Mohon tunggu...
Sri Devi
Sri Devi Mohon Tunggu... Jurnalis - Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Islamic communication and broadcasting

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penggunaan Sensor dalam Film Kartun di Indonesia

3 Juli 2023   09:23 Diperbarui: 3 Juli 2023   09:24 976
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tinjauan Terhadap Implementasi Sensor Film Kartun di Indonesia

Implementasi sensor film kartun di Indonesia perlu memperhatikan keberlanjutan nilai-nilai moral yang disampaikan dalam film kartun. Film kartun harus mampu menjaga konsistensi dalam penyampaian nilai-nilai moral yang positif dan etika yang dijunjung tinggi. Hal ini penting agar penonton, terutama anak-anak, dapat terus mendapatkan pesan-pesan moral yang konsisten dan bermanfaat dari film kartun yang mereka tonton.

Implementasi sensor film kartun juga menghadapi tantangan dalam penilaian konten dan kriteria sensor. Film kartun seringkali memiliki elemen visual dan naratif yang kompleks, sehingga menentukan batasan antara konten yang sesuai dan tidak sesuai dapat menjadi tantangan. Selain itu, pengembangan kriteria sensor yang mengikuti perubahan budaya dan nilai-nilai masyarakat juga merupakan tantangan yang perlu diatasi agar sensor film kartun tetap relevan dan efektif. Perbedaan nilai-nilai moral, budaya, dan interpretasi dapat mempengaruhi penilaian terhadap konten yang sama. Tantangan ini mencakup upaya untuk mencapai kesepakatan dan konsistensi dalam penilaian konten agar tidak terjadi penilaian yang berbeda-beda dari waktu ke waktu atau antara pihak sensor yang berbeda.

Penggunaan sensor film kartun dapat memiliki implikasi terhadap kreativitas dan daya tarik film kartun itu sendiri. Sensor dapat memberikan batasan terhadap kreativitas pembuat film kartun. Ketika pembuat film kartun harus mematuhi aturan dan batasan tertentu yang ditetapkan oleh lembaga sensor, mereka mungkin harus mengorbankan beberapa ide atau konsep kreatif yang dianggap kontroversial atau tidak sesuai. Hal ini dapat membatasi eksplorasi kreatif dan inovasi dalam pembuatan film kartun. Sensor cenderung membatasi atau menghapus konten yang dianggap tidak pantas atau terlalu eksplisit. Meskipun ini bisa menjadi langkah yang penting untuk melindungi penonton, terutama anak-anak, pembatasan ini dapat menghilangkan beberapa elemen yang lebih kontroversial atau menantang dalam film kartun. Hal ini bisa mempengaruhi kedalaman dan kompleksitas cerita serta pengembangan karakter.

Meskipun dapat membatasi kreativitas, sensor juga dapat memastikan film kartun sesuai dengan nilai-nilai moral dan etika yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Dengan memastikan film kartun tidak melanggar nilai-nilai sosial atau memperkuat konten yang tidak pantas, sensor membantu menjaga integritas dan daya tarik film kartun sebagai hiburan yang dapat diterima oleh publik. Salah satu implikasi positif penggunaan sensor adalah perlindungan penonton, terutama anak-anak, dari konten yang tidak pantas atau berbahaya. Sensor membantu mengeliminasi atau membatasi adegan kekerasan yang berlebihan, bahasa kasar, atau konten yang tidak sesuai dengan usia. Dengan demikian, film kartun tetap dapat memberikan pengalaman yang aman dan menyenangkan bagi penonton yang lebih rentan.

Pembatasan atau perubahan yang diberlakukan dalam proses sensor dapat membatasi ekspresi kreatif para pembuat film kartun. Mereka harus mengakomodasi batasan sensor yang mungkin mempengaruhi keunikan dan keaslian karya mereka. Selain itu, pengaturan batasan tertentu juga dapat memengaruhi daya tarik film kartun bagi penonton, terutama jika batasan tersebut dianggap mengurangi kualitas atau kebebasan kreatif dalam pembuatan film kartun. Pada akhirnya, implementasi sensor film kartun di Indonesia perlu mengambil keseimbangan antara menjaga nilai-nilai moral yang bermanfaat, menangani tantangan dalam penilaian konten dan kriteria sensor, serta mempertahankan kreativitas dan daya tarik film kartun. Dalam hal ini, Lembaga Sensor Film (LSF) dan pihak terkait perlu terus melakukan evaluasi, pembaruan, dan dialog dengan para pembuat film kartun untuk memastikan bahwa implementasi sensor dapat menjaga kualitas, etika, dan kebermanfaatan film kartun yang ditayangkan di Indonesia.

Perbandingan Praktik Sensor Film Kartun di Negara Lain

Praktik sensor film kartun di negara-negara lain:

1. Amerika Serikat: Di Amerika Serikat, tidak ada badan sensor resmi untuk film kartun. Namun, ada praktik diri sensor oleh perusahaan produksi dan distribusi film. Mereka mengikuti MPAA (Motion Picture Association of America) untuk memberikan rating pada film kartun, seperti G (General Audiences), PG (Parental Guidance), PG-13 (Parents Strongly Cautioned), dan lain-lain.

2. Jepang: Di Jepang, terdapat badan sensor bernama Eirin (The Film Classification and Rating Organization of Japan) yang bertanggung jawab untuk memberikan rating dan sensor pada film kartun. Mereka menggunakan sistem rating berbeda, seperti G (General Audiences), PG-12 (Parental Guidance for Children Under 12), R-15 (Restricted to 15 and Over), dan R-18 (Restricted to 18 and Over).

3. Prancis: Di Prancis, film kartun juga tunduk pada sensor oleh Centre National du Cinéma et de l'Image Animée (CNC). Mereka mengkategorikan film kartun berdasarkan usia penonton, seperti tous publics (semua usia), -10 (dilarang bagi anak di bawah 10 tahun), -12 (dilarang bagi anak di bawah 12 tahun), dan -16 (dilarang bagi anak di bawah 16 tahun).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun