Sebatas aksara terdengar ditelinga
Mengundang merdu irama bercengkrama
Pada puisi AQ bercerita
Menggenggam luka yang tak kutemukan obatnya.
Malang sungguh bahagiaku terbelenggu
Deru nafasku memburuh
Bulir keringat ikut meluruh
Membuat kasih tubuh yang lusuh.
Malang sungguh ratapku tergugu
Membentuk rentan dunia yang salah pola asuh
Tawa sumbang saling bersahutanÂ
Menampilkan  arogansi yang tak berkesudahan
Dihiasi penuh seni
Bermandikan aib diri.
Teruntukmu yang kupuja
Nyatanya hatiku sempat menghampa
Sebab ketidakadilan yang diperoleh penuh siksa
Dalam kebimbangan yang merunut keraguan jiwa
Pernahkah kita bertanya?...
Pada cerita - cerita karangan durjana...
Taukah engkau tentang sebuah tangis
Begitu menyesakkan dada
Merintih didalam batin diujung perih yang teriris
Menahan kata untuk bicara
Menahan syahdu mengungkapkan rasa
Lalu...
Masihkah engkau ragu dengan itikadku?...
Teruntukmu yang selalu kulangitkan doa
Pernahkan engkau sekali saja bertanya
Mengapa diriku tak pernah terdengar tawa
Sebabnya tenang yang kudapatkan darimu tak sebanding dengan yang kubawa.
Meski sempat menghindar untuk memilih jalanku sendiri
Meski sempat berfikir untuk menjauh karna kita tak sejalan
Meski sempat teringin untuk menghilang sebab banyak perbedaan
Nyatanya...
Bukan diriku yang kuat bertahan
Tapi atas campur tangan Tuhan kita dipertemukan
Hingga sedekat ini bahkan tak terpisahkan
Apalagi sampai kehilangan.
Masihkah engkau berfikirÂ
Akulah kaum yang kikir
Mengobati lukaku yang senantiasa terukir.
Masihkah engkau menganggap
Diriku tak pernah berharap
Dalam diamnya bibir yang tak pernah berucap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H