Di tengah nasib menyusul Merbau, aku menggumam. "Mengapa aku harus kehilangan dunia secepat ini?"
***
Walau tak berharap mati, tapi kupikir aku akan mati. Namun, saat ternyata masih diberi hidup, kini aku benar-benar berharap mati.
Suara itu masih ada, bukan lagi berasal dari alat yang menjulur panjang dan bergerigi tajam, melainkan berasal dari alat yang jauh lebih mengerikan. Aku tak bisa berbuat apa-apa saat alat itu terus mendorong tumpukan tanah lurus ke depan dan ke samping. Aku masih menatap hingga ketika alat itu bergerak ke arahku. Seketika rasa panik menyerang, dan kini aku tidak lagi dapat melihat semua itu, sepenuhnya tubuhku telah tertimbun tumpukan tanah. Lalu aku merasa beban yang amat berat menimpa tubuhku, memaksa tubuh yang amat kerdil ini untuk melesak semakin dalam.
 "Hei! Hei!" Aku berseru-seru. "Ada yang bisa mendengarku?"
"Aku mendengarmu, Jati."
"Aku mendengarmu, Jati."
"Aku mendengarmu, Jati."
Namun, hanya ada kekosongan, dan semua kekosongan ini sangat gelap. Aku tidak lagi bisa menatap meski hanya sekadar hamparan luas yang panas dan gersang. Aku tidak lagi bisa melihat semburat jingga saat terbit dan terbenamnya matahari di timur dan barat. Aku tak lagi bisa melihat gemerlap malam yang timbul karena banyaknya titik cahaya yang berhamburan. Semua terenggut secara paksa.
"Apa aku akan hidup seperti ini sampai waktu yang tidak ditentukan?"
***