Kepala ayam kampung itu yang paling nikmat adalah otaknya. Untuk mendapatkan otak ayam yang kecil itu, kami harus nglethak (menggigit) tulang kepala ayam sekerasnya.Â
Tulang kepala ayam kampung jago keras sekali, jika gigi tidak kuat tidak akan bisa memecahkannya. Saat itu belum ada namanya presto. Jika ingin empuk, harus direbus lama terlebih dulu.Â
Karena sering menggigit kepala ayam kampung, gigi saya jadi kuat. Saat saya harus mencabut gigi yang berlubang, dokter giginya sampai kesulitan. Gigi saya harus di bor dulu, dipecah baru bisa dicabut. Untunglah sampai sekarang saya jarang sakit gigi lagi.Â
Hubungan keluarga saya dengan keluarga Mbah Marto juga akrab. Penerus Mbah Marto yang sudah meninggal, Budhe Mi, selalu mengajak ngobrol kami saat mampir di warungnya.Â
"Kamu sekarang dimana? Anakmu berapa? Adik dan kakakmu tinggal dimana? "
Pertanyaan pertanyaan itu selalu terucap dari Budhe Mi yang ramah.Â
Kepada Budhe Mi saya tidak pernah meminta kepala ayam. Selain malu, kepala ayamnya sudah laku karena banyak dibeli. Gigi saya juga sudah tidak kuat menggigit tulang kepala ayam kampung jagonya.
Maklum, mencari otak ayam kampung yang nikmat itu kejadiannya sudah 40 tahun yang lalu.Â
Nah, itulah pengalaman saya dengan Soto Esto. Kenangan tak terlupakan saat menikmati kuliner bernama soto.Â
Salatiga 260921.45
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H