Mohon tunggu...
Sri Mulyani (Agil Senja)
Sri Mulyani (Agil Senja) Mohon Tunggu... Guru - Guru

Saya adalah seorang pengembara kata. Berjalan pada sebuah perkiraan, namun sering gagal menerka pertanda. Saya mungkin satu dari jutaan orang di dunia yang mencintai sastra. Apakah kita bisa saling berbagi titik atau koma?

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tangkapan Terakhir Sebelum Bulan Hujan

23 Januari 2023   13:00 Diperbarui: 23 Januari 2023   13:09 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tangkapan Terakhir Sebelum Bulan Hujan

Hari menjelang senja. Siluet cahaya keemasan tempias pada seluruh gulungan ombak, perahu-perahu nelayan, juga pasir di Pantai Konang. Seluruhnya seperti telah mengikat janji, saling mengisi. Saling melengkapi.

Parjo menyeret langkahnya yang lunglai, seharian melaut tak ada hasil didapat. Dalam pikirannya berkecamuk segala perasaan bersalah pada Minah, istrinya. Apa yang akan dikatakannya kali ini, setelah sebelumnya beralasan bahwa kapalnya rusak dan tidak dapat melaut. Sekarang, ia pun harus sibuk mendamaikan hati istrinya lagi, karena bakul masih belum juga tercukupi. Langit mulai kehilangan esensi sebuah senja, bahkan Parjo pun tak sempat menyaksikan senja itu berlalu.

Ketika langit belum sepenuhnya hitam, ia bergegas pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari pantai. Rumah berdinding bambu berukuran 7x4 meter persegi itulah tempatnya bersandar dari segala penat kehidupan. Dengan baju lusuh, basah oleh air laut dan asin kehidupan Parjo mencoba berpikir bagaimana dirinya pulang, tapi tidak dengan tangan hampa.

Tiba-tiba terpikir olehnya untuk menengok perangkap di sekitaran bakau yang ia pasang sehari sebelumnya. Di pengunjung senja kali itu ia putuskan untuk menengok umpannya, dan menunda waktu pulang ke rumah.

Senyumnya mengembang oleh harapan. Diangkatnya perangkap sederhana yang terbuat dari kawat bekas itu, dan benar saja dua kepiting berukuran sedang berhasil masuk perangkapnya. Hatinya penuh dengan luapan rasa syukur, ia membawa dua kepiting itu pulang, menemui anak istrinya, menimang-nimangnya seperti menggendong biawak yang ditangkapnya bulan lalu.

Senja benar-benar telah berlalu ketika Parjo sampai di kediamannya. Istrinya, Minah dengan setia menunggunya di serambi, duduk menikmati alam di kursi bambu kesayangannya, nampak anggun dengan daster motif bunga berwarna ungu, rambut digelung sekenanya, cantik khas perempuan desa.

"Kok baru pulang kang?"

"Iya Min, susah sekali dua hari ini ikan didapatkan, sepertinya memang benar keputusan Kang Parmin yang memilih berangkat merantau minggu lalu".

Sambil menyerahkan kepiting yang dibawanya, Parjo bergumam lirih "Tuhan masih berbaik hati memberikan kita ini".

"Yo wis to Kang, disyukuri".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun