Ketika berbicara mengenai konflik di Laut China Selatan, khususnya yang berkaitan dengan Indonesia sebagai lawan konkret atas perebutan wilayah, tidak mungkin mengabaikan peran angkuh dari kepemimpinan RRT (Republik Rakyat Tiongkok). Dalam konteks yang dikukuhkan oleh RRT (RRC (Republik Rakyat China) di masa itu) pada peta pembuatan sepihak 1947, elemen-elemen kekuasaan atas nama Indonesia pada sebagian wilayah perairan Laut China Selatan dicoret secara serampangan dan tanpa kenal perbandingan meski pada masa itu hal-hal penetapan titik wilayah maritim untuk masing-masing negara masih bercorak putih. Berperan sebagai sutradara jalur kemudi Laut China Selatan, membuat RRT berkuasa tinggi atas negara-negara tetangga yang diibaratkan aktor-aktornya. Mau tak mau, Indonesia telah menjadi salah satu bagian dari rangkaian cerita penuh perselisihan yang secara sadar dikarang oleh tangan dingin penguasa kemaritiman Republik Rakyat Tiongkok. Bagaikan terikat kontrak kerja dengan sebuah rumah produksi, Indonesia sebagai aktor, tak kunjung mampu lepas dari jeratan kekuasaan penuh pengekangan yang bahkan ilegal dari pihak RRT tersebut.
Apakah ini pertanda Indonesia masih lemah dan kalah bersaing dalam melawan penindasan hak-hak kebebasan?
Menjawab pertanyaan itu, beberapa latar pertimbangan damai sudah sering ditawarkan. Dalam analisis berbagai sumber, ini bertujuan untuk menengahi puncak panas konflik yang bisa saja terjadi. Melengkapi argumen tersebut, para ahli turut serta merespon konflik kemaritiman sentimental ini sebagai salah satu hal yang perlu diselesaikan dengan hati-hati. Sebab tidak hanya soal perebutan bergengsi tinggi wilayah perairan saja, pokok kedaulatan tiap negara secara keseluruhan lebih penting menjadi pusat perhatian. Begitu pun yang diperjelas baru-baru ini oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Hadi Tjahjanto. Di mana Hadi mengatakan perlunya kehati-hatian dalam menangani konflik dan menyikapi dinamika situasi yang berkembang. Karena pada dasarnya masalah sengketa Laut China Selatan melibatkan banyak pihak dan merugikan banyak pihak pula jika salah mengambil langkah. Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam webinar yang diselenggarakan Indonesia Strategic and Defence Studies, Selasa (19/3/2024) di Jakarta.
Dari riwayat perjalanan bagaimana konflik ini bermula hingga masih menegang pada masa sekarang, membuktikan bukan tugas yang mudah mencari kunci untuk pintu permusuhan ini ditutup. Oleh sebab itu, untuk mengetahui dan mencari tahu bagaimana peran Indonesia secara utuh dalam mempertahankan kedaulatan yang terancam porak-poranda akibat konflik, konfirmasi dari sejarah dan segala hal yang sudah terjadi akan membawa catatan unsur-unsur terperinci yang penting pada hakikat 'pengklaiman tak berdasar' yang menjadi pokok pangkal kestabilan hubungan antar negara meregang. Dan ancaman permusuhan global yang tidak mustahil menjadi biang tenggelamnya kedaulatan Indonesia di mulai pada area kemaritiman, menu pahit tersebut, justru harus lebih tajam diselidik menjadi aspek terkemuka untuk diselesaikan. Berangkat dari segala problematika, akar hingga jadi buah sebuah masalah sebaiknya dilakukan penelitian ulang. Ini berkaitan dengan keseimbangan informasi yang dapat menghasilkan pencerahan guna memupuk biji penyelesaian yang tumbuh dengan baik.
Singkatnya, ulasan dimulai.
Laut China Selatan: Penamaan dan Batasan
South China Sea adalah istilah dominan yang dipakai bangsa Eropa untuk menyebut Laut China Selatan. Di benua tersebut, nama ini muncul pertama kali ketika bangsa Eropa menggunakan area perairan LCS sebagai rute perjalanan dari Eropa dan Asia Selatan ke pos-pos dagang di Tiongkok. Ketika memasuki abad ke- 16, seorang pelayar asal Portugal, memperkenalkan sebutan Mare da China atau Laut Tiongkok. Penamaan terhadap LCS tak berhenti di sana. Sebuah Organisasi Hidrografi Internasional menyebut laut ini dengan istilah yang cukup asing, yaitu Nan Hai, yang diperoleh dari garis panjang leluhur jauh ke belakang sekitar 771-476 BCE oleh para penguasa Zhou.
Secara geografis, Laut China Selatan berbatasan dengan Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Singapura, Taiwan, dan China. International Hidrographic Bureau menjabarkan Laut China Selatan memanjang dari arah Barat Daya ke Timur Laut, berbatasan dengan China dan Taiwan di sebelah Utara, Filipina di sebelah Barat, Malaysia dan Brunei Darussalam di sebelah Barat dan Selatan, serta Vietnam di Timur.
Merujuk LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), garis perbatasan Laut China Selatan menyerupai huruf "U", dimulai dari perairan Mainan, dan berakhir di sebelah Timur perairan Taiwan. Batas-batas itu ditandai dengan demarkasi sembilan garis putus-putus (the nine dash line) yang kerap kali disebut lidah sapi (cow's tongue).
Kelebihan Laut China Selatan: Tolak Ukur Bahan Perebutan