"Mak juga bingung mengapa Puni jadi seperti ini," terdengar erangan tangis Mak.
"Puni... ini Kakak. Apakah kamu baik-baik saja?" kutepuk lembut pipi adikku. Tatapan matanya kosong memandang ke arah sungai. Puni tidak bereaksi, wajahnya datar tanpa ekspresi.
"Kenapa dia sampai begini?" tanyaku cemas. Kupandang wajah Mak yang kelelahan.
"Tadi siang dia bermain di tepi sungai bersama teman-temannya, mereka beramai-ramai mencari ikan pelangi. Tiba-tiba adikmu terperosok batu dan nyaris tenggelam, untunglah Daeng Amat berhasil menyelamatkannya."
"Kenapa Mak membiarkan Puni bermain di sungai?" aku tiba-tiba teringat kejadian seram beberapa hari  lalu saat kudengar suara Puni memanggilku dari sungai."
Tiba-tiba kulihat Puni beringsut mengambil bantal dan merebahkan kepalanya.
"Biarkan saja dia tidur, mungkin lelah. Semoga dia lebih segar kalau sudah bangun. Kami pulang dulu Mak," dua orang ibu tetangga pamit pada Mak. Mereka diantar sampai ke pintu. Aku duduk diam, memandangi penuh rasa kuatir pada adikku yang tertidur pulas.
*
Sejak kejadian itu, sikap Puni mulai berubah. Dia lebih sering merenung di jendela sambil memandang kosong ke arah sungai. Sosok ceria adikku berganti menjadi seseorang yang tidak pernah kukenal. Dia juga sering bergumam sendiri dalam bahasa aneh yang tidak kumengerti. Saat tengah malam, tiba-tiba Puni menjerit dan terbangun dari tidurnya. Lengkingannya sontak membangunkanku. Mak berteriak histeris melihat mata Puni membelalak bagaikan tercekik. Adikku meronta-ronta kesakitan.
"Puni...Puni... ini Mak," Mak memeluk tubuh mungil Puni yang bergelinjang mirip cacing kepanasan. Mulutnya mengeluarkan darah segar. Aku terbelalak kaget melihatnya.
"Puni kenapa Mak?" aku kelabakan melihat kondisi adikku. Tiba-tiba Puni menunjuk wajah Mak dengan beringas.