Mohon tunggu...
SRI AULIA DHARMAYANTI
SRI AULIA DHARMAYANTI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Saya menyukai hobi memasak dan bermain sepak bola. Saya sangat mencintai kucing-kucing dan sering menikmati waktu sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Konflik Laut China Selatan: Ancaman Tenggelamnya Kedaulatan Indonesia

13 Mei 2024   21:46 Diperbarui: 13 Mei 2024   21:47 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel (Sumber: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Laut_Tiongkok_Selatan)

Ketika berbicara mengenai konflik di Laut China Selatan, khususnya yang berkaitan dengan Indonesia sebagai lawan konkret atas perebutan wilayah, tidak mungkin mengabaikan peran angkuh dari kepemimpinan RRT (Republik Rakyat Tiongkok). Dalam konteks yang dikukuhkan oleh RRT (RRC (Republik Rakyat China) di masa itu) pada peta pembuatan sepihak 1947, elemen-elemen kekuasaan atas nama Indonesia pada sebagian wilayah perairan Laut China Selatan dicoret secara serampangan dan tanpa kenal perbandingan meski pada masa itu hal-hal penetapan titik wilayah maritim untuk masing-masing negara masih bercorak putih. Berperan sebagai sutradara jalur kemudi Laut China Selatan, membuat RRT berkuasa tinggi atas negara-negara tetangga yang diibaratkan aktor-aktornya. Mau tak mau, Indonesia telah menjadi salah satu bagian dari rangkaian cerita penuh perselisihan yang secara sadar dikarang oleh tangan dingin penguasa kemaritiman Republik Rakyat Tiongkok. Bagaikan terikat kontrak kerja dengan sebuah rumah produksi, Indonesia sebagai aktor, tak kunjung mampu lepas dari jeratan kekuasaan penuh pengekangan yang bahkan ilegal dari pihak RRT tersebut.

Apakah ini pertanda Indonesia masih lemah dan kalah bersaing dalam melawan penindasan hak-hak kebebasan?

Menjawab pertanyaan itu, beberapa latar pertimbangan damai sudah sering ditawarkan. Dalam analisis berbagai sumber, ini bertujuan untuk menengahi puncak panas konflik yang bisa saja terjadi. Melengkapi argumen tersebut, para ahli turut serta merespon konflik kemaritiman sentimental ini sebagai salah satu hal yang perlu diselesaikan dengan hati-hati. Sebab tidak hanya soal perebutan bergengsi tinggi wilayah perairan saja, pokok kedaulatan tiap negara secara keseluruhan lebih penting menjadi pusat perhatian. Begitu pun yang diperjelas baru-baru ini oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Hadi Tjahjanto. Di mana Hadi mengatakan perlunya kehati-hatian dalam menangani konflik dan menyikapi dinamika situasi yang berkembang. Karena pada dasarnya masalah sengketa Laut China Selatan melibatkan banyak pihak dan merugikan banyak pihak pula jika salah mengambil langkah. Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam webinar yang diselenggarakan Indonesia Strategic and Defence Studies, Selasa (19/3/2024) di Jakarta.

Dari riwayat perjalanan bagaimana konflik ini bermula hingga masih menegang pada masa sekarang, membuktikan bukan tugas yang mudah mencari kunci untuk pintu permusuhan ini ditutup. Oleh sebab itu, untuk mengetahui dan mencari tahu bagaimana peran Indonesia secara utuh dalam mempertahankan kedaulatan yang terancam porak-poranda akibat konflik, konfirmasi dari sejarah dan segala hal yang sudah terjadi akan membawa catatan unsur-unsur terperinci yang penting pada hakikat 'pengklaiman tak berdasar' yang menjadi pokok pangkal kestabilan hubungan antar negara meregang. Dan ancaman permusuhan global yang tidak mustahil menjadi biang tenggelamnya kedaulatan Indonesia di mulai pada area kemaritiman, menu pahit tersebut, justru harus lebih tajam diselidik menjadi aspek terkemuka untuk diselesaikan. Berangkat dari segala problematika, akar hingga jadi buah sebuah masalah sebaiknya dilakukan penelitian ulang. Ini berkaitan dengan keseimbangan informasi yang dapat menghasilkan pencerahan guna memupuk biji penyelesaian yang tumbuh dengan baik.

Singkatnya, ulasan dimulai.

Laut China Selatan: Penamaan dan Batasan

South China Sea adalah istilah dominan yang dipakai bangsa Eropa untuk menyebut Laut China Selatan. Di benua tersebut, nama ini muncul pertama kali ketika bangsa Eropa menggunakan area perairan LCS sebagai rute perjalanan dari Eropa dan Asia Selatan ke pos-pos dagang di Tiongkok. Ketika memasuki abad ke- 16, seorang pelayar asal Portugal, memperkenalkan sebutan Mare da China atau Laut Tiongkok. Penamaan terhadap LCS tak berhenti di sana. Sebuah Organisasi Hidrografi Internasional menyebut laut ini dengan istilah yang cukup asing, yaitu Nan Hai, yang diperoleh dari garis panjang leluhur jauh ke belakang sekitar 771-476 BCE oleh para penguasa Zhou.

Secara geografis, Laut China Selatan berbatasan dengan Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Singapura, Taiwan, dan China. International Hidrographic Bureau menjabarkan Laut China Selatan memanjang dari arah Barat Daya ke Timur Laut, berbatasan dengan China dan Taiwan di sebelah Utara, Filipina di sebelah Barat, Malaysia dan Brunei Darussalam di sebelah Barat dan Selatan, serta Vietnam di Timur.

Merujuk LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), garis perbatasan Laut China Selatan menyerupai huruf "U", dimulai dari perairan Mainan, dan berakhir di sebelah Timur perairan Taiwan. Batas-batas itu ditandai dengan demarkasi sembilan garis putus-putus (the nine dash line) yang kerap kali disebut lidah sapi (cow's tongue).

Kelebihan Laut China Selatan: Tolak Ukur Bahan Perebutan

Laut China Selatan adalah laut bagian tepi dari Samudra Pasifik, yang membentang dari Selat Karimata dan Selat Malaka, hingga Selat Taiwan dengan luas kurang lebih 3.500.000 km2. Karena letaknya yang strategis akan tempat lalu-lalang perlintasan laut, di mana sebagian besar logistik dunia dikelola, salah satu aspek inilah yang menjadi acuan perebutan wilayah dari para negara sekeliling LCS. Bayangkan saja, Laut China Selatan nyatanya adalah jalur tercepat dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia yang menghubungkan Asia Timur dengan India, Asia Barat, Eropa, dan Afrika.

Dikutip dari CFR Global Conflict Tracker, total nilai perdagangan yang melintasi kawasan LCS pada 2016 saja mencapai US$3,37 triliun. Selain itu, Laut China Selatan memiliki cadangan minyak bumi sebesar 1,2 km3 (7,7 miliar barel) dengan perkiraan total 4,5 km3 (28 miliar barel). Sedangkan cadangan gas alamnya sekitar 7.500 km3 (266 triliun kaki kubik). Ditambah laporan dari U.S. Energy Information Administration tahun 2013 menaikkan perkiraan total cadangan minyak menjadi 11 miliar barel.

Menambah nilai unggul bahan perebutan wilayah, Laut China Selatan juga memiliki 250 pulau, atol, kay, gosong pasir, dan terumbu. Meski sebagian besar pulau tidak berpenghuni bahkan ada pula yang tenggelam, keragaman biota laut yang memenuhi pedalaman perairan di wilayah LCS menjadi daya tarik tertinggi di antara pulau-pulau yang berkeliling pada daerah kemaritiman ini. Berdasarkan kajian Departemen Lingkungan dan Sumber Daya Alam Filipina, badan air ini memiliki sepertiga keragaman hayati laut dunia. Karena itu, LCS sebagai daerah paling berpotensi untuk ekosistem laut terus menghidup dan tumbuh sehat. Meski kenyataan pahit akan penangkapan liar di kawasan ini tetap menjadi isu paling ironis di tengah pengembangan budidaya kemaritiman yang terverifikasi indah di mata dunia tersebut.

Kilas Balik Konflik di Laut China Selatan

Tahun 1947, semua bermula ketika China memproduksi peta LCS (Laut China Selatan) dengan sembilan garis putus-putus dan menyatakan wilayah yang masuk dalam lingkaran garis tersebut (termasuk Kepulauan Spratly dan Paracel) sebagai wilayah teritorinya. Peta ini kemudian ditegaskan kembali pada saat Partai Komunis berkuasa di tahun 1953. Klaim selanjutnya berdasarkan sejarah China kuno, mulai dari masa kekuasaan Dinasti Han di abad ke- 2 SM sampai dengan Dinasti Ming dan Dinasti Qing abad ke- 13 SM. Aspek historis dan penemuan-penemuan itu dijadikan alasan China untuk mempertahankan klaimnya atas kepemilikan Laut China Selatan.

Yang menjadikan konflik kian terasa transparan, sebab China tidak ragu meletakkan kapal-kapal perangnya di wilayah perairan tersebut. Ini juga ditopang kuat oleh fasilitas militer beserta pulau buatan yang seakan siap tempur jika saja ada pihak-pihak yang coba menentang kepemimpinan wilayah mereka.

Pulau Buatan yang Menjadi Pertahanan Militer China di Laut China Selatan (Sumber: Fitri Wulandari dan Hendra Gunawan/Tribunnews)
Pulau Buatan yang Menjadi Pertahanan Militer China di Laut China Selatan (Sumber: Fitri Wulandari dan Hendra Gunawan/Tribunnews)

Tidak mudah ditakut-takuti, sederet negara tetangga termasuk Indonesia enggan menerima begitu saja akan keputusan China yang meraup delapan puluh hingga sembilan puluh persen wilayah di Laut China Selatan. Berbondong pula tumpang tindih klaim atas wilayah terprakasai.

Sebut saja Malaysia, yang mengklaim sebagian kepulauan Spratly yang tak jarang memicu insiden konfrontasi dengan China. Brunei Darussalam sendiri mengklaim sebagian kecil Kepulauan Spratly. Meski minim dan terbatas, keberadaan mereka di wilayah perairan LCS tentu tetap menjadi dinamika kompleks. Begitu pun klaim dari Vietnam atas Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel yang bahkan sudah membariskan posisi pasukan militer di beberapa bagian pulau tersebut. Tak jauh-jauh dari para negara tetangganya yang mengklaim wilayah Kepulauan Spratly, Filipina juga demikian. Lebih berani dan agresif, Filipina bahkan telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag. Filipina berusaha keras memperjuangkan hak-haknya atas wilayah ini melalui jalur hukum internasional tersebut. Yang menjadi sorotan pada gugatannya adalah kompleksitas geopolitik dan ketegangan di Laut China Selatan. Taiwan yang notabennya juga kawan dari China tidak dengan mudah menyerah atas klaim wilayahnya. Ambisi terhadap Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel, Taiwan bahkan telah menempatkan jajaran pasukan militernya di beberapa area pulau tersebut.

Peta Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel (Sumber: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Laut_Tiongkok_Selatan)
Peta Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel (Sumber: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Laut_Tiongkok_Selatan)

Sementara semua sibuk atas konflik klaim Kepulauan Spratly maupun Kepulauan Paracel, negara Indonesia sendiri memiliki konflik yang berbeda dengan China sejak lama. Masalahnya bersangkutan dengan Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Semua bermula, ketika peta yang dibuat China pada tahun 1947 yang meliputi Pulau Harian sampai ke Teluk Kalimantan tidak sesuai Landasan Kontinen dan ZEE Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Intinya, konflik NKRI-RRT berpusat pada klaim atas kekuasaan Natuna yang termasuk kawasan ZEE Indonesia. Bagi pihak China, Laut Natuna begitu penting karena berperan sebagai jalur pelayaran penghubung komunikasi Utara-Selatan maupun Timur-Barat.

Sengketa ini memanas pada tahun 2010, semenjak Tiongkok mengklaim kepemilikannya secara terang-terangan atas ZEE Indonesia di wilayah Utara Kepulauan Natuna. Tentu saja klaim tersebut tidak disepakati oleh NKRI. Namun China tidak mundur dari klaim sepihaknya yang malah berlanjut dan memuncak pada tahun 2016 ketika kapal penangkap ikan Tiongkok melakukan aktivitas sembarang penangkapan laut ilegal di wilayah perairan Natuna. Seakan tidak pernah peduli pada ketetapan hukum internasional, episode kekacauan tak habis-habis dibuat oleh RRT. Di awal tahun 2020, kapal pencari ikan dan kapal penjaga pantai China masuk ke Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia lagi-lagi. Hal ini tentu sudah menjadi bentuk pelanggaran berat berdasar kesadaran dari pihak RRT. Kepatuhan China terhadap hukum internasional terutama UNCLOS 1982 terkait landasan pembagian wilayah LCS nyatanya sangat nihil. Ini menjadi penyebab utama RRT buta dan tuli dalam mengetahui kebenaran yang ada yang telah ditetapkan. Alhasil RRT memilih bisu untuk mengakui kesalahan yang sudah terlanjur dilakukan oleh pihak mereka sejak lama.

Sedang secara transparan dalam bertindak, sebagai negara bercitra non blok alias cinta damai, Indonesia terbiasa mengedepankan diskusi dalam penanganan tiap kasus baik dalam maupun luar negeri yang tengah dihadapi. Namun terkadang untuk beberapa lawan bicara Indonesia dalam forum dunia, semua itu seakan angin lalu. Jika saja RRT memahami atau paling tidak sedikitnya menghargai NKRI, tentu saja mereka tidak bolak-balik masuk ke wilayah teritorial yang sudah terpatok atas nama Indonesia tersebut. Sebagaimana yang Indonesia usahakan untuk para negara tetangganya yang terdekat hingga yang terjauh.

Kondisi Pelik Konflik Laut China Selatan: Pemicu dan Ancaman Tenggelamnya Kedaulatan NKRI

Oleh Presiden RI, Ir. H. Joko Widodo, melalui siaran wawancara eksklusif The New Straits Times, Senin (8/5/2023), menyampaikan kembali penegasan untuk penolakan terhadap apa pun bentuk pengakuan klaim sepihak terhadap Laut China Selatan yang tanpa memiliki dasar hukum. Tegas beliau berulang, bahkan itu seharusnya tak boleh dibiarkan terjadi. Tentu pernyataan beliau itu terkait perselisihan panjang RRT-NKRI mengenai kerusuhan yang secara sadar dimulai oleh pihak China dengan mengucapkan sebagian wilayah ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dan Laut Natuna yang menjurus ke wilayah kemaritiman Indonesia adalah area perairan mereka.

Dari pengakuan sepihak inilah, pelan-pelan RRT mencondongkan diri menggeser sedikit demi sedikit Indonesia dari area teritorialnya. Hal tersebut sungguh ancaman nyata tenggelamnya kedaulatan Indonesia terhadap wilayah kemaritimannya. Jelas tindakan dari pihak RRT telah cukup sering melanggar ketenangan dan kenyamanan Indonesia, padahal NKRI sendiri punya peran penting di wilayah tersebut sebagai pengeksplorasi dan pengembangan agar wilayah kemaritiman tetap hidup damai memberikan dampak positif terhadap lingkungan tanpa gangguan.

Presiden RI Joko Widodo wawancara eksklusif bersama TNST (Sumber: Lukas_Biro Pers/CNN Indonesia)
Presiden RI Joko Widodo wawancara eksklusif bersama TNST (Sumber: Lukas_Biro Pers/CNN Indonesia)

Atas perilaku tidak hormat yang kerap ditunjukkan oleh kubu RRT, persoalan ini tentu ditanggapi serius agar ancaman yang lebih besar semacam peperangan tidak terjadi. Karena pertikaian pada dasarnya tidak akan pernah memberikan dampak positif bagi kubu mana pun meski pihak yang berseteru menganggap hebat dan kuat segala aspek ketatanegaraannya. Seperti yang dinyatakan oleh Presiden RI, Ir. H. Joko Widodo, di lain kesempatan, bahwa jika perpecahan dan rivalitas terus terjadi, tidak terpungkiri pijakan stabilitas dan perdamaian yang lestari akan goyah atau bahkan sirna. Dunia yang damai, stabil, dan sejahtera semakin sulit diwujudkan.

Yang terburuk dari sekedar ancaman adalah peperangan. Bila saja titik cerah untuk pengumpulan berkas perdamaian tidak kunjung tercapai, sudah bisa dikira-kira bagaimana konflik akan pecah dan perang tidak mustahil untuk terjadi. Hal ini tentu saja menjadi masalah serius yang perlu diselesaikan sebelum apa yang diperhitungkan seperti di atas benar-benar terlaksana. Agresi militer yang sudah sejak jauh-jauh hari dipersiapkan oleh pihak RRT tentu tanpa ragu menghukum apa saja yang menghalangi negara mereka berkuasa. Bayangan buruk perang dengan senjata tempur paling membunuh tidak lagi asing dari para pengamat konflik berkepanjangan ini. Jika saja benar demikian, kedaulatan negara mana pun yang terlibat perang pastilah hancur berantakan.

Respon, Kebijakan, dan Upaya Indonesia

• Pemerintah Indonesia telah merilis peta Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diperbaharui pada 14 Juli 2017. Dimaksudkan untuk mengganti nama Natuna menjadi Laut Natuna Utara (LNU). Meski pernyataan tersebut sempat ditolak oleh China melalui nota 25 Agustus tahun yang sama, dari pandangan hukum internasional posisi Indonesia lebih kuat dibandingkan lawan. Apalagi setelah Mahkamah Arbitrase Internasional (MAI) memvonis sembilan garis putus-putus yang menjadi landasan China mengklaim LNU sebagai perbuatan ilegal.

• Mendapat kesempatan bersuara pada pertemuan ASEAN Regional Forum (ARF) dalam rangkaian ASEAN Ministerial Meeting (AMM) dan ASEAN Post Ministerial Conferences (APMC) pada Jum'at (6/8/2021), melalui Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu), Indonesia berharap negara peserta ARF memanfaatkan forum lebih terbuka untuk membiasakan proses dialog di kawasan, membangun kepercayaan dan menjembatani perbedaan perspektif, serta mengurangi ketegangan antar para anggotanya, termasuk pada perselisihan pandangan atas pengklaiman wilayah maritim di Laut China Selatan. Pada kesempatan yang sama, Mahendra Siregar (Wamenlu), mendorong ARF menerjemahkan dialog menjadi kerja sama konkret, utamanya di bidang ketahanan dan kesehatan untuk menunjang SDGs sebagai bagian dari ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP).

• Dalam rangka menjaga stabilitas keamanan laut dan kawasan perairan di Laut China Selatan terutama area Natuna, Mahfud MD sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) pada saat itu, menyatakan dengan tegas akan adanya pengendalian keamanan mutlak dilakukan di wilayah Laut Natuna Utara melalui peningkatan patroli pengaman laut terpadu dan penguatan kerjasama antar negara. Ini beliau sampaikan berkenaan rapat koordinasi Pengelolaan Perbatasan Negara di kantor Bupati Natuna, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau pada Selasa (23/11/2021).

• Sebagai Presiden Republik Indonesia, Ir. H. Joko Widodo, yang menghadiri KTT ASEAN-RRT (Republik Rakyat Tiongkok) ke- 25 pada Jum'at (11/11/2022) di Hotel Sokha, Phnom Penh, turut menyinggung isu rivalitas dan penyelesaian di Laut China Selatan. Namun sebelum itu, Presiden RI ini menyebut ada dua hal pokok penting yang perlu diperhatikan di wilayah LCS sekaligus RRT tersebut, yaitu ketahanan pangan dan stabilisasi finansial kawasan. Secara singkat dan terperinci, Presiden Jokowi, mengulas sisi kekurangan dari pihak RRT untuk menyadarkan mereka agar lebih rendah hati menerima masukan dan bekerja sama dengan baik ketimbang terus-menerus mempersoalkan hal kecil seperti pelebaran wilayah LCS. Mengingat jumlah penduduk China yang sudah menembus angka 2 miliar, maka kedua aspek tadi perlu menjadi prioritas utama untuk segera dicari solusinya. Oleh sebab itu, Presiden RI Joko Widodo menawarkan kerja sama yang tenang dan damai. Dari penjabaran inilah, beliau menyarankan RRT untuk tunduk dan hormat pada hukum internasional termasuk UNCLOS 1982. Dengan menawarkan kerja sama yang konkret, Presiden RI ke- 7 ini berharap perdamaian antar negara bisa terealisasikan segera.

• Merespon perluasan peta dari pihak China terhadap wilayah Laut China Selatan hingga merambat ke perairan Natuna lagi-lagi, Retno Marsudi selaku Menteri Luar Negeri (Menlu) tegas menyatakan bahwa posisi Indonesia konsisten mengacu pada United Nation Convention of Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Menurut Retno, hukum internasional khususnya UNCLOS 1982 harus dihormati dan diimplementasikan. Dengan begitu klaim-klaim harus berdasarkan prinsip-prinsip universal dari hukum internasional termasuk UNCLOS 1982. Begitulah yang disampaikan Retno saat ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (31/8/2023) di Jakarta.

• Melalui webinar yang diselenggarakan Indonesia Strategic and Defence Studies di Jakarta (19/3/2024), Hadi Tjahjanto selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) berbicara banyak hal terkait metode penanganan konflik berkepanjangan Indonesia di Laut China Selatan. Salah satunya mendorong terlaksananya program major project dalam upaya penguatan keamanan Laut Natuna melalui kecukupan alutsista (alat utama sistem persenjataan) dan peningkatan sarana dan prasarana satuan terintegrasi TNI. Selain itu, Hadi juga mengatakan Indonesia sebagai natural leader di ASEAN merupakan motor penggerak yang selalu menghasilkan terobosan untuk menjaga perdamaian kawasan. Dan Indonesia berupaya memperkuat solidaritas serta sentralitas ASEAN demi membangun posisi bersama untuk isu Laut China Selatan agar tercapainya solusi perdamaian masa depan.

• Mengingat sering terjadinya insiden di wilayah Laut China Selatan yang apabila tidak dikelola dengan baik akan memicu konflik terbuka, Indonesia sendiri sudah mempersiapkan Satuan TNI Terintegrasi (STT) di Natuna. Hal terkait dikemukakan oleh Hadi Tjahjanto pada ruang diskusi ISDS di Jakarta, Selasa (19/3/2024).

Dari beragam upaya yang telah dilaksanakan maupun yang akan dilanjutkan oleh Indonesia demi menjaga kedaulatan negara yang terancam runtuh, ditarik kesimpulan mengenai seberapa besar kesanggupan NKRI melawan setiap aspek yang berusaha menggeser kebebasan hak Indonesia pelan-pelan. Terbukti melalui paparan di atas, Indonesia sebagai sebuah negara berkembang tidak kalah bersaing dalam hal kemandirian mempertahankan keutuhan kemerdekaannya. Bahkan lewat peran penting Indonesia dalam forum ASEAN, salah satu contoh besar, menambah terang wajah Indonesia di kancah dunia internasional. Hal ini telah menunjukkan kekonsistenan NKRI dalam cakupan pengembangan jati diri bangsa yang berani, beradaptasi, aktif, penuh inovasi dan kreatifitas, serta maju seperti tagar #indonesiamaju yang paling sering digaungkan sejak kepemimpinan Presiden RI ketujuh Ir. H. Joko Widodo.

Sumber dan Referensi Terkait

✓https://id.m.wikipedia.org/wiki/Laut_Tiongkok_Selatan

✓https://www.cnnindonesia.com/internasional/20220511135122-118-795477/sejarah-konflik-laut-china-selatan-yang-jadi-rebutan

✓https://news.detik.com/berita/d-7226472/ketegangan-di-laut-china-selatan-dinilai-perlu-direspons-serius

✓https://internasional.kompas.com/read/2023/12/28/132100970/alasan-kenapa-laut-china-selatan-terus-diperebutkan-selama-2023?page=all

✓https://www.cnbcindonesia.com/news/20211123200213-4-293875/ri-tidak-menjadi-bagian-dari-konflik-di-laut-china-selatan

✓https://m.antaranews.com/amp/berita/3639576/babak-baru-upaya-penyelesaian-sengketa-laut-china selatan#amp_tf=Dari%20%251%24s&aoh=17154853146472&csi=1&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com

✓https://www.tvonenews.com/berita/nasional/208200-strategi-jitu-indonesia-menjaga-rumah-sendiri-di-tengah-ancaman-konflik-laut-china-selatan

✓https://www.tribunnews.com/internasional/2021/08/08/ri-ingatkan-asean-agar-menahan-diri-hadapi-provokasi-soal-laut-china-selatan

✓https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200627195144-106-518215/asean-hanya-akui-unclos-soal-aturan-main-laut-china-selatan

✓https://news.detik.com/berita/d-5233488/bahas-laut-china-selatan-dengan-menlu-as-retno-marsudi-harus-tetap-damai/2

✓https://news.detik.com/berita/d-6400784/jokowi-singgung-penyelesaian-isu-laut-china-selatan-di-ktt-asean-rrt

✓https://www.cnnindonesia.com/internasional/20230509115337-106-947120/jokowi-sindir-china-soal-lcs-klaim-tak-berdasar-tak-boleh-terjadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun