Mohon tunggu...
SRI HARTONO
SRI HARTONO Mohon Tunggu... Supir - Mantan tukang ojol, kini buka warung bubur ayam

Yang penting usaha

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Soto Esto, Soto Kepala Ayam Jago

26 September 2021   10:14 Diperbarui: 30 September 2021   03:30 1353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bicara soal makan soto, Soto Esto menjadi kenangan yang tak akan saya lupakan. Kejadiannya  tahun 70-80an.

Dulu, Rumah saya terletak persis di belakang garasi bus Esto, di kampung Pungkursari Salatiga. Disamping garasi itu ada gang kecil, rumah saya hanya 6 rumah dari mulut gang. 

Sebelum jam 6 pagi, Mbah Marto, begitu sang penjual dipanggil, sudah memikul dagangannya dari rumah beliau. Letaknya di RT lain dengan jarak sekitar 300 meteran. 

Setelah sampai diwarungnya, pikulan diletakkan, jualan disiapkan. Terkadang ada pembeli yang sudah menanti duluan. Sarapan lezat soto Esto menjadi awal yang nikmat memulai kegiatan sehari hari. 

Dulu belum musim jualan pakai spanduk. Tak ada nama terpampang di warung soto Mbah Marto. Entah siapa yang memulai menyebut Soto Mbah Marto dengan sebutan soto Esto. Mungkin karena lokasi didepan garasi bus Esto, untuk mempermudah menamainya, soto Esto yang menjadi penandanya. 

Soto Esto memang beda. Kebanyakan soto di Salatiga berwarna bening, tetapi soto Esto berwarna kuning. Pasti ada bumbu rahasia yang membedakan dengan soto lainnya. Rasanya khas Salatiga, gurih dan ada manis manisnya. 

Salatiga terletak di tengah kota Semarang dan Solo. Makanya warga Salatiga juga suka makanan yang manis, tetapi tidak terlalu manis. Hal itu dikarenakan ada kombinasi rasa masakan wilayah Solo yang gurih manis dan masakan Semarang yang cenderung gurih asin. 

Seperti sudah diulas artikel lain, yang khas dari Soto Esto adalah lauk pengiringnya. Ada karak yang dihancurkan sebagai toping, ada juga mentho/lentho yang disajikan. 

Karak adalah krupuk sejenis krupuk uli yang bahannya terbuat dari nasi. Warnanya coklat dengan bentuk segi empat. Saya suka karak yang agak gosong. Ada sensasi rasa berbeda jika kita menikmatinya. Apalagi jika dilumuri dengan sambal kecap. Kriuk kriuk nikmat. 

Krupuk Karak. Dokpri
Krupuk Karak. Dokpri

Mentho/Lentho berbentuk agak gepeng berwarna coklat. Biasanya ada kacang tolo yang terlihat dipermukaannya. Bahannya dari parutan singkong dan kacang tolo yang dihancurkan kemudian digoreng. 

Mentho/LenthoSumber gambar diahdidi.com 
Mentho/LenthoSumber gambar diahdidi.com 

Satu hal yang memuat saya terkenang sampai saat ini adalah meminta bonus ketika membeli soto. Bonusnya berupa kuah banyak dan kepala ayam kampung jago. 

"Mbah Marto, nyuwun dudohe sing kathah kaleh ndase ayam". Artinya : Mbah Marto, minta kuah yang banyak dan kepala ayamnya. 

Saya kemudian mengulurkan rantang loreng hijau sebagai wadahnya. Supaya berhasil memintanya dengan mata dan wajah yang memelas. Waktu itu saya memang masih kecil, masih murid SD. 

Mbah Martho orangnya baik hati. Jika masih ada kepala ayamnya pasti kami diberi. Kadang satu kadang lebih. 

Kalau kepala ayamnya hanya satu, saya selalu rebutan dengan kakak. Mulai dari bentak bentakan, sampai tangis tangisan. Pertengkaran dilakukan demi asyiknya ngrikiti (menggerogoti) kepala ayam jago. 

Namun jangan berharap jika meminta bonus di pagi hari, belum tentu kepala ayamnya diberi. Mungkin kepala ayamnya di rebus lama dulu untuk diambil sari sarinya. 

Makanya kalau saya beli soto Esto, biasanya siang hari. Waktu yang pas adalah sekitar jam 1 menjelang tutup warung. 

Bonusnya tidak hanya kepala ayam jago tetapi juga cekernya. Kecambahnya juga sering diberi banyak. Apa ini yang menyebabkan keluarga saya subur beranak? Kecambah kan lambang kesuburan... 

Kepala ayam Jago soto Esto juga memberi cerita sendiri. Saya tahu pasti itu ayam kampung jago dari jenggernya. Jaman dulu belum ada ayam potong negeri. Semua sajian ayam pasti dari ayam kampung. Itu sebabnya kuliner dulu lebih nikmat dari sekarang. Bumbu dan ayamnya dari bahan alami. 

Kepala ayam kampung itu yang paling nikmat adalah otaknya. Untuk mendapatkan otak ayam yang kecil itu, kami harus nglethak (menggigit) tulang kepala ayam sekerasnya. 

Tulang kepala ayam kampung jago keras sekali, jika gigi tidak kuat tidak akan bisa memecahkannya. Saat itu belum ada namanya presto. Jika ingin empuk, harus direbus lama terlebih dulu. 

Karena sering menggigit kepala ayam kampung, gigi saya jadi kuat. Saat saya harus mencabut gigi yang berlubang, dokter giginya sampai kesulitan. Gigi saya harus di bor dulu, dipecah baru bisa dicabut. Untunglah sampai sekarang saya jarang sakit gigi lagi. 

Hubungan keluarga saya dengan keluarga Mbah Marto juga akrab. Penerus Mbah Marto yang sudah meninggal, Budhe Mi, selalu mengajak ngobrol kami saat mampir di warungnya. 

"Kamu sekarang dimana? Anakmu berapa? Adik dan kakakmu tinggal dimana? "

Pertanyaan pertanyaan itu selalu terucap dari Budhe Mi yang ramah. 

Kepada Budhe Mi saya tidak pernah meminta kepala ayam. Selain malu, kepala ayamnya sudah laku karena banyak dibeli. Gigi saya juga sudah tidak kuat menggigit tulang kepala ayam kampung jagonya.

Maklum, mencari otak ayam kampung yang nikmat itu kejadiannya sudah 40 tahun yang lalu. 

Nah, itulah pengalaman saya dengan Soto Esto. Kenangan tak terlupakan saat menikmati kuliner bernama soto. 

Salatiga 260921.45

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun