Mohon tunggu...
SRI HARTONO
SRI HARTONO Mohon Tunggu... Supir - Mantan tukang ojol, kini buka warung bubur ayam

Yang penting usaha

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Dari Kompasiana Belajar Menata Kata

25 Oktober 2023   06:00 Diperbarui: 25 Oktober 2023   06:29 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kalimat Motivasi "Bertumbuhlah Selalu" / Mungfali.com-Pinterest

Siapa tokoh yang dianggap pandai menata kata? 

Anda pasti tahu Anies Baswedan lah orangnya. 

Mantan Mendikbud era Jokowi itu, terlepas gelarnya sindiran atau tidak, memang pandai memilih kata untuk mempengaruhi orang lain. 

Saya pernah termehek mehek menitikkan airmata mendengar paparan Anies Baswedan. Waktu itu, semasa masih menjabat gubernur DKI, beliau menjelaslan tentang program anak wajib diantar orang tua di hari pertama sekolah. Saya terharu karena beliau menuturkan pentingnya hubungan ortu dan anak dan manfaat psikologis program tersebut. 

Saking terpesonanya mendengan rangkaian kata capres 2024 ini, saya ingin punya kemampuan merangkai kata yang mampu menyihir orang lain. Betapa bermanfaatnya punya kemampuan menata kata lisan dan tulisan. 

Sebelum lanjut soal Kompasiana, saya akan berkisah tentang pengalaman 'menata kata' saya. 

Tahun 1999 saya mulai mengabdikan diri sebagai pekerja sosial di wilayah terpencil di Sulawesi Tengah. Saya menjadi pendamping masyarakat miskin dengan tugas utama meningkatkan kualitas sumber daya manusia. 

Disana saya berhadapan dengan kenyataan bahwa masih banyak orang buta hurup, sebagaian besar hanya lulusan SD dan 'raja raja' kecil. 

Kondisi yang jomplang diantara masyarakat ini menjadi tantangan tersendiri, terutama dalam hal berkomunikasi lisan. 

Ketika mendampingi masyarakat kecil, kemampuan menggunakan bahasa sederhana diperlukan agar mudah dimengerti. Jika masyarakat mengerti, program kerja bisa dilaksanakan lebih mudah. Anda bisa bayangkan, dampingan saya tidak bisa berbahasa Indonesia sementara saya sama sekali tidak memahami bahasa mereka. 

Saya juga berhadapan dengan, yang saya sebut, raja raja kecil. Mereka adalah aparat pemerintah, tokoh agama dan tokoh masyarakat serta orang orang berpendidikan tinggi. Jabatan, posisi dan kepandaiannya dimanfaatkan untuk menindas orang lain. Tak heran lestarilah kemiskinan di wilayah-wilayah terpencil itu. 

Berhadapan dengan orang orang tersebut juga sangat memerlukan kemampuan menata kata. Mereka menguasai akses ekonomi, informasi dan pemerintahan. Saya harus berhati hati jika tidak ingin terjadi resistensi. Bagamanapun juga ketika masyarakat semakin pintar, 'kerajaan' mereka bisa tergerus. 

Dengan tipe 'penguasa' seperti itu, Saya harus pandai membawa diri. Kadang saya harus merendahkan diri agar posisi mereka tetap merasa diatas. Namun sering juga dituntut memperlihatkan kemampuan intelektual dan literasi, sehingga menimbulkan rasa segan dan hormat. 

Bukannya untuk bersombong diri. Berada di tempat terpencil membuat 'orang kota' seperti saya dianggap manusia pintar sejagad raya. Maklum saja, disana tidak ada koran, televisi apalagi internet. 

Informasi dan pengetahuan yang saya bawa kebanyakan merupakan suatu hal yang baru dan langka. Itu karena lemahnya SDM disana. Sepertinya jika Anda lulusan SMA di Jawa, kemampuan Anda setara bahkan melebihi seorang sarjana lokal. 

Bersikap layaknya intelektual saya ambil untuk menghadapi orang orang pongah yang sebenarnya minim pengetahuan. Saya berada di daerah terpencil, orang orang terpelajar disana sering bersikap tahu segalanya. Dengan sedikit 'hajaran' kata kata, mereka bisa tunduk dari perilaku sok pintar sok kuasa. 

Tahun 2003 saya pindah ke Surabaya, masih bekerja sebagai pendamping masyarakat miskin. 

Di kota Pahlawan itu saya punya pengalaman menata kata yang berbeda. 

Dari pengalaman berkomunikasi dengan SDM lemah, saya berhadapan dengan orang orang pintar. Kali ini saya lebih banyak merendahkan diri karena ilmu pengetahuan yang saya punyai tak cukup berarti. Saya harus belajar lagi. 

Apa yang saya paparkan diatas adalah pengalaman menata kata secara lisan. Saya bisa melihat langsung respon masyarakat atau lawan bicara. Mereka mengerti atau bingung dengan kata kata saya. 

Hal ini berbeda dengan pemilihan kata dalam bentuk tulisan. Komunikasi searah sehingga respon pembaca tidak terlihat. Saya tidak tahu sejauh mana tulisan saya dipahami dan dinikmati. 

Saya ingin menghasilkan tulisan yang bermutu. Secara subyektif  saya beranggapan bahwa sebuah tulisan dianggap bermutu dari isi dan penulisannya. 

Artikel dengan tema dan isi hebat buat saya belum bermutu jika tidak dimengerti oleh pembaca awam. 

Misalkan ada sebuah artikel ditulis seorang pakar perbankan. Jika seorang ibu rumah tangga biasa tidak bisa memahami beda hutang  dan piutang dalam tulisan tersebut, maka saya menganggapnya artikel belum bermutu. 

Tulisan sendiri saya anggap belum bermutu. Semakin saya banyak membaca artikel di Kompasiana semakin yakin bahwa diri ini belum menjadi penulis bermutu. 

Saya tidak pernah belajar ilmu menulis. Artikel yang dibuat hanya berdasarkan literasi dan pengalaman pribadi. Oleh sebab itu jangan berharap bahwa tulisan saya tertata rapi sekaligus berisi. 

Gaya tulisan saya sering berbeda. Hal itu disebabkan oleh pengaruh gaya menulis para Kompasianer. Dengan beragamnya latar belakang penulis Kompasiana, gaya tulisan mereka menjadi bervariasi. 

Acek Rudy mengajarkan gaya menulis dengan plot twist jenaka. Felix Tani, jika sedang serius, tulisannya mendalam dengan teori teori yang dikuasai beliau. Ada pula penulis berbahasa milenial yang sering saya tunggu artikelnya. Saya lupa nama lengkapnya, kalau tidak salah ada kata Iluvtari. Kompasianer tersebut, yang sekarang entah dimana, tulisannya cocok dengan selera saya.

Baru baru ini saya gandrung membaca tulisan Mas Eko Wuryanto. Topik dan gaya tulisannya sederhana. Saya jadi teringat alm. Umar Kayam, seorang budayawan, cerpenis, pengajar dll. Beliau mengisi sebuah Kolom kebudayaan di Harian Kedaulatan Rakyat. Tulisan beliau dengan tokoh Pak Ageng dan Mr. Rigen banyak memotret kehidupan rakyat jelata dari sisi sosial budaya dan kritikan politik. 

Tentu saja pendapat saya sangat subyektif. Selera orang pasti berbeda, begitu pula dalam menentukan jenis tulisan yang disukai. 

Ada banyak lagi penulis bagus yang saya kagumi. Dari mereka mereka inilah saya belajar lagi menata kata lewat tulisan. 

Kadang saya sendiri merasa bingung. Jika keseringan membaca tulisan Acek Rudy, gaya tulisan saya akan mirip beliau. Lain kali karena sering menengok unggahan Iluvtari, bahasa milenial yang saya bawa.

Nasib penulis nanggung ya seperti saya ini. Tidak punya ciri khas sendiri karena hanya menjadi pengekor orang lain. 

Namun saya tidak merasa berkecil hati. Belajar menata kata tidak ada ujungnya. Akan selalu ada yang baru untuk dipelajari. Semakin banyak kita membaca, semakin banyak pula kata kata yang bisa ditata. 

Jika ingin diterima sebanyak mungkin pembaca, saya harus mempunyai gaya tulisan yang juga diterima semua orang. Oleh sebab itu, hari ini, besok, lusa dan seterusnya, Kompasiana menjadi jembatan bagi saya untuk mencapainya.

Salatiga, 24102023.183

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun