"Kakak... tolonglah aku," kudengar samar-samar suara Puni dari arah sungai. Kutajamkan pendengaranku, namun desah riuh gesekan dedaunan rumpun bambu yang masuk ke gendang telingaku. Segera kulanjutkan pekerjaanku memilah ubi jalar yang baru di panen. Tiba-tiba aku kembali mendengar suara Puni dari arah yang sama. Rasa takut luar biasa melanda hatiku, membuatku segera berlari menuju ke arah sungai yang berada di samping rumah. Aliran air menggelegak, terlihat berwarna coklat seperti cappuccino, pertanda adanya material tanah terikut dari hulu. Mataku liar mencari keberadaan Puni, dimana dia gerangan. Aku turun ke tepian sungai berbatu. Kupanggil namanya berkali-kali namun tidak ada jawaban. Dimanakah dia ersembunyi, namun tak kulihat sosok adikku itu. Kembali aku mendengar sayup-sayup suara Puni memanggilku.
"Kakak... tolong aku, kak..."
Kalimat itu terasa sangat menyeramkan di telingaku. Aku kembali menoleh ke kiri dan ke kanan. Netraku tidak melihat siapapun berada di situ. Hanya aliran air deras terpampang nyata di depanku. Begitu liar dan bergolak gemuruh saat menabrak batu sungai yang menghadangnya. Kembali kutelusuri jalanan berkerikil di sepanjang tepian sungai yang telah menyembunyikan jejak Puni, namun aku tidak menemukan apapun. Penuh rasa dongkol aku pulang ke rumah. Betapa terkejutnya aku saat masuk ke dalam ruang tamu dan melihat adikku Puni tidur nyenyak di atas sofa tua. Dia terlihat begitu damai memeluk boneka kelinci kesayangannya. Semangatku yang sudah luluh lantak kembali bergelora. Segera aku menghambur mencium pipi adik kesayanganku yang sedang berada di alam mimpi. Rasanya luar biasa mendapat anugerah seorang adik perempuan rupawan yang menjadi teman setiaku. Â Puni terbangun kaget karena aku tiba-tiba mencium pipinya.Â
"Menjauhlah...badan Kakak bau lumpur, pasti belum mandi, iya kan?" teriak anak perempuan kelas tiga Sekolah Dasar yang ditakdirkan menjadi adikku satu-satunya. Segera kucium lagi wajah rupawan adikku itu.
"Ihhh...." Puni mendorong wajahku menjauh darinya. Aku tersenyum dan masuk ke dalam kamar mengambil handuk. Sore sudah menjelang, terdengar suara Mak di dapur menyiapkan sesuatu untuk dimakan saat sore hari.
"Masak apa Mak?" hidungku mencium aroma wangi daun pandan dan gula merah. Kulihat kuah kental berwarna coklat meletup dari dalam belanga tanah liat. Disampingnya sebuah ketel mengeluarkan aroma khas teh seduhan Mak. Lengkap sudah sajian sore yang sukses membuat perutku berontak kelaparan.
"Mak membuat kolak ubi jalar hasil kebun kita. Ayo cepat mandi, nanti kamu masuk angin," Mak mendorongku ke kamar mandi. Aku terkekeh dan meninggalkannya berkutat sendirian di dapur.
*
Pulang dari ladang, aku melihat Mak menangis memanggil-manggil Puni yang duduk terpaku di tempat tidur dalam kamar. Wajahnya menghadap ke jendela yang memperlihatkan aliran sungai  berwarna coklat karena bercampur sedimen tanah dari hulu. Kulihat ibu tetangga sibuk mengipas Puni dan menepuk pipinya. Mereka semua memanggil nama Puni.
"Ada apa Mak?" aku sangat terkejut melihat wajah pucat pasi adik kesayanganku.