Mohon tunggu...
Sri Devi
Sri Devi Mohon Tunggu... Jurnalis - Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Islamic communication and broadcasting

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penggunaan Sensor dalam Film Kartun di Indonesia

3 Juli 2023   09:23 Diperbarui: 3 Juli 2023   09:24 976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penggunaan Sensor dalam Film Kartun di Indonesia: Tinjauan Terhadap Prinsip-prinsip Moral dan Regulasi Industri

PENDAHULUAN

Industri film kartun di Indonesia telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya populer dan hiburan yang disukai oleh berbagai kalangan. Sebagai medium yang disajikan kepada penonton dari berbagai usia, film kartun memiliki peran penting dalam menyampaikan pesan, nilai-nilai moral, dan hiburan yang positif. Namun, dalam konteks ini, regulasi sensor memainkan peranan yang signifikan dalam menentukan konten yang dapat disaksikan oleh penonton.

Penggunaan sensor dalam film kartun di Indonesia adalah bagian integral dari upaya untuk memastikan bahwa konten yang disajikan sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang berlaku dan dapat diterima oleh masyarakat. Lembaga Sensor Film (LSF) merupakan badan regulator yang bertanggung jawab atas proses sensor dan penetapan klasifikasi usia untuk film kartun di Indonesia.

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan tinjauan mendalam terhadap penggunaan sensor dalam film kartun di Indonesia dan menganalisis implementasi prinsip-prinsip moral dalam regulasi industri. Dalam hal ini, prinsip-prinsip moral mencakup aspek-etika, penghormatan terhadap budaya lokal, serta pengarahan nilai-nilai positif kepada penonton. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat dipahami lebih baik bagaimana sensor film kartun di Indonesia berperan dalam menjaga kualitas, keberlanjutan, dan kesesuaian konten dengan nilai-nilai moral yang dianut oleh masyarakat. Selain itu, penelitian ini juga akan melihat implikasi penggunaan sensor terhadap industri kreatif, terutama dalam hal pembatasan kreativitas dan pengaruh terhadap daya tarik film kartun di Indonesia.

Dalam paper ini akan mengulas secara rinci regulasi industri film kartun di Indonesia, tinjauan terhadap prinsip-prinsip moral dalam sensor film kartun, serta implikasi penggunaan sensor terhadap film kartun dan industri kreatif secara keseluruhan. Dengan demikian, paper ini berkontribusi dalam memperluas wawasan dan pemahaman tentang pentingnya penggunaan sensor dalam film kartun di Indonesia, dengan fokus pada prinsip-prinsip moral dan regulasi industri. Melalui tinjauan ini, diharapkan dapat ditemukan langkah-langkah yang dapat meningkatkan kualitas dan relevansi film kartun, serta menjaga kesesuaian konten dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia.

PEMBAHASAN

Pengertian Film Kartun

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, film dapat diartikan dalam dua pengertian. Pertama, film merupakan selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau untuk tempat gambar positif (yang akan dimainkan dibioskop). Yang kedua, film diartikan sebagai lakon (cerita) gambar hidup Sebagai industri (an industry), film adalah sesuatu yang merupakan bagian dari produksi ekonomi suatu masyarakat dan ia mesti dipandang dalam hubungannya dengan produk-produk lainnya. Sebagai komunikasi (communication), film merupakan bagian penting dari sistem yang digunakan oleh para individu dan kelompok untuk mengirim dan menerima pesan (send and receive messages) (Ibrahim, 2011: 190).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia animasi adalah acara televisi atau film yang berbentuk rangkaian lukisan atau gambar yang digerakkan secara mekanik elektronis, sehingga tampak dilayar menjadi bergerak. Kata animasi berasal dari bahasa latin, anima yang berarti hidup atau animare yang berarti meniupkan arwah atau hidup kedalam benda mati, kemudian istilah tersebut dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris menjadi animate yang berarti memberi hidup (to give life to), atau animation yang berarti ilusi dari gerakan. Istilah animation diartikan membuat film kartun (the making of cartoons) tetapi pada bahasa Indonesia disebut animasi. (Ranang, dkk. 2010: 9)

Film kartun adalah sebuah bentuk media audiovisual yang menggunakan gambar-gambar yang digambar tangan atau secara digital untuk menciptakan cerita dan karakter yang animasi. Film kartun sering kali menggabungkan elemen komedi, petualangan, fantasi, dan drama untuk menghibur dan menyampaikan pesan kepada penonton. (Jean Ann Wright 2005:1)

Dalam industri film kartun di Indonesia, regulasi sensor memiliki peran penting dalam menjaga konten yang disajikan kepada penonton agar sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang berlaku. Lembaga Sensor Film (LSF) bertanggung jawab sebagai badan regulator yang menetapkan kriteria sensor untuk film kartun. Kriteria sensor ini mencakup berbagai aspek seperti kekerasan, seksualitas, bahasa, dan nilai-nilai moral.

Regulasi Industri Film Kartun di Indonesia

Lembaga Sensor Film (LSF) atau yang biasa disebut sebagai Lembaga Sensor Film merupakan lembaga yang bersifat tetap dan independen yang berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia (pasal 3 PP No.18 tahun 2014 tentang LSF). Salah satu tugasnya yaitu melakukan penyensoran terhadap film dan iklan film dengan bertumpu pada UU No.33 tahun 2009 tentang Perfilman, Peraturan Pemerintah No.18 tahun 2014, Peraturan Menteri No.14 tahun 2019 ataupun UU yang terkait lainnya. Dalam tayangan televisi pun, LSF juga mengadopsi aturan dari KPI (P3SPS) agar selaras. Namun ada yang membedakan antara LSF dulu dan sekarang.

Lembaga Sensor Film (LSF) memiliki peran utama sebagai badan regulator dalam industri film kartun di Indonesia. Mereka bertanggung jawab untuk mengawasi dan mengatur konten film kartun yang akan disiarkan atau diputar di Indonesia. Peran LSF meliputi proses sensor konten, penetapan klasifikasi usia, penerbitan sertifikat sensor, pengawasan penyebaran konten, dan penegakan hukum terkait pelanggaran dalam industri film.

Lembaga Sensor Film (LSF) menggunakan kriteria sensor yang berlaku untuk mengevaluasi konten film kartun. Kriteria ini mencakup berbagai aspek, seperti kekerasan, seksualitas, bahasa, dan nilai-nilai moral yang ada dalam film. LSF mempertimbangkan apakah konten tersebut sesuai dengan norma-norma sosial, budaya, dan nilai-nilai moral yang berlaku di Indonesia. Kriteria sensor ini membantu memastikan bahwa film kartun yang disiarkan atau diputar di Indonesia memenuhi standar moral dan etika yang diharapkan.

Lembaga Sensor Film (LSF) memiliki tanggung jawab penting dalam menjaga prinsip-prinsip moral dalam film kartun. Mereka harus memastikan bahwa konten film kartun tidak mengandung kekerasan yang berlebihan, adegan seksual yang tidak pantas, bahasa kasar, atau elemen lain yang melanggar prinsip-prinsip moral yang diterima secara luas. LSF juga berperan dalam mendorong penyampaian nilai-nilai moral yang positif melalui konten film kartun. Tanggung jawab LSF juga melibatkan kerjasama dengan produsen film kartun dan pihak terkait dalam proses produksi, penilaian, dan pengawasan konten. Mereka berupaya untuk memastikan bahwa film kartun yang disiarkan atau diputar di Indonesia memberikan kontribusi positif bagi perkembangan budaya, moral, dan pendidikan penonton, terutama penonton anak-anak.

Dengan menjaga prinsip-prinsip moral, LSF berperan dalam melindungi penonton dari paparan konten yang tidak sesuai dan memastikan bahwa film kartun yang disiarkan di Indonesia dapat memberikan hiburan yang aman, mendidik, dan sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam masyarakat.

Prinsip-prinsip Moral dalam Sensor Film Kartun

Prinsip moral dalam sensor film kartun mencakup representasi gender yang seimbang dan tidak stereotip. Hal ini berarti film kartun seharusnya tidak memperkuat stereotip gender yang negatif, seperti menggambarkan perempuan sebagai objek atau lemah, dan laki-laki sebagai dominan atau agresif. Sebaliknya, film kartun harus berupaya untuk menghadirkan karakter perempuan dan laki-laki dengan cara yang positif, kuat, dan beragam, serta menghormati kesetaraan gender.

Prinsip moral juga menyangkut penggunaan kekerasan dan konten yang tidak sesuai dalam film kartun. Film kartun harus mempertimbangkan penggunaan kekerasan dengan proporsionalitas dan tidak merugikan. Kekerasan yang berlebihan, brutal, atau sadis dapat memberikan dampak negatif pada penonton, terutama anak-anak. Selain itu, film kartun juga harus menghindari penggunaan konten yang tidak sesuai dengan usia penonton, seperti adegan seksual yang eksplisit atau bahasa kasar yang tidak pantas.

Prinsip moral dalam sensor film kartun mencakup penyampaian nilai-nilai moral dan etika kepada penonton. Film kartun dapat berfungsi sebagai sarana pendidikan moral yang positif. Melalui cerita dan karakter, film kartun dapat menyampaikan pesan-pesan tentang pentingnya kejujuran, persahabatan, kebaikan, ketulusan, dan sikap positif lainnya. Penonton, terutama anak-anak, dapat belajar dan terinspirasi oleh nilai-nilai yang disampaikan dalam film kartun. Dalam menjaga prinsip-prinsip moral ini, Lembaga Sensor Film (LSF) memiliki peran penting dalam menilai dan memastikan bahwa film kartun yang disiarkan atau diputar di Indonesia memenuhi standar moral dan etika yang diharapkan. LSF bertugas untuk memastikan bahwa representasi gender tidak stereotip, penggunaan kekerasan proporsional, dan penyampaian nilai-nilai moral yang positif dalam film kartun.

Tinjauan Terhadap Implementasi Sensor Film Kartun di Indonesia

Implementasi sensor film kartun di Indonesia perlu memperhatikan keberlanjutan nilai-nilai moral yang disampaikan dalam film kartun. Film kartun harus mampu menjaga konsistensi dalam penyampaian nilai-nilai moral yang positif dan etika yang dijunjung tinggi. Hal ini penting agar penonton, terutama anak-anak, dapat terus mendapatkan pesan-pesan moral yang konsisten dan bermanfaat dari film kartun yang mereka tonton.

Implementasi sensor film kartun juga menghadapi tantangan dalam penilaian konten dan kriteria sensor. Film kartun seringkali memiliki elemen visual dan naratif yang kompleks, sehingga menentukan batasan antara konten yang sesuai dan tidak sesuai dapat menjadi tantangan. Selain itu, pengembangan kriteria sensor yang mengikuti perubahan budaya dan nilai-nilai masyarakat juga merupakan tantangan yang perlu diatasi agar sensor film kartun tetap relevan dan efektif. Perbedaan nilai-nilai moral, budaya, dan interpretasi dapat mempengaruhi penilaian terhadap konten yang sama. Tantangan ini mencakup upaya untuk mencapai kesepakatan dan konsistensi dalam penilaian konten agar tidak terjadi penilaian yang berbeda-beda dari waktu ke waktu atau antara pihak sensor yang berbeda.

Penggunaan sensor film kartun dapat memiliki implikasi terhadap kreativitas dan daya tarik film kartun itu sendiri. Sensor dapat memberikan batasan terhadap kreativitas pembuat film kartun. Ketika pembuat film kartun harus mematuhi aturan dan batasan tertentu yang ditetapkan oleh lembaga sensor, mereka mungkin harus mengorbankan beberapa ide atau konsep kreatif yang dianggap kontroversial atau tidak sesuai. Hal ini dapat membatasi eksplorasi kreatif dan inovasi dalam pembuatan film kartun. Sensor cenderung membatasi atau menghapus konten yang dianggap tidak pantas atau terlalu eksplisit. Meskipun ini bisa menjadi langkah yang penting untuk melindungi penonton, terutama anak-anak, pembatasan ini dapat menghilangkan beberapa elemen yang lebih kontroversial atau menantang dalam film kartun. Hal ini bisa mempengaruhi kedalaman dan kompleksitas cerita serta pengembangan karakter.

Meskipun dapat membatasi kreativitas, sensor juga dapat memastikan film kartun sesuai dengan nilai-nilai moral dan etika yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Dengan memastikan film kartun tidak melanggar nilai-nilai sosial atau memperkuat konten yang tidak pantas, sensor membantu menjaga integritas dan daya tarik film kartun sebagai hiburan yang dapat diterima oleh publik. Salah satu implikasi positif penggunaan sensor adalah perlindungan penonton, terutama anak-anak, dari konten yang tidak pantas atau berbahaya. Sensor membantu mengeliminasi atau membatasi adegan kekerasan yang berlebihan, bahasa kasar, atau konten yang tidak sesuai dengan usia. Dengan demikian, film kartun tetap dapat memberikan pengalaman yang aman dan menyenangkan bagi penonton yang lebih rentan.

Pembatasan atau perubahan yang diberlakukan dalam proses sensor dapat membatasi ekspresi kreatif para pembuat film kartun. Mereka harus mengakomodasi batasan sensor yang mungkin mempengaruhi keunikan dan keaslian karya mereka. Selain itu, pengaturan batasan tertentu juga dapat memengaruhi daya tarik film kartun bagi penonton, terutama jika batasan tersebut dianggap mengurangi kualitas atau kebebasan kreatif dalam pembuatan film kartun. Pada akhirnya, implementasi sensor film kartun di Indonesia perlu mengambil keseimbangan antara menjaga nilai-nilai moral yang bermanfaat, menangani tantangan dalam penilaian konten dan kriteria sensor, serta mempertahankan kreativitas dan daya tarik film kartun. Dalam hal ini, Lembaga Sensor Film (LSF) dan pihak terkait perlu terus melakukan evaluasi, pembaruan, dan dialog dengan para pembuat film kartun untuk memastikan bahwa implementasi sensor dapat menjaga kualitas, etika, dan kebermanfaatan film kartun yang ditayangkan di Indonesia.

Perbandingan Praktik Sensor Film Kartun di Negara Lain

Praktik sensor film kartun di negara-negara lain:

1. Amerika Serikat: Di Amerika Serikat, tidak ada badan sensor resmi untuk film kartun. Namun, ada praktik diri sensor oleh perusahaan produksi dan distribusi film. Mereka mengikuti MPAA (Motion Picture Association of America) untuk memberikan rating pada film kartun, seperti G (General Audiences), PG (Parental Guidance), PG-13 (Parents Strongly Cautioned), dan lain-lain.

2. Jepang: Di Jepang, terdapat badan sensor bernama Eirin (The Film Classification and Rating Organization of Japan) yang bertanggung jawab untuk memberikan rating dan sensor pada film kartun. Mereka menggunakan sistem rating berbeda, seperti G (General Audiences), PG-12 (Parental Guidance for Children Under 12), R-15 (Restricted to 15 and Over), dan R-18 (Restricted to 18 and Over).

3. Prancis: Di Prancis, film kartun juga tunduk pada sensor oleh Centre National du Cinéma et de l'Image Animée (CNC). Mereka mengkategorikan film kartun berdasarkan usia penonton, seperti tous publics (semua usia), -10 (dilarang bagi anak di bawah 10 tahun), -12 (dilarang bagi anak di bawah 12 tahun), dan -16 (dilarang bagi anak di bawah 16 tahun).

Perbandingan pendekatan sensor dan regulasi industri:

1. Kriteria sensor: Negara-negara memiliki kriteria sensor yang berbeda-beda dalam menilai konten film kartun. Beberapa faktor yang sering diperhatikan meliputi kekerasan, bahasa kasar, konten seksual, dan penggunaan narkoba. Kriteria ini dapat bervariasi tergantung pada nilai-nilai sosial dan budaya yang berlaku di masing-masing negara.

2. Badan sensor: Beberapa negara memiliki badan sensor resmi yang bertanggung jawab mengeluarkan rating dan melakukan sensor terhadap film kartun. Badan sensor ini dapat memiliki peran yang berbeda-beda dalam proses sensor, mulai dari memberikan rekomendasi rating hingga memberlakukan batasan-batasan tertentu terhadap konten film kartun.

3. Pendekatan hukum: Negara-negara juga memiliki pendekatan hukum yang berbeda dalam mengatur regulasi industri film kartun. Beberapa negara mungkin memiliki undang-undang yang secara tegas mengatur tentang sensor dan regulasi industri film kartun, sementara negara lain mungkin mengandalkan praktik sensor mandiri oleh perusahaan produksi dan distribusi film.

4. Pengaruh industri dan komersial: Faktor industri dan komersial juga dapat mempengaruhi pendekatan sensor dan regulasi industri film kartun. Beberapa negara mungkin lebih cenderung mempertimbangkan faktor komersial dalam proses sensor, sedangkan negara lain mungkin lebih fokus pada perlindungan dan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi.

Dampak dan Implikasi Sensor dalam Industri Film Kartun di Indonesia

Implementasi sensor dalam industri film kartun di Indonesia dapat memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai moral dan budaya lokal yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Sensor membantu mencegah penayangan konten yang melanggar norma-norma sosial, mengandung kekerasan yang berlebihan, atau menyampaikan pesan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianggap penting dalam budaya Indonesia. Dengan demikian, sensor dapat membantu memastikan bahwa film kartun yang diproduksi di Indonesia tetap menghormati dan memperkuat nilai-nilai moral dan budaya lokal.

Implementasi sensor juga dapat berdampak pada penerimaan dan daya saing film kartun Indonesia. Film kartun yang memperoleh sensor dengan rating yang lebih rendah, seperti "SU - Semua Umur" atau "13+", mungkin lebih mudah diterima oleh penonton yang lebih luas, termasuk anak-anak dan keluarga. Hal ini dapat meningkatkan popularitas dan daya saing film kartun Indonesia di pasar domestik maupun internasional. Sebaliknya, jika film kartun dianggap melanggar kriteria sensor yang ketat, dapat menyebabkan penurunan minat penonton dan dampak negatif terhadap daya saingnya di industri film.

Salah satu implikasi sensor dalam industri film kartun di Indonesia adalah adanya pembatasan atau pemangkasan kreativitas dalam pembuatan film kartun. Pembuat film kartun harus mematuhi aturan dan batasan yang ditetapkan oleh lembaga sensor untuk memastikan bahwa konten film kartun sesuai dengan standar moral dan etika yang berlaku. Pembatasan ini dapat mempengaruhi eksplorasi kreatif, inovasi, dan kebebasan berekspresi dalam pembuatan film kartun. Namun, seiring dengan perkembangan industri dan pemahaman yang lebih baik tentang kebutuhan pasar, upaya terus dilakukan untuk menemukan keseimbangan antara pemenuhan persyaratan sensor dan tetap memberikan ruang bagi kreativitas.

Dalam menjalankan fungsi sensor, penting bagi lembaga sensor dan pembuat film kartun untuk terus berkomunikasi, berkolaborasi, dan memahami perubahan dalam budaya, nilai-nilai masyarakat, serta kebutuhan pasar. Tujuannya adalah menciptakan film kartun yang berkualitas, memperhatikan nilai-nilai moral dan budaya, serta mampu bersaing dalam industri film yang semakin global.

Evaluasi dan Rekomendasi untuk Perbaikan Regulasi Sensor Film Kartun

Untuk mengevaluasi efektivitas dan efisiensi penggunaan sensor dalam film kartun, beberapa langkah evaluasi dapat dilakukan. Pertama, perlu dilakukan penilaian terhadap konsistensi dan kualitas keputusan sensor yang diambil oleh lembaga sensor film (LSF) dengan mempertimbangkan apakah keputusan tersebut konsisten dengan prinsip-prinsip moral dan regulasi yang ada. Selain itu, dapat dilakukan survei terhadap penonton untuk mendapatkan umpan balik tentang apakah keputusan sensor dianggap memadai dan sesuai dengan harapan mereka.

Berdasarkan evaluasi yang dilakukan, beberapa upaya perbaikan dan peningkatan regulasi sensor film kartun dapat direkomendasikan. Pertama, penting bagi LSF untuk memperbarui dan mengklarifikasi pedoman dan kriteria sensor yang digunakan, dengan memperhatikan perubahan dalam nilai-nilai sosial dan budaya serta perkembangan industri film kartun. Selanjutnya, LSF dapat memperkuat pelatihan dan peningkatan kapasitas bagi personel sensor untuk memastikan keputusan yang konsisten dan berkualitas.

Kolaborasi antara LSF, industri film kartun, dan masyarakat juga penting untuk meningkatkan regulasi sensor film kartun. LSF dapat mengadakan dialog terbuka dengan industri film kartun untuk memahami tantangan yang dihadapi dan mencari solusi bersama. Industri film kartun juga dapat berperan aktif dalam menyampaikan masukan kepada LSF mengenai prinsip-prinsip moral dan regulasi yang perlu diperhatikan. Selain itu, melibatkan masyarakat dalam proses regulasi sensor film kartun dapat dilakukan melalui survei, konsultasi publik, atau melibatkan ahli dan kelompok kepentingan untuk memberikan pandangan yang lebih luas.

Dalam rangka meningkatkan regulasi sensor film kartun, perlu diingat bahwa tujuan utama adalah menjaga kualitas konten, melindungi penonton terutama anak-anak, dan mempromosikan nilai-nilai yang positif. Kolaborasi dan komunikasi yang baik antara LSF, industri film kartun, dan masyarakat dapat memastikan regulasi sensor yang lebih efektif, akurat, dan responsif terhadap perubahan dalam tuntutan dan harapan penonton.

STUDI KASUS

KPI Beri Sanksi SpongeBob SquarePants, Ini Penyebabnya

Spongebob bukan pertama kalinya mendapat teguran KPI. Terakhir, sanksi dilayangkan karena ada adegan memukul wajah dengan papan, menjatuhkan bola bowling dari atas dan mengenai kepala, melayangkan palu ke wajah dan memukul pot kaktus menggunakan raket ke wajah. Keputusan KPI tersebut mengacu pada Standar Program Siaran (SPS) Pasal 15 Ayat 1 tentang perlindungan anak-anak dan remaja.

https://entertainment.kompas.com/read/2019/09/15/073100910/kpi-beri-sanksi-spongebob-squarepants-ini-penyebabnya

Implikasi penggunaan sensor terhadap film SpongeBob di Indonesia adalah penyesuaian konten agar sesuai dengan standar nilai-nilai moral dan budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia. Meskipun demikian, perubahan tersebut tidak mengurangi daya tarik utama serial ini atau esensi komedi dan pesan positif yang terkandung dalam ceritanya.

Tantangan dalam penggunaan sensor pada film SpongeBob di Indonesia meliputi menemukan keseimbangan antara mempertahankan keaslian karakter dan humor SpongeBob, sambil memastikan bahwa konten yang disajikan tetap sesuai dengan prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai yang diharapkan oleh masyarakat Indonesia. LSF harus melakukan penilaian yang cermat dan mempertimbangkan konteks lokal dalam menentukan adegan mana yang perlu disensor atau disesuaikan.

Dalam menghadapi tantangan ini, rekomendasi untuk perbaikan penggunaan sensor dalam film SpongeBob di Indonesia adalah meningkatkan dialog dan kolaborasi antara LSF, industri animasi, dan penggemar SpongeBob di Indonesia. Melibatkan pemangku kepentingan dalam proses pengambilan keputusan sensor dapat membantu memahami perspektif yang berbeda dan mencapai kesepakatan yang lebih baik mengenai konten yang dianggap sesuai dengan nilai-nilai moral dan budaya lokal.

Dengan demikian, diharapkan implementasi sensor dalam film SpongeBob dan kartun lainnya di Indonesia dapat menjaga kualitas konten, melindungi penonton, dan tetap mempertahankan esensi humor dan pesan positif yang terkandung dalam film kartun tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun