Mohon tunggu...
SRI AULIA DHARMAYANTI
SRI AULIA DHARMAYANTI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Saya menyukai hobi memasak dan bermain sepak bola. Saya sangat mencintai kucing-kucing dan sering menikmati waktu sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Konflik Laut China Selatan: Ancaman Tenggelamnya Kedaulatan Indonesia

13 Mei 2024   21:46 Diperbarui: 13 Mei 2024   21:47 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel (Sumber: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Laut_Tiongkok_Selatan)

Sengketa ini memanas pada tahun 2010, semenjak Tiongkok mengklaim kepemilikannya secara terang-terangan atas ZEE Indonesia di wilayah Utara Kepulauan Natuna. Tentu saja klaim tersebut tidak disepakati oleh NKRI. Namun China tidak mundur dari klaim sepihaknya yang malah berlanjut dan memuncak pada tahun 2016 ketika kapal penangkap ikan Tiongkok melakukan aktivitas sembarang penangkapan laut ilegal di wilayah perairan Natuna. Seakan tidak pernah peduli pada ketetapan hukum internasional, episode kekacauan tak habis-habis dibuat oleh RRT. Di awal tahun 2020, kapal pencari ikan dan kapal penjaga pantai China masuk ke Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia lagi-lagi. Hal ini tentu sudah menjadi bentuk pelanggaran berat berdasar kesadaran dari pihak RRT. Kepatuhan China terhadap hukum internasional terutama UNCLOS 1982 terkait landasan pembagian wilayah LCS nyatanya sangat nihil. Ini menjadi penyebab utama RRT buta dan tuli dalam mengetahui kebenaran yang ada yang telah ditetapkan. Alhasil RRT memilih bisu untuk mengakui kesalahan yang sudah terlanjur dilakukan oleh pihak mereka sejak lama.

Sedang secara transparan dalam bertindak, sebagai negara bercitra non blok alias cinta damai, Indonesia terbiasa mengedepankan diskusi dalam penanganan tiap kasus baik dalam maupun luar negeri yang tengah dihadapi. Namun terkadang untuk beberapa lawan bicara Indonesia dalam forum dunia, semua itu seakan angin lalu. Jika saja RRT memahami atau paling tidak sedikitnya menghargai NKRI, tentu saja mereka tidak bolak-balik masuk ke wilayah teritorial yang sudah terpatok atas nama Indonesia tersebut. Sebagaimana yang Indonesia usahakan untuk para negara tetangganya yang terdekat hingga yang terjauh.

Kondisi Pelik Konflik Laut China Selatan: Pemicu dan Ancaman Tenggelamnya Kedaulatan NKRI

Oleh Presiden RI, Ir. H. Joko Widodo, melalui siaran wawancara eksklusif The New Straits Times, Senin (8/5/2023), menyampaikan kembali penegasan untuk penolakan terhadap apa pun bentuk pengakuan klaim sepihak terhadap Laut China Selatan yang tanpa memiliki dasar hukum. Tegas beliau berulang, bahkan itu seharusnya tak boleh dibiarkan terjadi. Tentu pernyataan beliau itu terkait perselisihan panjang RRT-NKRI mengenai kerusuhan yang secara sadar dimulai oleh pihak China dengan mengucapkan sebagian wilayah ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) dan Laut Natuna yang menjurus ke wilayah kemaritiman Indonesia adalah area perairan mereka.

Dari pengakuan sepihak inilah, pelan-pelan RRT mencondongkan diri menggeser sedikit demi sedikit Indonesia dari area teritorialnya. Hal tersebut sungguh ancaman nyata tenggelamnya kedaulatan Indonesia terhadap wilayah kemaritimannya. Jelas tindakan dari pihak RRT telah cukup sering melanggar ketenangan dan kenyamanan Indonesia, padahal NKRI sendiri punya peran penting di wilayah tersebut sebagai pengeksplorasi dan pengembangan agar wilayah kemaritiman tetap hidup damai memberikan dampak positif terhadap lingkungan tanpa gangguan.

Presiden RI Joko Widodo wawancara eksklusif bersama TNST (Sumber: Lukas_Biro Pers/CNN Indonesia)
Presiden RI Joko Widodo wawancara eksklusif bersama TNST (Sumber: Lukas_Biro Pers/CNN Indonesia)

Atas perilaku tidak hormat yang kerap ditunjukkan oleh kubu RRT, persoalan ini tentu ditanggapi serius agar ancaman yang lebih besar semacam peperangan tidak terjadi. Karena pertikaian pada dasarnya tidak akan pernah memberikan dampak positif bagi kubu mana pun meski pihak yang berseteru menganggap hebat dan kuat segala aspek ketatanegaraannya. Seperti yang dinyatakan oleh Presiden RI, Ir. H. Joko Widodo, di lain kesempatan, bahwa jika perpecahan dan rivalitas terus terjadi, tidak terpungkiri pijakan stabilitas dan perdamaian yang lestari akan goyah atau bahkan sirna. Dunia yang damai, stabil, dan sejahtera semakin sulit diwujudkan.

Yang terburuk dari sekedar ancaman adalah peperangan. Bila saja titik cerah untuk pengumpulan berkas perdamaian tidak kunjung tercapai, sudah bisa dikira-kira bagaimana konflik akan pecah dan perang tidak mustahil untuk terjadi. Hal ini tentu saja menjadi masalah serius yang perlu diselesaikan sebelum apa yang diperhitungkan seperti di atas benar-benar terlaksana. Agresi militer yang sudah sejak jauh-jauh hari dipersiapkan oleh pihak RRT tentu tanpa ragu menghukum apa saja yang menghalangi negara mereka berkuasa. Bayangan buruk perang dengan senjata tempur paling membunuh tidak lagi asing dari para pengamat konflik berkepanjangan ini. Jika saja benar demikian, kedaulatan negara mana pun yang terlibat perang pastilah hancur berantakan.

Respon, Kebijakan, dan Upaya Indonesia

• Pemerintah Indonesia telah merilis peta Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diperbaharui pada 14 Juli 2017. Dimaksudkan untuk mengganti nama Natuna menjadi Laut Natuna Utara (LNU). Meski pernyataan tersebut sempat ditolak oleh China melalui nota 25 Agustus tahun yang sama, dari pandangan hukum internasional posisi Indonesia lebih kuat dibandingkan lawan. Apalagi setelah Mahkamah Arbitrase Internasional (MAI) memvonis sembilan garis putus-putus yang menjadi landasan China mengklaim LNU sebagai perbuatan ilegal.

• Mendapat kesempatan bersuara pada pertemuan ASEAN Regional Forum (ARF) dalam rangkaian ASEAN Ministerial Meeting (AMM) dan ASEAN Post Ministerial Conferences (APMC) pada Jum'at (6/8/2021), melalui Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu), Indonesia berharap negara peserta ARF memanfaatkan forum lebih terbuka untuk membiasakan proses dialog di kawasan, membangun kepercayaan dan menjembatani perbedaan perspektif, serta mengurangi ketegangan antar para anggotanya, termasuk pada perselisihan pandangan atas pengklaiman wilayah maritim di Laut China Selatan. Pada kesempatan yang sama, Mahendra Siregar (Wamenlu), mendorong ARF menerjemahkan dialog menjadi kerja sama konkret, utamanya di bidang ketahanan dan kesehatan untuk menunjang SDGs sebagai bagian dari ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun