Perjalanan saya dimulai dari sebuah kota kecil di Wilayah Bogor. Langkah kaki ini mulai sigap dan siap menantikan ekplorasi lebih tentang kota nan jauh disana. Dimana ketika kita makan tahu, kita akan mengingat kota itu. Iya, benar sekali. Tahu Sumedang.
Kota itu sudah khas dengan makanan penuh protein untuk tubuh kita. Dari sini saya menempuh 8 jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan umum.Â
Hingga saat saya menginjakkan kaki pada daratan 153.124 ha ini, saya terperangah menyaksikan keluhuran tanah yang dulunya didirikan oleh Prabu Guru Aji Putih atas perintah Prabu Surya Dewata.
Sama seperti semboyannya, Insun Medal/Insun Medangan yang berarti aku dilahirkan;aku menerangi. Terasa sekali alam disini sudah menyambutku dengan keasrian dan kesejukannya, untuk melahirkan sebuah karya luar biasa tentang Sumedang.Â
Terbayar lunas rasa lelah selama masa penantian untuk ke Sumedang ini selama pandemi. Disini saya sudah bertemu dengan salah satu sahabat saya yang terlahir dari Kota Sumedang.Â
Nuria, gadis 28 tahun yang saat ini berprofesi sebagai guru sekolah. Ia mengajak untuk menikmati camilan melegenda Sumedang yaitu tahu dengan cabe hijau sebagai penyandingnya.
Bukan hanya sekedar makan tahu saja, disini Nuria juga memberikan pemaknaan mendalam tentang asal usul tahu itu sendiri. Makanan yang menjadi ikon Kota Sumedang ini dibuat oleh Ong Kino, keturunan Tionghoa pada tahun 1917.
Ia juga menuturkan bahwa tahu ini juga berasal dari bahasa Tionghoa, tao hu, yang berarti tao itu kacang dan hu itu lumat. Nuria menjelaskan lebih dalam lagi bahwa tahu ini menjadi makanan yang sangat otentik di Sumedang.
Pasalnya, selain rasanya yang enak, tahu ini dibuat dengan sentuhan yang berbeda. Mulai dari bahan bakunya hingga sumber mata airnya. Benar sekali, berbicara masalah rasa, sudah tak bisa dibohongi. Diolah dengan keluhuran resep nenek moyang turun temurun.
Nah... saya sendiri penasaran, bagaimana dengan Tahu Sumedang yang dibuat dan dijual diluar Kota Sumedang ini? Apakah mereka tetap memiliki cita rasa sama seperti ini? Nuria hanya tersenyum dan menjawab ciri khas makanan itu akan terasa enak jika dinikmati langsung dari asal tempatnya.Â
Nuria justru mewakili warga Sumedang mengucapkan terima kasih kepada para pedagang Tahu Sumedang diluar kota kelahirannya ini. Mereka telah membantu melestarikan dan menjaga warisan budaya yang berakar kemana-mana.Â
Bahkan secara tidak langsung mereka membantu mempromosikan warisan ini dari mulut ke mulut (word of mouth). Ia pun bersyukur, Tahu Sumedang ini mampu mendongkrak sektoral perekonomian di Sumedang.Â
Pemberdayaan masyarakat pada sektoral wisata kuliner. Selain dari sudut padang perekonomian, tahu ini juga memenuhi kebutuhan gizi dan menyehatkan untuk dikonsumsi.
Proses pembuatannya sendiri dilakukan secara tradisional. Proses fermentasi diawali dengan pemilihan bahan baku yang berkualitas. Dijaga hingga proses pematangan bahkan distribusi kepada penjual tahu umumnya.Â
Harganya yang murah dan nutria sehat untuk tubuh kita membuat tahu ini semakin menjadi idola bagi Masyarakat Indonesia. Wadahnya sendiri unik dengan anyaman bambu/bungseng berisi 25 pcs s/d 100 pcs tahu didalamnya.Â
Nama Tahu Sumedang yang populer adalah Boga Rasa, Simpang Sari, Hade Rasa, Saluyu dan lain-lain.
Sekeranjang bambu sudah habis dilahap. Nuria mengajakku untuk beristirahat di rumah singgah yang telah dia sediakan. Disini, kami melewati gapura selamat datang di Kota Sumedang. Tertulis jelas kalimat "Wilujeung Sumping di Sumedang, Kota Tahu".
Sebelum sampai disini, saya sudah mengetahui viralnya gapura didepan mata saya saat ini. Gapura ini menjadi sorotan tersendiri karena dianggap kurang representatif.Â
Kami justru satu persepsi dan memandang dengan cara yang berbeda. Dimana kami melihat gapura ini tetap memberi sentuhan berbeda yaitu menjunjung nilai warisan budaya dalam perspektif tak hanya kasat mata.Â
Nilai keluhuran dan kemuliaan yang tersampaikan dari hati para netizen. Mereka semua angkat bicara dan peduli terhadap perubahan signifikan terhadap Kota Sumedang itu sendiri. Jauh di lubuk hati Masyarakat Indonesia sendiri, mereka tergerak untuk mendukung pemerintah setempat dalam menjaga kelestarian budaya.
Kami mengetahui kemuliaan wilayah tatar Sunda ini memiliki sejarah yang sangat panjang dan harus dihargai. Dilestarikan dari waktu ke waktu. Mengetahui, mengingat dan mengenang hari jadi kota ini 22 April 1578 ditetapkan dalam keputusan DPRD Nomor 1/KPTS/DPRD/SMD/1973 tanggal 8 Oktober 1973.Â
Sudah 4 abad lebih tetap menjaga keaslian dan otentik nilai didalamnya. Mahkota binokasih dari Prabu Siliwangi yang diserahkan untuk kerajaan Sumedang Larang saat ini berada di Museum Prabu Geusan Ulun.
Replikanya kita dapat melihat langsung di Puncak Tugu Kota Sumedang di Jl. P. Sugih No.16, Regol Wetan, Sumedang. Meskipun hanya replika, saya menyaksikan keberhargaan kota ini dalam tatar Sunda. Penyematan mahkota langsung dari Sri Baduga Maharaja.
Selama perjalanan ini, kami terus berbincang sembari memotret keindahan Kota Sumedang. Sektoral wisata ini perlu ditingkatkan dengan menunjukkan sisi lain dari Kota Sumedang dalam bentuk visual estetika.Â
Kondisi alam yang berbukit-bukit menyajikan pemandangan tersendiri untuk mata. Kami mempromosikan melalui media digital agar Masyarakat Indonesia bukan hanya mengenal dari sudut geografis, tetapi nilai luhur sejarah didalamnya melalui hangatnya sajian tahu.Â
Dilingkungan sekolah, Nuria juga sudah mulai menerapkan beberapa tugas kepada murid-muridnya untuk memviralkan Kota Sumedang. Saya bersyukur ternyata masih ada generasi yang mengenal leluhurnya dengan baik.
Potensi Sumedang masih banyak yang harus digali agar lebih mencuat lagi. Tentunya hal ini membutuhkan kerja sama yang bersinergis antara masyarakat adat, pemerintah dan kita selaku generasi milenial untuk berperan aktif.Â
Ditambah lagi, Sumedang ini masih hangat sekali dengan kearifan lokalnya. Akhir perjalanan ini, kami terus melakukan riset dan penelitian untuk memberikan kontribusi terhadap kota tatar Sunda ini. Kami menunggu uluran para ilmuwan yang peduli terhadap kebudayaan di Indonesia.
Salam,
Sri Patmi.
Sumber :
https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Sumedang
Iqbal, Muhammad. (2007). "Budaya Kerja Bangsa Jepang". Tersedia secara online.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H