"Saya akan berjuang terus bersama semua kekuatan yang mau diajak kerja sama. Yang tidak mau diajak kerja sama, tidak apa-apa. Kalau ada yang mau nonton di pinggir jalan, silakan jadi penonton yang baik," ujar Prabowo. "Tapi kalau sudah tidak mau diajak kerja sama, ya jangan mengganggu. Orang lagi mau kerja kok. Kita mau kerja," kata Ketua Umum Partai Gerindra itu.
Hal itu disampaikan Prabowo dalam acara bimbingan teknis dan rapat koordinasi nasional pemilihan kepala daerah (Pilkada) Partai Amanat Nasional (PAN) di Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan, Kamis (9/5/2024) petang.
Cuplikan di atas adalah bagaimana calon presiden Prabowo menyinggung mengenai koalisi dalam pemerintahannya dan kata koalisi ini terus bergulir hingga pemilihan pilkada di Indonesia. Pembentukan partai koalisi menjadi sedemikian penting dengan dalil untuk kebersamaan dan keutuhan pemerintah Indonesia. Apakah benar adanya? Tentunya kita bisa menilai seiring pemerintahan  baru  di republik ini berjalan.
Sebelumnya saya tertarik untuk mengetahu lebih dalam dari arti Kata ini. koalisi berasal dari bahasa Latin, yaitu coalitio, yang berarti "pertumbuhan bersama" atau "penyatuan." Secara etimologis, coalitio adalah gabungan dari dua kata Latin: co- yang berarti "bersama" atau "dengan" dan alescere yang berarti "tumbuh" atau "menjadi." Dengan demikian, koalisi secara harfiah berarti "proses pertumbuhan atau penyatuan bersama."
Dalam perkembangannya berikut penggunaan dari arti kata koalisi dari waktu ke waktu:
1. Penggunaan Awal (Latin Klasik)
Dalam bahasa Latin klasik, coalitio merujuk pada proses alamiah, seperti tumbuhnya bagian-bagian yang terpisah menjadi satu kesatuan yang lebih besar. Penggunaan awal ini lebih terkait dengan fenomena fisik atau biologis.
2. Perkembangan dalam Bahasa Inggris dan Prancis
Pada abad ke-17, kata coalition mulai masuk ke bahasa Inggris melalui bahasa Prancis, di mana kata tersebut mulai digunakan dalam konteks politik. Dalam bahasa Prancis, coalition awalnya berarti aliansi antara negara-negara atau kekuatan-kekuatan politik untuk mencapai tujuan bersama, terutama dalam konteks militer dan diplomasi. Dalam bahasa Inggris, kata coalition pertama kali digunakan pada abad ke-17 dengan makna aliansi atau persekutuan antara kekuatan politik atau negara. Penggunaan kata ini semakin berkembang untuk menggambarkan kerjasama politik di mana dua atau lebih pihak yang berbeda bersatu demi tujuan yang sama.
3. Penggunaan di Dunia Politik (Abad ke-18 hingga Sekarang)
Pada abad ke-18 dan 19, koalisi mulai digunakan secara luas dalam konteks politik, terutama di Eropa, untuk merujuk pada aliansi antar negara atau partai politik. Misalnya, selama periode perang Eropa, berbagai negara sering kali membentuk koalisi militer untuk melawan ancaman bersama, seperti dalam kasus Koalisi Anti-Napoleon di Prancis. Di dunia politik modern, koalisi merujuk pada kerjasama antara partai-partai politik dalam sistem pemerintahan parlementer, terutama ketika tidak ada satu partai pun yang memperoleh mayoritas. Koalisi memungkinkan partai-partai tersebut bekerja sama untuk membentuk pemerintahan dan menjalankan kekuasaan secara bersama-sama.
4. Penggunaan di Indonesia
Di Indonesia, kata "koalisi" diadopsi dalam konteks politik sejak era kemerdekaan. Kata ini merujuk pada pembentukan aliansi antar partai politik untuk membentuk pemerintahan, terutama ketika sistem multipartai berkembang. Pada era demokrasi parlementer Indonesia di tahun 1950-an, koalisi menjadi bagian penting dari politik Indonesia karena tidak ada satu partai yang menguasai mayoritas mutlak. Setelah reformasi 1998, kata "koalisi" semakin sering digunakan untuk menggambarkan dinamika politik, terutama dalam pemilihan presiden dan pembentukan pemerintahan.
Dapat diambail kesimpulan bahwa secara historis, kata koalisi berkembang dari istilah yang menggambarkan proses penyatuan di alam menjadi istilah politik yang menggambarkan aliansi antara kelompok, negara, atau partai politik untuk mencapai tujuan bersama. Di Indonesia, kata ini digunakan secara luas dalam sistem politik multipartai, di mana partai-partai berkoalis :i untuk membentuk pemerintahan yang stabil dan efektif. Â
Berikut pendapat beberapa ahli mengenai definisi dari koalisi
Paul A. Sabatier (2019) - Dalam buku Theories of the Policy Process, Sabatier memperkenalkan konsep "Advocacy Coalition Framework (ACF)" yang menjelaskan koalisi sebagai sekelompok aktor yang berbagi keyakinan dan bekerja sama dalam jangka waktu panjang untuk memengaruhi kebijakan publik. ACF menekankan bahwa koalisi kebijakan terbentuk berdasarkan keyakinan bersama, bukan hanya kepentingan jangka pendek.
John A. Scherpereel (2020), dalam bukunya "European Politics in the Age of Globalization, Scherpereel" mendefinisikan koalisi sebagai organisasi atau kerja sama antar-negara atau partai di tingkat supranasional (seperti Uni Eropa) yang berusaha mencapai tujuan bersama. Koalisi ini sering terbentuk dalam konteks kebijakan ekonomi atau keamanan internasional.
Kathleen Thelen (2014), dalam bukunya "Varieties of Liberalization and the New Politics of Social Solidarity" mendefinisikan koalisi sebagai aliansi politik dan sosial antara aktor-aktor yang memiliki tujuan bersama, terutama dalam mengatur hubungan antara pasar dan negara. Koalisi ini penting dalam mendorong perubahan institusional dalam politik ekonomi.
Dari beberapa definisi dapat disimpulkan bahwa Koalisi adalah suatu aliansi atau kerja sama antara beberapa pihak, baik individu, kelompok, organisasi, atau negara, yang memiliki tujuan bersama. Koalisi biasanya dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu yang lebih mudah dicapai melalui kerjasama, daripada secara individu. Koalisi sering terjadi dalam konteks politik, ekonomi, militer, atau sosial.
DI Indonesia sendiri Sejarah perkembangan koalisi ini sangat erat kaitannya dengan dinamika politik sejak masa kemerdekaan hingga era reformasi. Koalisi politik di Indonesia berkembang seiring perubahan sistem pemerintahan, dari sistem parlementer hingga presidensial.
1. Era Pasca-Kemerdekaan (1945-1959)
Pada masa awal kemerdekaan, Indonesia menggunakan sistem parlementer, di mana presiden berperan sebagai kepala negara dan perdana menteri memimpin pemerintahan. Sistem ini memungkinkan terbentuknya koalisi antarpartai untuk membentuk pemerintahan. Pada era ini, banyak partai politik yang muncul, termasuk Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Koalisi antara partai-partai ini menjadi penting karena tidak ada satu partai yang memiliki suara mayoritas. Pemerintahan sering kali dibentuk oleh koalisi partai-partai, namun koalisi ini cenderung tidak stabil, yang menyebabkan seringnya pergantian kabinet (sekitar 7 kali dalam 10 tahun).
Kabinet Koalisi: Misalnya, Kabinet Sjahrir (1945-1947) dan Kabinet Hatta (1948-1949) yang didukung oleh koalisi partai besar seperti PNI, Masyumi, dan PKI. Namun, ketidakstabilan politik akibat koalisi yang mudah pecah menjadi salah satu faktor yang mendorong peralihan ke sistem presidensial pada 1959.
2. Era Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Pada tahun 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang mengembalikan Indonesia ke UUD 1945, yang secara efektif mengubah sistem pemerintahan menjadi presidensial. Pada masa ini, koalisi politik formal tidak lagi memainkan peran penting karena peran dominan Sukarno yang menggabungkan kekuatan politik dalam "Nasakom" (Nasionalis, Agama, Komunis). Nasakom menjadi bentuk "koalisi ideologis" antara tiga elemen utama dalam politik Indonesia saat itu: nasionalis, agama, dan komunis.
3. Era Orde Baru (1966-1998)
Pada era Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto, sistem politik di Indonesia didominasi oleh Golongan Karya (Golkar) yang berkuasa hampir tanpa oposisi. Koalisi partai-partai hampir tidak ada karena sistem politik yang sangat terpusat dan terkontrol oleh negara. Partai-partai politik yang ada, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), tidak memiliki ruang untuk membentuk koalisi yang efektif. Pada masa ini, Golkar lebih berfungsi sebagai mesin politik negara.
4. Era Reformasi (1998-sekarang)
Setelah jatuhnya Soeharto pada 1998, Indonesia memasuki era reformasi yang ditandai dengan liberalisasi politik, kebebasan pers, dan multipartai. Sistem politik kembali membuka ruang bagi koalisi antarpartai, terutama dalam pemilihan presiden dan parlemen. Pemilu pertama pada era reformasi 1999 diikuti banyak partai, dengan lima partai besar: PDI-P, Golkar, PKB, PAN, dan PPP. Pada pemilu ini, PDI-P memenangkan suara terbanyak, tetapi karena sistem presidensial, Megawati Soekarnoputri harus membentuk koalisi dengan partai-partai lain untuk membangun dukungan politik. Sejak pemilihan presiden langsung dimulai pada 2004, koalisi partai menjadi sangat penting untuk mendukung calon presiden. Koalisi dibentuk untuk memobilisasi dukungan dari berbagai partai, mengingat tidak ada satu partai yang bisa meraih mayoritas suara.
Koalisi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY): Pada pemilu 2004 dan 2009, SBY membentuk koalisi dengan partai-partai seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan PAN. Koalisi ini membantunya memenangkan pemilu dua kali. Kemudian ke dua adalah Koalisi Jokowi yang pada pemilu 2014 dan 2019, Jokowi membentuk koalisi yang solid dengan partai-partai besar seperti PDI-P, Partai Golkar, dan NasDem. Koalisi besar ini memungkinkan pemerintahan Jokowi memiliki stabilitas politik yang lebih baik. Di parlemen sendiri  koalisi tetap menjadi alat penting untuk meraih kekuasaan. Partai-partai yang gagal memenangkan pemilihan presiden biasanya membentuk koalisi oposisi untuk menyeimbangkan kekuasaan.
5. Perkembangan Koalisi di Masa Kini
Koalisi politik di Indonesia pada masa kini ditentukan oleh kalkulasi strategis, terutama terkait dengan Pemilu 2024. Partai-partai terus membangun koalisi baik untuk mendukung calon presiden maupun untuk mengamankan kursi di DPR. Tren koalisi yang ada saat ini lebih pragmatis daripada ideologis, di mana partai-partai sering berkoalisi untuk mencapai tujuan politik jangka pendek, termasuk memperoleh kekuasaan eksekutif.
Koalisi dalam pemerintahan sendiiri memiliki berbagai dampak yang dapat mempengaruhi stabilitas dan efektivitas pemerintahan. Berikut adalah beberapa dampak negatif dan positif dari koalisi itu sendiri, diantaranya adalah :
Dampak Positif dari koalisi dalam pemerintahan dintaranya :
- Koalisi yang kuat dapat memberikan stabilitas politik dengan menyatukan berbagai kelompok politik dan mencegah dominasi satu partai. Ini dapat mengurangi konflik politik dan memungkinkan pemerintahan berjalan dengan lebih lancar.
- Koalisi memungkinkan berbagai kelompok dan partai politik yang berbeda untuk terwakili dalam pemerintahan, yang dapat mencerminkan keberagaman pandangan dan kepentingan masyarakat. Hal ini dapat memperkuat legitimasi pemerintahan.
- Dengan adanya koalisi, keputusan kebijakan diambil dengan mempertimbangkan berbagai perspektif, yang dapat mengarah pada kebijakan yang lebih seimbang dan adil.
- Koalisi memerlukan kompromi dan negosiasi antarpartai, yang dapat memperkuat konsensus dan mengurangi polarisasi politik. Proses ini dapat menghasilkan kebijakan yang lebih inklusif.
- Koalisi dapat mengakomodasi perubahan kepentingan politik dan sosial, memungkinkan pemerintah untuk beradaptasi dengan cepat terhadap situasi baru atau perubahan dalam opini publik.
Selain itu koalisi memilik dampak negative, diantaranya :
- Koalisi yang terdiri dari banyak partai bisa menjadi tidak stabil jika terjadi perpecahan atau konflik antara anggota koalisi. Hal ini dapat mengarah pada krisis politik, perubahan kabinet yang sering, dan ketidakpastian.
- Proses negosiasi dan kompromi dalam koalisi dapat memperlambat pengambilan keputusan. Ketergantungan pada konsensus bisa menyebabkan penundaan atau kebijakan yang tidak efektif.
- Untuk menjaga kesepakatan dalam koalisi, sering kali diperlukan kompromi yang signifikan, yang dapat mengakibatkan kebijakan yang kurang efektif atau tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan.
- Perubahan dalam koalisi atau pergantian anggota koalisi dapat menyebabkan perubahan arah kebijakan yang sering, yang dapat mengganggu konsistensi dan kesinambungan dalam pemerintahan.
- Pemerintah dalam koalisi sering kali harus bergantung pada dukungan dari partai-partai koalisi untuk meloloskan undang-undang atau kebijakan. Ini dapat membuat pemerintah rentan terhadap tekanan dari partai-partai kecil atau kepentingan khusus.
- Dalam beberapa kasus, pembentukan koalisi dapat melibatkan politik patronase atau pembagian kekuasaan yang didorong oleh kepentingan pribadi atau partai tertentu, yang dapat merugikan efektivitas pemerintahan dan mengarah pada korupsi.
Secara keseluruhan, dampak koalisi dalam pemerintahan sangat bergantung pada kualitas kerja sama antarpartai, struktur koalisi, dan konteks politik spesifik. Koalisi yang dirancang dengan baik dan dikelola dengan efektif dapat membawa manfaat besar bagi pemerintahan, sementara koalisi yang tidak stabil atau dikelola dengan buruk dapat menimbulkan berbagai tantangan.
Tentunya masyarakat akan menilai sendiri apakah memang koalisi yang ada saat ini lebih banyak memberi efek positif atau lebih banyak negatifnya. Yang jelas dalam suatu pemerintahan terutama khususnya yang dalam hal ini diwakili oleh DPR jika tidak ada oposisi terhadap koalisi akan berdampak kearah dimana akan terjadi persekutuan dalam berbagai kebijakan dan yang tidak kita inginkan adalah jika hal tersebut berdampak penekanan kepada masyarakat serta keperbihakan segala kebijakan yang menguntungkan pihak pihak yang berkoalisi.
Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI