"Wa alaikum salam, silahkan masuk Bu Martono," ajak Naimah kepada tamunya namun perempuan itu tampak sangat marah. Dia mengerucutkan bibir tipisnya.
"Kembalikan uang pembeli gula arenmu ini," Bu Martono membanting kantong kresek itu ke lantai rumah. Bongkahan gula aren terserak di hadapan Naimah.
"Kenapa gula aren kami Bu?"
"Gulamu sangat jelek, pahit sekali dan banyak ampasnya. Kalau menjual jangan hanya mencari untung tapi pikirkan kualitasnya."
"Ya Allah... selama ini kami selalu menjual gula yang paling bagus."
"Banyak sekali bicaramu. Sekarang kembalikan uangku," Bu Martono memberikan kode supaya Naimah mengembalikan uang yang telah diberikannya. Penuh isak tangis, Naimah masuk ke dalam kamar dan keluar membawa beberapa lembaran rupiah di tangannya.
"Kalau dagang, jangan uang saja di otakmu. Pikirkan juga lidah kami yang makan gula arenmu," Bu Martono merampas lembaran uang dan mengentakkan kakinya meninggalkan rumah itu diiringi isak tangis Naimah.
"Ada apa ribut-ribut di luar?" Daeng Takko bertanya lirih saat melihat istrinya masuk ke dalam kamar.
"Tidak ada apa-apa," elak sang istri.
"Jangan bohong, kudengar tadi suara perempuan marah tentang gula aren. Kenapa dia?" terdengar gelegar suara Daeng Takko memarahi istrinya.
*