"Hutang nyawa bayar dengan nyawa," Puni menunjuk wajah Mak yang menggelengkan kepalanya sambil menangis.
"Kita tidak boleh semena-mena ingin mengambil nyawa orang. Apakah permintaanmu dapat digantikan dengan hewan?"
"Aku ingin kepala kambing jantan berwarna hitam pekat. Semua barang pemberian anakku yang masih di simpan oleh perempuan jahanam itu harus dilarung di sungai bersama kepala kambing yang kuminta. Jika permintaanku tidak dituruti, kalian sekeluarga akan merasakan akibatnya," tiba-tiba badan Puni terjatuh ke atas kasur. Aku menyeka keringat di dahi adikku. Mak menangis histeris karena rasa malu luar biasa terbukanya rahasia kelam kehidupannya di masa lalu.
"Bagaimana Mak? Apakah aku boleh melaksanakan permintaan arwah yang menghuni tubuh anakmu?" Daeng Kawali minta persetujuan Mak.
Mak mengangguk sambil menangis. Lidahnya kelu dan tidak kuasa menahan dirinya. Bapakku yang bernama Daeng Dayat memang telah berjanji sehidup semati dengan Mak. Saat Mak mengandung Puni, Bapakku tega meninggalkan keluarganya karena terpikat oleh perempuan lain yang lebih kaya.
*
Singkat cerita tibalah hari untuk pengobatan Puni. Adikku duduk di tepi sungai beralas kain putih disaksikan oleh semua tetangga di sekitar rumah. Saat kepala kambing dan semua barang seserahan milik Salim yang masih disimpan Mak dihanyutkan ke sungai, keranjang berisi bungkusan itu berjalan perlahan dibawa air sungai. Perempuan tua bernama Daeng Kawali memandikan Puni dengan air sungai. Disiramnya kepala Puni dengan gayung miliknya terbuat dari tempurung kelapa. Â Langit tiba-tiba mendung, badan Puni mengejang hebat, seperti ada sesuatu yang tercabut dari raganya. Mulutnya memuntahkan seekor belut hitam pekat yang segera hilang ditelan air sungai menggelegak. Saat aku memandang aliran sungai, bungkusan yang dilarung telah lenyap. Mungkin telah terisap masuk ke dalam pusaran air yang berada di tengah sungai. Langit kembali terang benderang. Aku tidak peduli kehilangan semua barang itu, yang penting nyawa adikku selamat. Daeng Kawali bernafas lega dan memberi minum segelas air kepada Puni.
"Arwah penasaran itu sudah kembali ke alamnya. Hidup ini memerlukan pengorbanan untuk menebus kesalahan di masa lalu. Ayo kita pulang ke rumah. Â Pia, gendonglah adikmu dan pakaikan baju hangat supaya tidak masuk angin," Daeng Kawali menyuruhku membawa Puni ke rumah. Kulihat adikku tersenyum manis dan mengulurkan tangannya padaku. Mak berjalan lunglai dituntun oleh Daeng Kawali dan beberapa orang ibu tetangga yang diam seribu bahasa (srn).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI