Minah tidak lagi menjawab, kegamangan menyeruak di benaknya. Mengingat suaminya yang tidak pernah jauh, tidak pernah mengerti bau asap kota, juga tak pernah melewatkan aroma garam tiba-tiba memutuskan untuk pergi. Malam semakin larut, purnama pun tak lagi berada ditempat semula. Minah hanya mengangguk. Dan suaminya mengerti.
Malam itu deru ombak seperti ingin mengucapkan salam pada Parjo. Sepanjang ia mencoba terpejam aroma amis ikan dan hangat ombak tiba-tiba sangat ia rindukan. Ia melirik istrinya yang terpejam disebelahnya, menatap dinding-dinding lalu mengingat sebuah kata. Tablet. Dan tiba-tiba ia terlelap memimpikan bulan hujan dimana ia dan anaknya dapat memercikkan kubangan air di halaman, memeluk beku cuaca dengan menikmati singkong rebus di beranda. Tapi ia kembali terjaga, karena tablet yang sangat memusingkannya.
     Â
                                                            Agil Senja_11 Mei 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H