Mohon tunggu...
SRI HARTONO
SRI HARTONO Mohon Tunggu... Supir - Mantan tukang ojol, kini buka warung bubur ayam

Yang penting usaha

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Dari Kompasiana Belajar Menata Kata

25 Oktober 2023   06:00 Diperbarui: 25 Oktober 2023   06:29 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kalimat Motivasi "Bertumbuhlah Selalu" / Mungfali.com-Pinterest

Saya juga berhadapan dengan, yang saya sebut, raja raja kecil. Mereka adalah aparat pemerintah, tokoh agama dan tokoh masyarakat serta orang orang berpendidikan tinggi. Jabatan, posisi dan kepandaiannya dimanfaatkan untuk menindas orang lain. Tak heran lestarilah kemiskinan di wilayah-wilayah terpencil itu. 

Berhadapan dengan orang orang tersebut juga sangat memerlukan kemampuan menata kata. Mereka menguasai akses ekonomi, informasi dan pemerintahan. Saya harus berhati hati jika tidak ingin terjadi resistensi. Bagamanapun juga ketika masyarakat semakin pintar, 'kerajaan' mereka bisa tergerus. 

Dengan tipe 'penguasa' seperti itu, Saya harus pandai membawa diri. Kadang saya harus merendahkan diri agar posisi mereka tetap merasa diatas. Namun sering juga dituntut memperlihatkan kemampuan intelektual dan literasi, sehingga menimbulkan rasa segan dan hormat. 

Bukannya untuk bersombong diri. Berada di tempat terpencil membuat 'orang kota' seperti saya dianggap manusia pintar sejagad raya. Maklum saja, disana tidak ada koran, televisi apalagi internet. 

Informasi dan pengetahuan yang saya bawa kebanyakan merupakan suatu hal yang baru dan langka. Itu karena lemahnya SDM disana. Sepertinya jika Anda lulusan SMA di Jawa, kemampuan Anda setara bahkan melebihi seorang sarjana lokal. 

Bersikap layaknya intelektual saya ambil untuk menghadapi orang orang pongah yang sebenarnya minim pengetahuan. Saya berada di daerah terpencil, orang orang terpelajar disana sering bersikap tahu segalanya. Dengan sedikit 'hajaran' kata kata, mereka bisa tunduk dari perilaku sok pintar sok kuasa. 

Tahun 2003 saya pindah ke Surabaya, masih bekerja sebagai pendamping masyarakat miskin. 

Di kota Pahlawan itu saya punya pengalaman menata kata yang berbeda. 

Dari pengalaman berkomunikasi dengan SDM lemah, saya berhadapan dengan orang orang pintar. Kali ini saya lebih banyak merendahkan diri karena ilmu pengetahuan yang saya punyai tak cukup berarti. Saya harus belajar lagi. 

Apa yang saya paparkan diatas adalah pengalaman menata kata secara lisan. Saya bisa melihat langsung respon masyarakat atau lawan bicara. Mereka mengerti atau bingung dengan kata kata saya. 

Hal ini berbeda dengan pemilihan kata dalam bentuk tulisan. Komunikasi searah sehingga respon pembaca tidak terlihat. Saya tidak tahu sejauh mana tulisan saya dipahami dan dinikmati. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun