Setiap hari saya naik motor berkunjung  ke desa binaan. Jaraknya dari ratusan meter sampai puluhan kilometer. Walkman itulah yang setia menemani.Â
Lebih sering mendengarkan musik metal, saya suka mengangguk anggukan kepala tanda menikmati. Itu saya lakukan setiap hari pagi, siang malam saat naik motor ke wilayah dampingan.Â
Karena anggukan kepala, saya menjadi banyak dikenal. Selain belum ada yang melakukan, perbuatan aneh itu malahan menjadi trend baru anak muda disana. Padahal saya datang sebagai pekerja sosial. Tidak bermaksud memperkenalkan budaya baru yang agak asing di sana.Â
Naik motor, walkman, musik metal, angguk anggukan kepala.Â
Akibatnya banyak anak muda yang ingin kenalan dan mendengarkan lagu yang saya bawa. Musik metal bisa kami nikmati bersama.Â
Kecamatan di mana saya bekerja, dihuni oleh 9 suku yang berbeda. Mereka berasal dari Jawa, Madura, Sulawesi ditambah suku suku asli setempat. Kebanyakan para pendatang karena program transmigrasi plus para perantau.Â
Kecamatan tersebut rawan konflik antar pendatang dan antar suku asli dengan pendatang.Â
Setahun setelah saya tinggal disana, terjadilah konflik di kabupaten sebelah. Katanya konflik itu berlandaskan agama. Kekerasan terjadi di beberapa wilayah, tidak pandang suku maupun agama.Â
Masyarakat beda suku dan berbeda agama awalnya rukun rukun saja, tetapi karena provokasi, mereka jadi pelaku dan korban kerusuhan.
Kami kuatir konflik akan meluas ke daerah kami karena persis di wilayah yang berbatasan dengan Kabupaten tersebut. Provokasi juga terjadi di kabupaten kami.Â
Bahkan ada kelompok dari kecamatan lain sudah bersiap mengirimkan orang membantu salah satu pihak.Â