Mohon tunggu...
Sri Mulyani (Agil Senja)
Sri Mulyani (Agil Senja) Mohon Tunggu... Guru - Guru

Saya adalah seorang pengembara kata. Berjalan pada sebuah perkiraan, namun sering gagal menerka pertanda. Saya mungkin satu dari jutaan orang di dunia yang mencintai sastra. Apakah kita bisa saling berbagi titik atau koma?

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tangkapan Terakhir Sebelum Bulan Hujan

23 Januari 2023   13:00 Diperbarui: 23 Januari 2023   13:09 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kata-kata Fina yang terus merajuk didengarnya samar-samar, karena mendadak seluruh pikirannya dipenuhi oleh barang mewah bernama tablet.

***

Musim pun berganti, sebelum bulan hujan Fina memaksa memiliki sebuah tablet seperti yang dimiliki teman-temannya. Sedang tangkapan ikan tak menentu. Parjo risau, sampai usia Fina yang ke delapan itu, ia dan istrinya tak pernah sekalipun membuat bocah itu terluka.

Beberapa hari hasil tangkapan memang melimpah. Musim ikan seperti ini dirasanya tetap tak cukup memenuhi kebutuhannya apalagi untuk membeli sebuah tablet.

Siang itu panas begitu terik, para penarik jaring menahan dahaga,menggantinya dengan menjilati keringatnya yang menetes di dahi. Bendera hijau terlihat semakin jelas, tanda bahwa perahu semakin dekat dengan tepian. Pantai Konang terlihat seperti lapangan desa yang sedang menggelar perayaan Agustusan. Pada musim ikan orang berdatangan dari segala penjuru, berebut ingin menikmati musim ikan yang berlimpah, tawar-menawar ikan terjadi di sepanjang pinggiran pantai. Para pedagang di warung-warung tengah membakar ikan, sibuk melayani pengunjung. Aromanya menarik siapa saja untuk duduk bersantai menikmati pantai dengan ikan bakar, lengkap dengan sambal kecap dan nasi thiwulnya. Destinasi yang coba disuguhkan di pantai itu belakangan ini.

Ketika perahu Parjo dan kawan-kawannya sampai di tepian, seperti yang terjadi pada perahu-perahu sebelumnya pula, tanpa menunggu komando puluhan orang menyerbu untuk sekedar mengobati rasa ingin tahunya seberapa banyak hasil tangkapan yang berhasil di dapat para nelayan. Ataukah karena mereka ingin mendapatkan harga lebih murah sebelum sampai ke para pedagang.

Usai merapikan dan menggulung semua tali, hasil tangkapan pun dipindahkan ke keranjang besar, dan para pelayan berebut membagi hasil tangkapan dengan para penarik jaring. Sungguh pemandangan yang miris, melihat perjuangan mereka mengalahkan ombak, bergelut dengan perih rasa asin di kedipan mata, sedangkan yang mereka peroleh tak sebanding dengan kegilaannya menantang maut. Pada musim ikan, harga ikan musiman yang biasanya melimpah adalah ikan layur. Dan untuk satu kantong plastik merah besar hanya dihargai tiga puluh ribu rupiah saja. Itupun masih ada banyak tawar-menawar dari para pembeli. Karena sedang melimpah, para pembeli pun bebas memilih ikan mana yang akan dibeli, untuk itulah para pedagang pun berlomba menjual dengan harga murah supaya cepat laku, termasuk Parjo. Nasib Parjo lagi mujur siang itu, uang tujuh puluh lima ribu telah ia kantongi, ia putuskan pulang istirahat menyimpan tenaga untuk berlayar lagi malam harinya.

Sebulan sudah musim ikan itu berlangsung, Minah memeriksa kembali simpanannya, ia hitung-hitung berapa uang yang terkumpul. Setelah berulang kali dihitung jumlahnya masih juga jauh dari harga sebuah tablet. Seratus delapan puluh sembilan ribu rupiah. Bahkan untuk merk paling rendah sekalipun belum mencukupi. Pikirannya kembali teringat pada permintaan anaknya yang menggebu, bukannya tanpa usaha tetapi Parjo dan Minah seakan tak punya lagi cara membujuk anaknya untuk melupakan sebuah tablet.

Purnama bulat bugil menggantung di pucuk mahoni, Minah memperhatikan dengan seksama. Ia memprediksi bahwa bulan hujan akan segera menjelang. Di tempat yang berbeda, Parjo masih melawan ombak memeluk dinginnya lautan yang luas membentang. Malam itu seperti ingin menelannya utuh, ombak menjadi tidak bersahabat, perahunya limbung diterpa ketaktentuan musim. Pikirannya kalut. Aswan, Mujono, juga Rudi rekan dalam perahunya pun tak kalah panik. Mereka berkutat dengan angin yang bertiup makin tak tentu, mengibaskan perahu meliuk-liuk hebat. Sedikit lagi jarak yang harus ditempuh untuk segera sampai di tepian. Parjo dan rekan-rekannya terus berusaha menuntaskan petualangan. Dan benar saja, dengan segala sisa tenaga mereka berhasil menepi. Perjalanan malam itu Parjo rasakan sebagai ujian yang sebenarnya ia paham betul itulah tantangan dari seorang nelayan.

Purnama makin meninggi, ia menyaksikan dari kejauhan seperti berada tepat di atas rumahnya. Semakin dekat ia merasa menjumpai purnama kedua, istrinya Minah tengah menikmati bias-bias rembulan berdiri di serambi menyambutnya pulang. Senyumnya menyambut Parjo dengan tulus, memberikan perlindungan tanpa syarat usai pertarungannya melawan ombak. Dengan sigap tanpa perintah Minah meraih barang bawaan suaminya, bergegas ke belakang menyiapkan secangkir kopi hitam, dan kembali menemui suaminya di serambi.

"Min, mungkin ini tangkapanku yang terakhir".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun