"Kamu telah membuat Salim menderita," suara Puni terdengar sangat aneh, serak dan tidak bersahabat. Mak beringsut mundur ketakutan melihat kilatan marah dalam bola mata adikku. Puni  menunjuk wajah Mak.
"Karena kamu, Salim meninggal gantung diri...."
Aku sangat terkejut mendengar kata-kata Puni. Siapakah lelaki bernama Salim?
Tiba-tiba tubuh Puni terhempas ke atas kasur dengan mata membelalak. Â Hatiku bergolak ingin bertanya kepada Mak tentang sosok bernama Salim, namun kondisi Mak yang kacau balau membuatku urung melakukannya. Sepanjang malam aku berbaring di samping Puni sambil memeluknya erat. Badannya menggigil dan mengeluarkan keringat dingin. Kulihat Mak sangat gelisah. Dia duduk gemetar di sudut kamar sambil menangis ketakutan. Aku memejamkan mata, mencari akal memecahkan misteri ini.
*
Mentari masih bersembunyi di balik gunung saat aku berjalan menuju ke rumah Daeng Kawali, dukun perempuan yang tinggal di pinggir kampung. Tidak kuhiraukan hawa dingin yang menembus jaket kumal peninggalan Bapak yang menempel di badanku. Tanpa ragu kuketuk pintu rumah Daeng Kawali. Tidak lama kudengar langkah kaki menuju ke pintu.
"Ada apa Pia? Wajahmu terlihat sangat pucat..." suara Daeng Kawali membuyarkan lamunanku. Perempuan tua itu membiarkanku masuk ke dalam ruang tamunya yang berbau dupa.
"Adikku sakit, ikutlah ke rumah bersamaku."
"Memangnya adikmu kenapa?"
Segera kuceritakan kejadian semalam, termasuk suara adikku meminta tolong dari sungai.
"Tampaknya adikmu telah diganggu oleh penghuni sungai. Mari kita lihat keadaannya," Daeng Kawali mengunci pintu rumahnya dan menuruni tangga. Aku segera mengikuti langkah Daeng Kawali. Dia membawa sebuah tas berisi piranti untuk pengobatan. Saat tiba di rumah, Daeng Kawali tertegun melihat wajah Puni yang memerah bagai kepiting rebus.