Di sebuah desa kecil yang terletak tidak jauh dari kota, hiduplah seorang gadis bernama Dila. Dila memiliki keluarga yang sangat cemara, Dila adalah anak bungsu dari sepasang suami istri yaitu Bapak Aryo dan Ibu Nana, Dila juga memiliki saudara laki-laki bernama Fahmi dan saudara perempuan bernama Ayumi. Keluarga Dila sangat cemara, Dila sangat disayang oleh kedua orang tuanya, diantara saudara-saudara Dila, Dila adalah anak yang paling dekat dengan Ayahnya, bahkan sampai teman-teman sekolahnya merasa iri melihat kedekatan Dila dengan Ayahnya. Namun kedekatan Dila dengan Ayahnya tidak berlangsung lama, karena diumur 18 tahun Dila kehilangan Ayahnya untuk selamanya.
Sebelum kepergian Pak Aryo, kehidupan Dila sangat berwarna. Setiap hari dipenuhi dengan tawa dan kebahagiaan. Namun semuanya berubah ketika Pak Aryo mengalami kelumpuhan pada tubuhnya, sejak saat itu Dila merasa dunianya berhenti seketika. Ayah yang dulunya selalu terlihat kuat dan pekerja keras kini harus terbaring di kasur dan tak mampu untuk bergerak. Akibat kelumpuhan yang dialami Ayahnya membuat Dila harus menggantikan peran Ayahnya.
Dila merawat Ayahnya yang tak bisa lagi bekerja dan membantu Ibunya berjualan demi memenuhi kebutuhan hidup, semua tanggung jawab itu Dila lakukan sendiri, karena tidak ada lagi yang bisa membantu di rumah, kedua saudara Dila, Ayumi dan Fahmi berada di luar kota. Ayumi yang sedang bekerja di luar kota sedangkan Fahmi masih melanjutkan pendidikan S1 nya, namun sudah memasuki tahap akhir. Dila juga selalu memberikan kabar perkembangan Ayahnya kepada kedua saudaranya.
Setiap pagi sebelum berangkat berjualan, Dila selalu menyuapi Ayahnya. Sambil memberikan makanan, mereka berbincang-bincang ringan. "Ayah harus makan yang banyak, supaya Ayah cepat sembuh" ucap Dila sembari menyuapi Ayahnya. "Dila maafkan Ayah, karena sakit Ayah waktu liburmu habis untuk merawat Ayah" jawab Pak Aryo dengan rasa bersalah. "Ayah jangan bicara seperti itu, aku ikhlas merawat Ayah, Ayah harus cepat sembuh karena aku sudah di terima di Universitas impianku, Ayah harus dampingi aku sampai wisuda nanti dan Ayah harus lihat aku pakai toga yah" ucap Dila dengan penuh senyuman. "Wah! Selamat Nak, Ayah selalu bangga padamu, doakan Ayah cepat sembuh, supaya Ayah bisa melihat keberhasilanmu. Jawab Pak Aryo dengan tatapan bangga pada putri bungsunya dan disertai senyuman.
Ya, saat ini Dila sudah lulus SMA dan Dila sudah diterima di Universitas impiannya, dua bulan sebelum Dila memasuki dunia perkuliahan sebagai mahasiswa baru, keadaan Pak Aryo semakin memburuk, meskipun hati Dila dipenuhi rasa takut, namun harapan dan doa Dila tak pernah berhenti untuk kesembuhan Ayahnya. Dila berusaha menutupi kesedihannya di depan Ibunya, karena dia tidak ingin melihat Ibunya semakin terbebani dengan keadaan saat ini. Dila juga tidak lupa untuk memberitahu keadaan Pak Aryo kepada kedua saudaranya.
Dila Menelepon kedua saudaranya. "Mas, Mbak, apakah kalian bisa pulang, kondisi Ayah semakin buruk, aku enggak kuat sendiri disini, melihat ibu yang terus-menerus menangis dan Ayah yang terbaring lemah" ucap Dila, dengan menahan tangisnya. "Dek, tolong jaga Ibu, Mbak dan Mas akan segera pulang" jawab Ayumi dengan suara yang penuh dengan kekhawatiran. Mendengar kabar bahwa kondisi Pak Aryo semakin memburuk, Ayumi dan Fahmi langsung bergegas untuk pulang. Fahmi dan Ayumi memakan waktu 6 jam untuk bisa sampai ke rumah mereka.
Kondisi pak Aryo semakin memburuk, Dila dan Ibunya memutuskan untuk membawa Pak Aryo ke rumah sakit, sebelum memasuki ruangan, Pak Aryo menggenggam tangan Dila dan Bu Nana. "Maafkan aku sudah menyusahkan kalian, titipkan salamku kepada Ayumi dan Fahmi, aku sangat menyayangi kalian semua" ucap Pak Aryo dengan suara yang terputus-putus. Ucapan itu membuat Dila dan Ibunya menangis dan berpelukan di depan ruangan Pak Aryo.
Dila dan Ibunya menunggu di depan ruangan Pak Aryo, dengan hati yang penuh kekhawatiran. Dila menggenggam tangan Ibunya mencoba memberikan kekuatan kepada Ibunya. Setelah 15 menit menunggu, pintu ruangan Pak Aryo terbuka, Dokter yang keluar terlihat dengan wajah yang serius. Melihat itu, Dila dan Ibunya menghampiri Dokter tersebut. "Bagaimana dengan Ayah saya Dok?" ucap Dila dengan hati yang penuh harapan. "Kondisi Pak Aryo semakin melemah, kami akan mengambil tindakan serius" jawab Dokter dengan wajah yang serius. "Dok apakah saya dan anak saya bisa masuk?". Melihat wajah Bu Nana yang penuh dengan air mata, Dokter mempersilakan Bu Nana dan Dila untuk memasuki ruangan Pak Aryo. "Silakan Bu" jawab dokter tersebut.
Didalam ruangan itu, Dila dan Ibunya tak kuasa menahan air mata mereka, melihat Pak Aryo yang terbaring lemah dan badan dipenuhi dengan alat medis. "Ayah, Ayah harus kuat, Ayah sudah berjanji mau dampingi Dila sampai Dila menjadi orang sukses" ucap Dila dengan suara yang gemetar dan disertai dengan tangisan, sementara Bu Nana hanya bisa menatap Pak Aryo dengan penuh harapan, berdoa agar sang suami bisa bertahan.
Kondisi Pak Aryo semakin melemah, tubuhnya tak lagi bertenaga, melihat itu Dila berusaha menuntun Ayahnya dengan penuh harapan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. "Ashadu" ucap Dila dengan suara gemetar. "As..ha..du" jawab Pak Aryo dengan suara terputus-putus, namun belum selesai Pak Aryo mengucapkan dua kalimat syahadat, Pak Aryo pun menghembuskan nafas terakhirnya. Melihat itu tangisan Dila dan ibunya pecah, Dokter yang melihat Dila dan Ibunya juga tak kuasa menahan tangisnya.
Dila memilih untuk tidak memberitahu kedua saudaranya, karena ia takut jika mereka mendengar kabar itu, sesuatu yang buruk bisa terjadi di tengah perjalanan. Namun, ketika Fahmi dan Ayumi akhirnya sampai di kediaman mereka, mereka terkejut melihat bendera yang terpasang di depan rumah. Tanpa banyak bicara, mereka bergegas masuk dan melihat Ayah mereka yang sudah terbaring dan ditutupi dengan kain kafan. Tangisan mereka pun pecah seketika, dan suasana yang penuh duka itu membuat semua orang yang hadir turut menangis, dan merasakan kehilangan yang mendalam. "Ayah, maafkan Fahmi tidak bisa mendampingi Ayah di saat-saat terakhir," ucap Fahmi dengan suara yang dipenuhi tangisan. Meskipun berat, Fahmi berjanji kepada sang Ayah akan menjaga keluarga mereka. Sore harinya, jenazah Pak Aryo dimakamkan tidak jauh dari rumah mereka. Setelah pemakaman selesai, keluarga dan kerabat berkumpul di rumah, berbagi duka dan kenangan bersama, mencoba mencari kekuatan di tengah kehilangan yang mendalam.
Sejak kepergian Pak Aryo, rumah itu tak lagi terasa seperti dulu. Rumah yang dulu dipenuhi canda tawa dan kehangatan kini terasa sepi, tidak ada lagi suara Pak Aryo yang memanggilnya dengan lembut. Sore hari, hujan turun deras dari langit yang kelabu, Dila duduk di ruang tamu memandangi ruangan yang dulu penuh dengan kehidupan, Dila mengenang momen kebersamaannya dengan Ayahnya, Dila juga membayangkan bagaimana Ibunya tinggal sendiri di rumah ini jika dia pergi untuk melanjutkan pendidikannya. Bu Nana yang melihat Dila sedang melamun datang menghampiri Dila.
"Rumah ini tak lagi sama" ucap Bu Nana sembari duduk di samping Dila. Dila yang mendengar ucapan itu langsung menoleh ke arah Ibunya. "Bu, aku sudah memutuskan bahwa aku tidak akan melanjutkan pendidikanku, aku akan menemani ibu di sini" ucap Dila. "Tidak, kau harus kuliah, ingat pesan ayahmu kalau kalian semua harus menjadi sarjana, jangan khawatirkan Ibu, Ibu sudah bicara dengan Mas Fahmi jika dia sudah menyelesaikan tugas akhir kuliahnya dia akan kembali kesini untuk menemani Ibu, dia juga akan mencari kerja disini" ucap Bu Nana sembari memeluk Dila.
Ya, untuk anak-anaknya menjadi sarjana adalah keinginan pak Aryo, Pak Aryo rela melakukan apapun agar semua anaknya menjadi sarjana, dia tidak memedulikan ucapan orang-orang kepadanya bahwa tidak ada gunanya menyekolahkan anak sampai ke perguruan tinggi apalagi seorang perempuan, karena pada akhirnya dia akan dibawa suaminya.
Dua bulan telah berlalu, dan besok adalah hari dimana Dila akan berangkat keluar kota untuk melanjutkan pendidikannya. Dila merasa begitu berat meninggalkan rumah yang penuh kenangan itu, namun ia tahu ia harus melanjutkan hidupnya. Kuliah di luar kota adalah kesempatan yang telah lama ia impikan. Meskipun hati ini terasa pilu, Dila merasa itu adalah langkah yang harus ia ambil.
"Dila, kamu pasti akan sukses di sana. Kami akan selalu mendukungmu," ucap Bu Nana dengan suara lembut, meskipun matanya dipenuhi air mata. Dila hanya bisa memeluk ibunya erat. Ia tahu, Ibunya juga merasa kehilangan yang mendalam, tetapi mereka harus saling menguatkan. Sebelum berangkat, Dila mendatangi makam Ayahnya. "Ayah, aku akan berusaha menjadi lebih baik. Aku akan kuliah dengan sungguh-sungguh. Meski kau tak ada lagi, aku akan selalu ingat nasihatmu," bisiknya, berusaha menenangkan diri sendiri.
Hari keberangkatan Dila tiba, Dila berpamitan kepada Ibunya dan saudaranya Fahmi yang akan menemani Ibunya di Desa. Dila memeluk ibunya dengan erat sebelum ia pergi. "Kuliah dengan baik Nak, jangan khawatirkan Ibu, ada Mas Fahmi disini yang menemani Ibu" ucap Bu Nana berusaha meyakinkan Dila, namun hatinya dipenuhi rasa sedih. "Jaga diri baik-baik, Dila. Kami di sini selalu mendoakanmu". sambung Fahmi, dengan suara berat dan penuh kekhawatiran. Dila mengangguk, sembari mengusap air mata yang tak sengaja mengalir. Dengan langkah mantap, ia meninggalkan rumah yang penuh kenangan itu, menuju perjalanan barunya di kota. Di sepanjang perjalanan, ia terus memikirkan ayahnya, yang dulu selalu ada untuknya, kemana pun ia pergi Ayahnya lah yang selalu mengantarkannya, kini ia harus pergi sendiri untuk meraih mimpinya. "Ayah, aku akan berusaha keras. Aku janji akan sukses. Meskipun kau sudah tak ada, aku akan terus membawa semangatmu," bisiknya dalam hati dan tanpa ia sadari air matanya membasahi pipinya.
Di kota tempat ia melanjutkan kuliah, Dila memulai hidup barunya, segala sesuatu terasa baru. Ia belajar banyak hal, dari tugas kuliah yang menumpuk hingga beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda. Setiap kali lelah dan rindu, ia teringat pada ayahnya, pada kata-kata semangat yang dulu selalu Pak Aryo ucapkan.
Hari demi hari, Dila semakin menyesuaikan diri. Ia berusaha untuk tidak mengecewakan Ayah dan Ibunya. Semua perjuangan itu terasa sangat berat, namun Dila tahu bahwa Ayahnya selalu ada dalam setiap langkahnya, memberi kekuatan meskipun hanya dalam kenangan.
Waktu terus berjalan, dan akhirnya, Dila berhasil lulus dengan predikat yang membanggakan. Pada hari wisudanya, ia berdiri di atas panggung, mengenakan toga, dengan senyum yang penuh kebanggaan. Saat itu, ia merasa ada kehadiran Pak Aryo di sampingnya, meskipun ia tahu ayahnya tak bisa melihatnya.
Setelah kelulusan selesai, Dila memutuskan untuk kembali ke rumah, sebelum ke rumah Dila terlebih dahulu mengunjungi makam Ayahnya. Dila duduk sembari memandangi nisan ayahnya. "Ayah, aku sudah berhasil, aku lulus dengan predikat terbaik, aku janji akan terus berjuang dan membuat Ibu bangga, aku tahu ayah pasti bangga denganku" ucap Dila dengan suara yang gemetar, dan air mata yang membasahi pipinya.
Sesampainya di rumah, Dila disambut dengan pelukan hangat dan ucapan selamat dari Bu Nana, Fahmi, dan Ayumi. Dila pun melangkahkan kakinya perlahan memasuki rumah mereka, rumah yang sudah lama tak ia datangi. Setelah menjalani masa-masa penuh perjuangan di kota, akhirnya ia lulus dan kembali ke rumah yang dulu selalu dipenuhi tawa. Namun, saat ini, rumah itu terasa asing, seperti ruang yang kehilangan isinya.
Rumah itu memang tak lagi sama, tak ada lagi tawa Pak Aryo, tak ada lagi suara langkahnya yang membangunkan pagi, tapi Dila tahu, bahwa rumah ini kini penuh dengan harapan dan kebanggaan. Dila tahu, meskipun ayahnya tak lagi ada di dunia ini, cintanya akan selalu hidup dalam dirinya, dan ia berharap rumah ini akan kembali ceria, tidak hanya karena kenangan masa lalu, tetapi juga karena semangat baru yang akan ia bawa bersama ibunya dan kedua saudaranya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H