Pasangan calon kepala daerah yang bersaing dalam Pilkada 2024 mulai menerapkan strateginya masing-masing untuk merebut hati pemilih. Mereka sedang mencari kekuatan konteks kampanye pilkada.
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak merupakan pesta demokrasi yang penuh kegembiraan dan diharapkan bisa menggairahkan ekonomi rakyat dalam beberapa bulan kedepan.
Tahapan pendaftaran Pilkada di berbagai daerah telah memberikan rezeki kepada masyarakat kecil. Tukang delman atau andong laris manis melayani calon kepala daerah. Begitu juga dengan tukang becak hingga komunitas kesenian tradisional menikmati panen.
Menurut penelitian Kementerian PPN/Bappenas ada dampak positif antara tahapan Pilkada dengan aktivitas sektor UMKM.
Seperti terlihat sepanjang tahapan Pemilu yang lalu tercatat konsumsi rumah tangga mengalami pertumbuhan tinggi dan melampaui pertumbuhan produk domestik bruto (PDB).
Ekonomi Pilkada biasanya didominasi oleh produk alat peraga seperti kaos, banner, stiker dan produk desain visual lainya. Potensi ekonomi Pilkada selama ini banyak diraup oleh media massa, industri kampanye dan usaha makanan dan minuman.
Pemilu di negeri ini telah mendorong tumbuhnya industri kampanye dari tingkat UMKM hingga perusahaan besar di bidang jasa konsultasi politik yang dikelola para electioneer. Sayangnya, liberalisasi industri kampanye di negeri ini belum menerapkan etika yang baik disertai kaedah standardisasi dan audit kinerja.
Akibatnya kompetensi para electioneer banyak yang mirip dukun politik. Tidak jarang mereka menerima order untuk menjatuhkan lawan politik lewat rekayasa survei dan pembentukan opini publik secara kasar dan irasional.
Tahapan Pilkada yakni acara debat kandidat pasangan calon (Paslon) kepala daerah selama ini kurang seru dan tidak menjadi perhatian publik seperti halnya debat Capres dan Cawapres. Padahal debat Pilkada seharusnya bisa meningkatkan preferensi masyarakat dalam menentukan pilihannya.
Debat Pilkada di mata rakyat kurang seru dan belum bisa mencerahkan persepsi publik terkait dengan persoalan aktual. Masyarakat tidak memperoleh gambaran karakter asli dan pemikiran yang original dari peserta. Debat Pilkada kurang efektif dalam mempengaruhi preferensi masyarakat jika konteksnya tidak relevan dengan kondisi di lapangan.
Debat Pilkada mestinya mengedepankan aspek tipping point dari masing-masing kandidat. Aspek itu menyangkut the stickiness factor atau faktor kelekatan dari kandidat dan the power of context atau kekuatan konteks yang dibuat oleh kandidat atau paslon kepala daerah.
Mestinya panitia debat harus mampu menguraikan fenomena tipping point dalam berbagai bentuk dari masing-masing kandidat. Sehingga terlihat keunikan gagasan dan pemikiran para kandidat.
Tahapan kampanye Pilkada serentak merupakan momentum masyarakat untuk menilai calon kepala daerah yang mampu mewujudkan kota cerdas. Saatnya masyarakat menguji kapasitas para calon kepala daerah terkait dengan aspek kota cerdas yang berbasis lokalitas.
Konsep dan strategi untuk mewujudkan kota cerdas tidak harus meniru kota lain. Setiap daerah memiliki keunikan tersendiri dalam berbagai hal seperti kondisi sosiologi masyarakat hingga sumber daya alamnya.
Para calon kepala daerah harus terus mencari kiat yang bisa menimbulkan daya persuasif untuk membentuk ketertiban umum tanpa paksaan atau kekerasan. Definisi ketertiban umum sering kita temukan dalam peraturan perundang-undangan. Bahkan semua pemda sudah memiliki peraturan terkait ketertiban umum.
Namun UU atau Perda diatas belum efektif karena kepala daerah tidak memiliki kiat persuasive. Untuk menghadapi ancaman krisis ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang rendah, para kepala daerah dituntut berpikir keras untuk mewujudkan ketertiban umum yang bisa memperlancar pembangunan infrastruktur menuju proyeksi kota yang cerdas dan efisien.
Istilah cerdas di atas mengandung pengertian adanya transformasi digital, penggunaan virtualisasi dan konsolidasi untuk hemat biaya, serta mampu menaikan nilai tambah penggunaan aset daerah. Serta mempercepat durasi pelayanan publik.
Pada prinsipnya setiap individu, organisasi, perusahaan, kota , negara, dan sumber daya alam sedang menuju ke suatu sistem yang saling terkait atau interconnected. Sistem itu dilengkapi dengan platform yang cerdas.
Dibutuhkan infrastruktur digital atau platform yang mampu memberikan visi, kontrol dan otomatisasi terhadap seluruh lini aset. Infrastruktur yang dinamis diwarnai dengan pemanfaatan sumber yang lebih fleksibel seperti cloud computing yang dapat memberikan TIK sebagai layanan.
Infrastruktur dinamis ditandai dengan menggunakan keunggulan solusi virtualisasi dan konsolidasi yang dapat menurunkan biaya, menaikkan penggunaan aset TIK dan kecepatan melakukan perubahan aset TIK untuk meningkatkan layanan.
Persoalan yang sangat krusial dalam sektor pendidikan di daerah saat ini adalah masalah aksesibilitas, efektivitas dan kesanggupan masyarakat melaksanakan pembelajaran jarak jauh.
Apalagi sebagian besar guru di daerah masih terkendala mengakses modul. Untuk itu kepala daerah perlu menggiatkan sosialisasi kurikulum dan modul belajar di daerah tertinggal dengan melibatkan organisasi dan media lokal.
Salah satu blessings in disguise dari era pandemi (di antara dampak ekonomi yang berat) adalah terjadinya percepatan transformasi digital. Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan percepatan transformasi digital pada delapan sektor strategis dimana salah satunya adalah pendidikan.
Untuk mewujudkan transformasi diatas perlu kolaborasi pentahelix yang sinergis dalam mengawal transformasi digital dunia pendidikan di tanah air. Indonesia secara umum adalah pasar nomor tujuh dunia. Dalam dunia pendidikan ada 300 ribu sekolah (dengan sekitar 68 juta siswa) yang perlu ditransformasikan.
Proses pembelajaran tidak lagi dilaksanakan dengan mengandalkan guru sebagai pembimbing. Masyarakat luas serta rekan sesama siswa justru akan menempati peran penting dalam mereka belajar. Proses belajar harus terselenggara secara menyenangkan.
Konsep di atas hanya dapat terselenggara dengan menggunakan bantuan teknologi informasi. Layanan pembelajaran konvensional lewat tatap muka sudah selayaknya dilengkapi dengan kemampuan untuk belajar jarak jauh. E-Learning tidak lagi menjadi sebuah wacana, tapi harus masuk sebagai sebuah syarat terciptanya proses pembelajaran kekinian yang menyenangkan.
Platform e-Learning seyogyanya berpusat pada siswa, interdisipliner, relevan, berbasis proyek, dan kolaboratif. Sementara kala membangun sekolah/lingkungan belajar masa depan sebaiknya aman dan inklusif, memanfaatkan teknologi, kolaboratif, eksploratif, kreatif, dan menerapkan sistem belajar berbasis pengalaman. [SRIM]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H