Mohon tunggu...
SRI HARTONO
SRI HARTONO Mohon Tunggu... Supir - Mantan tukang ojol, kini buka warung bubur ayam

Yang penting usaha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kaya Tak Harus Berharta

24 Juni 2022   08:25 Diperbarui: 24 Juni 2022   08:44 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah semua anak muda ingin menjadi kaya? Jawabannya pasti YA. 

Menjadi kaya adalah jawaban ketika kita ingin hidup enak dan nyaman. Kita bisa membeli banyak hak yang diinginkan. 

Dan, mungkin ini yang disukai para anak muda, menjadi kaya juga lebih mudah mendapatkan pasangan seperti yang diinginkan. 

Namun tidak semua anak muda berpikiran hidup untuk memburu harta. Ada anak anak muda yang bekerja sembari menuruti hati nurani mewujudkan semua keinginannya. 

Berikut kisah dari salah satu diantaranya. 

S, anak muda tersebut, ingin bekerja di hotel dan menjadi tour guide. Makanya selepas kuliah tahun 1993, dia langsung berangkat ke Bali mencari kerja mewujudkan cita citanya. 

Tak lama kemudian S diterima kerja di sebuah hotel bintang 4 di kawasan Kuta. Disitulah anak muda itu mengenal dunia perhotelan dan gemerlapnya pergaulan bebas turis mancanegara.

S tinggal di kawasan Legian Kuta, tempat yang paling banyak dikunjungi turis bule dan Jepang. Setiap hari dia melihat kehidupan malam para turis tersebut yang lekat dengan sex bebas dan narkoba. 

Mengenal bukan berarti ikut larut, S tetap teguh memegang adat budaya Indonesia ditengah pergaulan bebas tersebut. 

Karena kontrak kerja sudah selesai, S kemudian mencari pekerjaan di hotel lain. Tak berapa lama dia diterima bekerja di sebuah resort terpencil di Karang Asem Bali. S tetap berdomisili di Kuta membantu usaha garmen bosnya, hanya 2 Minggu sekali datang ke hotel tersebut. 

Karena dianggap punya integritas dan kejujuran yang baik, S dipercaya menjadi tangan kanan bosnya. Tugas dia sebenarnya di bidang keuangan, namun S sering membantu para karyawan disana dengan menjadi apa saja. S senang melayani tamu karena bisa melatih ketrampilan berbahasa Inggrisnya. 

Hampir tiap malam S membantu menjadi waiter jika restaurant sedang ramai. Sering pula dia menjadi tour guide dadakan jika ada tamu hotel yang ingin berwisata ke tempat lain. 

Selain melatih bahasa Inggris dan berkesempatan mengetahui tempat tempat wisata di Bali, S berkenalan dengan berbagai turis mancanegara beserta kebiasaan mereka. S menjadi mengerti betapa beragamnya umat manusia di seluruh dunia. 

Namun S hanya setahun bekerja untuk pengusaha muda tersebut. Keinginan untuk bekerja di bidang entertainment dan periklanan membuat laki laki kelahiran Salatiga itu pindah ke Jakarta. 

Sebenarnya Bosnya tak memperbolehkan S keluar kerja, beliau sedang merintis usaha menjadi developer perumahan dan S diminta untuk mengurusi usaha baru tersebut. 

Status sebagai tangan kanan bos adalah peluang mempunyai penghasilan tinggi. Namun keinginan untuk menjajal dunia baru tak terbendung, S tetap berangkat ke Jakarta di tahun 1994.

Seorang teman yang bekerja di event organizer menerima S bekerja di perusahaannya. Sekali lagi, keinginan S dengan cepat terwujud. 

Seperti keinginanya, banyak pengalaman baru yang S dapatkan saat bekerja disana. Mengelola sebuah event pertunjukkan, membuat iklan, mengawasi syuting sinetron adalah pengalaman baru yang S peroleh. 

Di dunia glamour itu S berjumpa dan berkenalan dengan orang orang dari berbagai kalangan, seniman, selebriti, pebisnis termasuk pejabat tinggi. 

Tingkah polah mereka membuat S semakin paham dengan berbagai karakter manusia. Sulit mencari teman sejati diantara berbagai sifat yang penuh kepentingan. 

Dari perkenalan tersebut, S sempat ditawari kerjasama oleh putra salah seorang pejabat tinggi istana. Mereka akan mendirikan sebuah perusahaan yang mengelola banyak proyek di lingkungan rumah tangga istana.

S menolak, nuraninya tidak setuju dengan bisnis berbau kolusi dan nepotisme. Saat itu masih di era orde baru, KKN adalah hal yang biasa dan jalan menjadi kaya raya. 

Hanya 4 tahun S bekerja di event organizer, krismon tahun 1997 membuat dunia tersebut sepi. Karena tak ada event yang dikerjakan, tahun 1998 S memutuskan kembali ke Salatiga, bekerja apa saja. 

Pada tahun 1999, seorang teman menawari S  membantu masyarakat miskin dengan bekerja di sebuah Lembaga Sosial Masyarakat (LSM). Lokasinya di luar Jawa, tepatnya di Luwuk Banggai, Sulawesi Tengah. Tanpa pikir panjang, S menerima tawaran tersebut walaupun gajinya kecil. 

Membantu masyarakat miskin juga merupakan salah satu keinginan S. Saat kuliah, dia menjadi simpatisan sebuah LSM pro demokrasi. Mereka mengadvokasi masyarakat tertindas untuk memperjuangkan hak haknya. Diantara masyarakat tersebut adalah warga yang terkena proyek Waduk Kedung Ombo. 

Lembaga Sosial Masyarakat itulah yang membentuk S menjadi pribadi yang mementingkan kejujuran dan integritas diri. 

Luwuk Banggai, sebuah wilayah yang S tidak tahu tempatnya ada dimana dan seperti apa. Dia juga tidak tahu bagaimana caranya akan bisa sampai kesana. 

Setelah bertanya sana sini, naik kapal semalam dan naik bus selama 2 malam, S tiba di Luwuk. Kota tersebut terletak di pinggir pantai yang indah dengan air laut jernih dan bersih. 

S kemudian ditempatkan di sebuah desa terpencil tanpa listrik tanpa teman. Tugas utamanya melakukan pendampingan masyarakat untuk meningkatkan sumber daya manusianya. 

Sungguh kontras kehidupan yang harus dihadapi S. Ketika kerja di Bali S menghadapi orang orang yang menghaburkan uang untuk rekreasi. Pindah ke Jakarta, yang S hadapi adalah pribadi pribadi dengan segala ambisi untuk menjadi kaya dan terkenal. Lalu ketika bekerja di Luwuk Banggai, S menemui kemiskinan dan ketertinggalan orang orang disana. 

Luwuk, wilayah tersebut kaya akan hasil hutan dan pertanian, tetapi karena sumber daya manusia lemah, masyarakat disana termasuk miskin. Kekayaan alam tak dimanfaatkan dengan baik karena pendidikan rendah. Mereka kerja hari itu untuk makan hari itu juga, tak ada keinginan untuk menabung. 

Desa yang S tempati dikelilingi daerah transmigrasi dari Jawa, Madura, Lombok hingga Makasar. Ada sembilan suku di daerah tersebut dengan karakter dan adat budaya masing masing. Wilayah pendampingan S rawan konflik antar suku juga penduduk asli dan pendatang. 

S berkesempatan belajar sebuah program yang sangat dia syukuri yaitu Peace Building. 

Peace Building adalah sebuah program untuk membangun kedamaian. Dalam program tersebut mereka mencari hal hal apa saja yang beresiko menimbulkan konflik di masyarakat dan kegiatan yang meningkatkan perdamaian.

Luwuk dipakai sebagai pilot project program Peace Building oleh yayasan tempat S bekerja. Kabupaten sebelah, yaitu Poso, dilanda konflik agama. Namun karena kebijaksanaan  tokoh agama, tokoh adat juga usaha pemerintah daerah, Luwuk tetap tak tersentuh konflik tersebut. 

S beserta tim mendatangi para tokoh adat dan agama semua suku yang ada dan melakukan wawancara dan diskusi tenganh kehidupan suku suku tersebut. 

Hasil dari kegiatan tersebut kemudian disusun dalam sebuah laporan yang dipergunakan sebagai dasar dalam membuat kegiatan dimasyarakat. 

Dari program itu pula S juga akhirnya memahami mengapa dan bagaimana sebuah suku menjalankan kehidupan dengan berbagai kebiasaan. Terkadang ada kebiasaan yang bisa mengundang konflik karena perbedaan keyakinan. Namun setiap suku akhirnya melakukan kesepakatan dan  kebijakan agar konflik tidak terjadi. 

Di wilayah tersebut, S menemukan Indonesia yang bersatu. Bhineka tunggal ika bukanlah slogan semata. 

Semakin bertambah toleransi S terhadap sesama masyarakat Indonesia. Dia tidak menganggap apa yang menjadi budaya dan keyakinannya lebih baik dari orang lain. 

Hanya 4 tahun S bekerja di wilayah tersebut, karena ingin mendekatkan diri ke keluarga, S mengundurkan diri lalu pulang ke Salatiga. 

Banyak bekal pengetahuan yang didapat selama bekerja di Luwuk, tetapi yang terpenting S banyak mendapat saudara baru. Saudara yang berasal dari berbagai suku bangsa. 

Tak lama di Salatiga, S ditawari oleh yayasan yang sama untuk bekerja mendampingi masyarakat miskin lagi, kali ini lokasinya di Surabaya. 

Di Surabaya mereka juga mendampingi masyarakat yang SDMnya lemah. Namun bukan pengetahuan mereka, tetapi ketrampilan rendah dan akses menuju peningkatan ekonomi yang terbatas. 

Masalah di kota besar ini beda dengan wilayah kerja S yang dulu. S dihadapkan kepada masyarakat yang lebih pandai namun tak mampu bersaing mendapatkan kue kehidupan perkotaan. 

Jika di Luwuk S banyak berhubungan dengan para Bapak dan anak anak, kali ini di Surabaya, S lebih banyak berhubungan dengan anak anak dan ibu ibu, baik yang berstatus ibu rumah tangga maupun para janda. 

Bergaul dengan para perempuan memperkaya wawasan S tentang sosok mereka dan kehidupannya. Mendampingi anak anak dan remaja membuat S semakin paham tumbuh kembang mereka dengan segala problematikanya. 

Semakin hari S semakin diperkaya oleh kehidupannya. Pihak LSM banyak membekali S dengan berbagai pelatihan baik bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan dan psikologi. Bekal tersebut sangat berguna ketika S menjalankan tugasnya sebagai fasilitator dan pendamping masyarakat. 

S juga bergabung sebagai team emergency response di LSM tersebut. Pelatihan dan ketrampilan mendampingi masyarakat yang terkena bencana membuatnya siap dikirim kemana saja jika diperlukan. S pernah dikirim menjadi sukarelawan bencana alam di beberapa tempat di Indonesia. 

Dengan begitu banyak pengetahuan dan ketrampilan yang didapatnya selama bekerja, S sangat bersyukur bahwa menuruti hati nurani menuntunnya menjadi kaya batin dan pengetahuan. 

Dia juga dikaruniai berkah yang sangat bernilai. Di umur 38 tahun, usia yang  dianggap terlambat untuk memulai kehidupan berkeluarga, Tuhan memilihkannya jodoh teman satu kantor. Sosok yang mempunyai visi misi sama dalam berkeluarga dan bermasyarakat. Dengan demikian, lebih muda bagi S untuk memulai kehidupan berkeluarganya. 

Kini S mengundurkan diri dari LSM tersebut. Di usianya yang menginjak 52 tahun, hidupnya tenang beserta istri dan kedua anaknya meskipun dalam keterbatasan harta. 

Setelah belasan tahun membantu keluarga orang lain, kekayaan batin dan pengetahuan itu digunakan untuk membangun keluarganya sendiri.

Kaya memang tak harus berharta.

Oh ya..... Nama lengkap S adalah Sri Hartono

Salatiga 240622.126

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun