"Segera siapkan ruang periksa dan bantu pasien ini. Aku yang menanggung semua biaya berobatnya," suara perempuan berbaju putih itu sangat tegas. Dua orang perawat membantu mengangkat Ateng ke dalam ruangan periksa. Ternyata Ateng terkena penyakit tifus dan dapat berobat jalan. Sambil menunggu racikan obat, Dokter Deli mengajak Sumi mengobrol.
"Dok.. benarkan anakku jelmaan kodok rawa yang dikutuk leluhur?" suara Sumi memecah kesunyian.
"Siapa yang bilang begitu, ini namanya vitiligo, kelainan kulit."
"Apakah penyakit ini adalah kutukan?"
Dokter Deli tertawa keras mendengar pertanyaan Sumi.
"Ummm... vitiligo adalah penyakit kulit karena hilangnya melanin, suatu pigmen penting pemberi warna kulit kita. Biasanya vitiligo berbentuk bercak di kulit," Dokter Deli mengamati wajah Ateng yang belang bonteng mengerikan karena vitiligo.
"Apakah Ateng dapat sembuh dari kutukan ini?"
"Biasanya vitiligo terjadi karena mutasi genetik atau pengaruh autoimun. Penderita harus jalani pemeriksaan lengkap untuk menahu mengapa dia mengalami vitiligo. Vitiligo karena faktor genetik tidak dapat sembuh."
"Anak saya boleh bersekolah? Selama ini dia ditolak bergaul karena masyarakat menuduh dia menyebarkan penyakit kutukan leluhur," Sumi memandang wajah anaknya yang dipenuhi bercak tidak beraturan seperti kodok rawa. Kata kodok rawa menjadi bahan bully untuk anak Sumi setiap kali ingin bermain dengan teman sebayanya.
"Winnie Harlow yang model Kanada juga penderita vitiligo. Jika vitiligo penyakit menular, pasti sudah almarhum desainer, fotografer dan semua orang yang berinteraksi dengan model itu. Ibu tenang saja, vitiligo tidak berbahaya. Masalah utama disini adalah mind set masyarakat kampung yang percaya bahwa vitiligo adalah kutukan karena tidak memberi sesajen untuk leluhur di kampung. Begitu kan?"
Sumi mengangguk perlahan membenarkan.