Mohon tunggu...
Sri Miati
Sri Miati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi UINSU

Saya adalah mahasiswi UINSU, prodi Tadris Bahasa Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rumah Tak Lagi Sama

17 Januari 2025   20:23 Diperbarui: 17 Januari 2025   20:23 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sejak kepergian Pak Aryo, rumah itu tak lagi terasa seperti dulu. Rumah yang dulu dipenuhi canda tawa dan kehangatan kini terasa sepi, tidak ada lagi suara Pak Aryo yang memanggilnya dengan lembut. Sore hari, hujan turun deras dari langit yang kelabu, Dila duduk di ruang tamu memandangi ruangan yang dulu penuh dengan kehidupan, Dila mengenang momen kebersamaannya dengan Ayahnya, Dila juga membayangkan bagaimana Ibunya tinggal sendiri di rumah ini jika dia pergi untuk melanjutkan pendidikannya. Bu Nana yang melihat Dila sedang melamun datang menghampiri Dila.

"Rumah ini tak lagi sama" ucap Bu Nana sembari duduk di samping Dila. Dila yang mendengar ucapan itu langsung menoleh ke arah Ibunya. "Bu, aku sudah memutuskan bahwa aku tidak akan melanjutkan pendidikanku, aku akan menemani ibu di sini" ucap Dila. "Tidak, kau harus kuliah, ingat pesan ayahmu kalau kalian semua harus menjadi sarjana, jangan khawatirkan Ibu, Ibu sudah bicara dengan Mas Fahmi jika dia sudah menyelesaikan tugas akhir kuliahnya dia akan kembali kesini untuk menemani Ibu, dia juga akan mencari kerja disini" ucap Bu Nana sembari memeluk Dila.

Ya, untuk anak-anaknya menjadi sarjana adalah keinginan pak Aryo, Pak Aryo rela melakukan apapun agar semua anaknya menjadi sarjana, dia tidak memedulikan ucapan orang-orang kepadanya bahwa tidak ada gunanya menyekolahkan anak sampai ke perguruan tinggi apalagi seorang perempuan, karena pada akhirnya dia akan dibawa suaminya.

Dua bulan telah berlalu, dan besok adalah hari dimana Dila akan berangkat keluar kota untuk melanjutkan pendidikannya. Dila merasa begitu berat meninggalkan rumah yang penuh kenangan itu, namun ia tahu ia harus melanjutkan hidupnya. Kuliah di luar kota adalah kesempatan yang telah lama ia impikan. Meskipun hati ini terasa pilu, Dila merasa itu adalah langkah yang harus ia ambil.

"Dila, kamu pasti akan sukses di sana. Kami akan selalu mendukungmu," ucap Bu Nana dengan suara lembut, meskipun matanya dipenuhi air mata. Dila hanya bisa memeluk ibunya erat. Ia tahu, Ibunya juga merasa kehilangan yang mendalam, tetapi mereka harus saling menguatkan. Sebelum berangkat, Dila mendatangi makam Ayahnya. "Ayah, aku akan berusaha menjadi lebih baik. Aku akan kuliah dengan sungguh-sungguh. Meski kau tak ada lagi, aku akan selalu ingat nasihatmu," bisiknya, berusaha menenangkan diri sendiri.

Hari keberangkatan Dila tiba, Dila berpamitan kepada Ibunya dan saudaranya Fahmi yang akan menemani Ibunya di Desa. Dila memeluk ibunya dengan erat sebelum ia pergi. "Kuliah dengan baik Nak, jangan khawatirkan Ibu, ada Mas Fahmi disini yang menemani Ibu" ucap Bu Nana berusaha meyakinkan Dila, namun hatinya dipenuhi rasa sedih. "Jaga diri baik-baik, Dila. Kami di sini selalu mendoakanmu". sambung Fahmi, dengan suara berat dan penuh kekhawatiran. Dila mengangguk, sembari mengusap air mata yang tak sengaja mengalir. Dengan langkah mantap, ia meninggalkan rumah yang penuh kenangan itu, menuju perjalanan barunya di kota. Di sepanjang perjalanan, ia terus memikirkan ayahnya, yang dulu selalu ada untuknya, kemana pun ia pergi Ayahnya lah yang selalu mengantarkannya, kini ia harus pergi sendiri untuk meraih mimpinya. "Ayah, aku akan berusaha keras. Aku janji akan sukses. Meskipun kau sudah tak ada, aku akan terus membawa semangatmu," bisiknya dalam hati dan tanpa ia sadari air matanya membasahi pipinya.

Di kota tempat ia melanjutkan kuliah, Dila memulai hidup barunya, segala sesuatu terasa baru. Ia belajar banyak hal, dari tugas kuliah yang menumpuk hingga beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda. Setiap kali lelah dan rindu, ia teringat pada ayahnya, pada kata-kata semangat yang dulu selalu Pak Aryo ucapkan.

Hari demi hari, Dila semakin menyesuaikan diri. Ia berusaha untuk tidak mengecewakan Ayah dan Ibunya. Semua perjuangan itu terasa sangat berat, namun Dila tahu bahwa Ayahnya selalu ada dalam setiap langkahnya, memberi kekuatan meskipun hanya dalam kenangan.

Waktu terus berjalan, dan akhirnya, Dila berhasil lulus dengan predikat yang membanggakan. Pada hari wisudanya, ia berdiri di atas panggung, mengenakan toga, dengan senyum yang penuh kebanggaan. Saat itu, ia merasa ada kehadiran Pak Aryo di sampingnya, meskipun ia tahu ayahnya tak bisa melihatnya.

Setelah kelulusan selesai, Dila memutuskan untuk kembali ke rumah, sebelum ke rumah Dila terlebih dahulu mengunjungi makam Ayahnya. Dila duduk sembari memandangi nisan ayahnya. "Ayah, aku sudah berhasil, aku lulus dengan predikat terbaik, aku janji akan terus berjuang dan membuat Ibu bangga, aku tahu ayah pasti bangga denganku" ucap Dila dengan suara yang gemetar, dan air mata yang membasahi pipinya.

Sesampainya di rumah, Dila disambut dengan pelukan hangat dan ucapan selamat dari Bu Nana, Fahmi, dan Ayumi. Dila pun melangkahkan kakinya perlahan memasuki rumah mereka, rumah yang sudah lama tak ia datangi. Setelah menjalani masa-masa penuh perjuangan di kota, akhirnya ia lulus dan kembali ke rumah yang dulu selalu dipenuhi tawa. Namun, saat ini, rumah itu terasa asing, seperti ruang yang kehilangan isinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun