur masih menjadi simbol agungnya konsep berbagi. Ia tahu jika berbagi adalah bagian dari organ tubuhnya. Bergerak bukan atas dasar perintah otak, melainkan dengan titahnya mengikuti arus alam sesungguhnya. Namun, sucinya kemuliaan berbagi itu hanya mampu dilihat dengan kesucian pula.Â
Bukan dengan kamuflase pandangan mata yang kabur karena iming-iming dunia yang tak bergeming. Merasa telah berbagi sehingga menganggap dirinya yang paling suci. Meremehkan sesamanya merasa paling tinggi harkat martabatnya. Itukah konsep berbagi sesungguhnya? Sebagian besar manusia merasakan itu. Merasakan kesucian berbagi, mengangkat kehormatannya melesat tinggi menjadi penderma. Berdiri diatas awan, terlupakan jika bumi adalah tempat berpijaknya. Memandang rendah semua yang ada di bumi.
Kondisi yang sangat ironi dirasakan oleh Pak Direktur. Dimana kesucian berbagi itu akhirnya dimanfaatkan para opportunis untuk mengeruk keuntungan. Ia yang polos apa adanya bukan tak memandang. Percuma bergulat dengan ego pecundang kehidupan. Tak sekalipun ego menghasut dirinya untuk membalas sucinya berbagi dengan kenistaan.Â
Justru, hal ini menambah gerak tubuhnya untuk terus berbagi. Ketika ditanya kepada Pak Direktur, "mau pilih berjalan diatas kepentingan atau apa adanya diri saja, pak?"Â Jawabnya sederhana hanya mengembang sedikit seperti senyum 5 mili miliknya saja. "Selama berjalan pada kebenaran, jalan apapun akan mudah dilalui"Â
Atas segala keteguhannya, ia harus terbiasa menerima penghakiman yang ditimbulkan dari pengaruh hallo effect. Pak Direktur bukan orang yang manis-manis saja membungkus dunia penuh intrik dengan bungkusan permen lollipop. Menarik dalam pandangan anak-anak kecil, manis, setelah dikonsumsi dan menjadi candu, lalu tanggal gigi-giginya dan menjadi ompong. Pak Direktur tak segan mempertontonkan sebuah aksi dramaturgi.Â
Jika saya mengenal itu sebatas konsep teori, saat ini saya melihat pertunjukan epic dari kehidupan melalui perpanjangan organ diri Pak Direktur. Alhasil, ketika pentas dipertontonkan, banyak yang merasakan itulah dirinya. Semua penonton seakan diberikan sebuah kertas, pena hitam dan pena merah untuk menilai.Â
Menjatuhkan setitik tinta-tintanya untuk memandang satu sama lain saling mempertajam pandangan dan menilai. Menilai dirinya sendiri dalam pentas laga, menilai orang lain, menilai lingkungan sekitarnya. Orang yang tak senang, akan merasa muak dengan drama mainan dari Pak Direktur, padahal ia sedang menilai dirinya sendiri yang begitu memuakkan. Secara tak sadar merasa tersingkir dengan sendirinya.
Bagi Pak Direktur tak masalah, ia tak pernah kehilangan essensi berbagi. Ia sudah merasakan suka duka berbagi, diantaranya adalah :
1. Tidak disukai banyak orang karena menjunjung tinggi kejujuran dan apa adanya.Â
Yuk sama-sama kita bertanya kepada diri sendiri! Pernahkah rayuan demi rayuan mendarat di telinga kalian? Hanya untuk membujuk dan mendapatkan simpati dengan bualan? Tentunya semua sudah merasakan. Lain halnya dengan Pak Direktur, hitam dan putihnya akan dikatakan kepada yang bersangkutan.Â
Tak peduli suka atau tidak. Bagi orang yang dapat menyaring unsur kebaikan untuk masuk dalam dirinya, hal ini akan membawa perubahan baik. Bagi orang yang tak mampu mengolahnya dengan baik, menganggap hal yang disampaikan adalah negatif. Kita bukan manusia di ruang kelas lagi. Membawa buku pelajaran, mengerjakan PR, mendengar guru. Saya mengingat sebuah pesan dari Kihajar Dewantara, jadikan setiap tempat itu sekolah dan jadikan setiap orang itu adalah guru.Â
Disinilah saya mengkaji makna qauniyah kehidupan. Pak Direktur adalah maestro kehidupan. Ia tak segan-segan mengupas segala kejadian dari perspektif pengetahuan. Ia bukan hanya memiliki makrokosmos, tetapi menciptakan sebuah harmoni cosmos. Sekali lagi, saya harus angkat topi atas segala kegigihannya.Â
Pedihnya berbagi ia rasakan dalam bentuk kebencian dari sekitarnya. Tapi ia tak pernah mendikte kepada manusia jika berbagi itu pedih dan sulit ketika harus berbenturan dengan banyak kepentingan didalamnya. Membebaskan setiap manusia memilih dan memikul beban berbagi. Mengapa beban?Â
Apapun bentuk berbagi, jika dijalankan tanpa adanya ketulusan dan keikhlasan. Ditambah lagi jika harus berurusan dengan sesuatu yang beririsan seperti ego dan kepentingan, hal ini akan terasa berat.  Lantas, itu semua membuat kita semua menyerah? Jika tak mampu memberi, tunjukkanlah sederhananya konsep berbagi dalam bentuk cerminan perangai diri. Jadilah seorang manusia pembaca lapar dan haus pengetahuan. Dengan demikian, kita sudah berbagi kepada diri sendiri. Memperlakukan diri tak ubahnya seperti samudera luas yang tak mengenal batas.
2. Kehilangan sebagian besar waktunya karena harus mendidik dan mengutamakan kepentingan orang lainÂ
Kepentingan apa yang dimaksud? Bukan kepentingan pribadi untuk mencari titik lemah lawan lalu membuatnya sebagai peluang untuk memukul mundur lawan. Justru Pak Direktur memberikan pelajaran berharga dalam bentuk pemahaman. Ia memberi pencerahan untuk membangun kesadaran manusia.Â
Disini, sudah banyak sekali orang yang diajarkan mengerti tentang dunia yang tak hanya selebar daun kelor saja. Luasnya pemahaman dunia disajikan dalam miniatur kehidupan sederhana. Jika harus memandang luasnya dunia untuk kita bisa memberi, jangkauan mata manusia takkan sanggup menggapainya.Â
Seperti sebuah kaleidoskop, ia menampilkan dengan membumi dan sederhana. Segala perspektif dimunculkan. Bukan lagi atas kepentingan pribadi, karena ia tak pernah dibayar dalam setiap kegiatan memberi dan berbagi. Bukan satu atau dua orang yang sudah ia ajarkan, tetapi banyak orang tak dikenal pada akhirnya mencari dirinya.Â
Dalam wujud manusia biasa seperti kita, sudah pasti mengeluh. Merasakan lelahnya berbagi. Sekali lagi, ia tak pernah mendikte diri dan orang lain untuk merasakan susahnya berbagi. Saat ini yang ia lakukan hanyalah terus berbagi. Mengibarkan panji-panji kepada seluruh manusia untuk memuliakan dirinya dalam sederhananya konsep berbagi. Atas segala apa yang telah ia lakukan, Pak Direktur hanya tersenyum 5 mili lagi. Ia bukan apa-apa, bukan siapa-siapa.Â
"Bisa jadi, saya pun bukan orang yang terpilih dalam sebuah konsep berbagi, bahkan tak pernah dipandang oleh kehidupan sama sekali". Masih terus bersembunyi dibalik keagungannya. Padahal dari berbagi itu, ia sudah merasakan pembalasan kontan kebaikan berbagi. Tak perlu melabelkan diri dalam bentuk blueprint magister pendidikan karena ia sudah menjadi pencerah. Meski saya sendiri, begitu menyayangkan ketika ia tak pernah mengambil kesempatan itu.Â
Seorang lulusan kampus nomor satu di Indonesia, Sarjana Fisika, Universitas Indonesia. Membuang kesempatan untuk menjadi seorang pendidik di ruang kelas universitas saja. Untuk hal ini, saya tak berani menerka-nerka, mungkin keinginannya sudah kuat untuk menjadi pengajar, pendidik dan pencerah untuk kehidupan tanpa terkungkung ruang dan waktu.Â
Pikirku, ketika ia sudah menjadi seorang dosen atau professor, dia akan menjadi sosok yang kuat dalam segala hal. Keilmuan dan pengukuhan dari manusia. Tapi faktanya ia tak pernah membutuhkan pengukuhan itu. Ruang kelas adalah batasan waktu bagi dirinya, karena berbagi itu tak pernah mengenal waktu. Nilai ini terus dia tularkan kepada setiap orang.
Semoga selalu saja ada benang emas dibalik awan yang gelap. Hingga manusia mengenal berbagi bukan hanya tataran membumi saja, tetapi tataran tinggi yang memayungi langit. Dengan harapan berbagi tak pernah ditunggangi dengan keinginan, keculasan dan kepentingan diri sendiri. Mencari pamor untuk dikenal sebagai manusia paling suci dan sakti.Â
Bisa memberi dalam bentuk materi lalu berbangga diri. Menunjukkan sifat keangkuhan, sifat keakuan dan membentengi dari sucinya nilai berbagi. Semoga kita semua dapat menteladani nilai kebaikan dari Pak Direktur. Mengambil inti sari kebaikan alam agar masuk dalam tubuh ini menjadi energi yang bermanfaat dan menguatkan kita menghadapi getirnya kehidupan. Akhir kata, besar harapan setiap nilai kebaikan dari tulisan-tulisan saya, semoga menjadi sebuah bagian dari sederhananya konsep berbagi.
Salam
Sri Patmi
 #jne #jne30tahun #connectinghappiness #30tahunbahagiabersama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H