Suami istri itu lantas masuk ke rumah. Dengan sigap Minah mengerti apa yang harus dilakukan. Sembari menunggu suaminya selesai membersihkan diri dari pasir dan anyir lumut bakau, ia lincah memainkan pisau, meramu bumbu-bumbu dan menghidangkan tumis kepiting di meja. Lengkap dengan nasi thiwulnya.
"Mak, Bapak sudah pulang?"
"Sudah Fin, mungkin masih sholat maghrib. Ada apa to?"
"Rahasia Mak".
Minah menyaksikan anaknya yang berlari memunggunginya, senyumnya mengembang merasakan kedamaian atas hadirnya buah hatinya itu, tepat di usia pernikahannya yang ke-10 di usianya yang ke -35 tahun. Setelah penantian panjang, akhirnya Tuhan memberikannya anak. Baginya, kini tak ada yang lebih berharga daripada itu.
Tak lama setelahnya, keluarga kecil itu berkumpul menikmati santap malam. Fina begitu menikmati masakan emaknya. Tak sering mereka menikmati sendiri hasil tangkapan Parjo, Minah lebih suka menjual ikan, kepiting atau apapun hasil tangkapan suaminya agar bisa membeli beras.
"Pak, nanti kalau ikannya banyak, Fina belikan tablet kayak punya Indah anaknya Pak lik Herman ya?"
Hampir saja Parjo tersedak mendengar ucapan anaknya itu.
"Tablet apa nduk? Kok aneh-aneh saja kamu ini, ndak sakit minta tablet".
"Bapak ini, tablet itu bukan obat lo pak, tapi Hp. Bisa buat mainan, ada gambar-gambarnya. Bagus banget Pak. Di sekolah banyak yang bawa, tadi Fina dipinjemin sebentar sama Reni, teman Fina".
Parjo dan istrinya saling berpandangan, Mereka jelas tahu keinginan anaknya itu, sekaligus paham betul barang mewah macam apa yang tengah diceritakan oleh anaknya itu.