Mohon tunggu...
Sri NurAminah
Sri NurAminah Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer

I am entomologist, I believe my fingers, https://www.aminahsrilink.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Rio de Cautivo

30 Desember 2024   22:54 Diperbarui: 1 Januari 2025   16:02 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibuku tercinta

Di sini Ayi berdiri, di tepian Rio de Cautivo river. Ayi dikelilingi oleh bebatuan sungai, pepohonan, riak air yang mengalun sepanjang sungai. Ayi tidak pernah menyangka Tuhan telah menuliskan garis hidupku membantu kesulitan orang-orang yang berada di tempat ini dan aku sangat menyukai suasananya. Di pikiranku, setiap sungai mempunyai air menggelegak liar, menanti keberanian para ksatria arung jeram menyusurinya. Ternyata Rio de Cautivo sangat berbeda. Dia bagaikan teman yang tersenyum ramah dan membuka tangannya menerima kedatanganku. Aku telah berjuang menunjukkan pada dunia bahwa aku mampu berkiprah dengan usahaku sendiri, tanpa berlindung di bawah bayanganmu Ibu. Aku sangat sedih, semakin aku  berusaha, semakin banyak aturan dari Ibu yang mengikatku. Namun aku sangat bahagia telah berada di sini. Riak air nan lembut Rio de Cautivo  telah meluruhkan hatiku untuk bijaksana dalam bersikap dan mengambil keputusan. Aku harus menerima bahwa setiap orang mempunyai hak untuk menilai  diriku, dan semuanya tergantung pada diriku untuk menerimanya atau tidak. Terima kasih untuk semua nasihatmu untuk kehidupanku. Maafkan Ayi jika belum menjadi anak yang berbakti untukmu. 

Ibu terpekik jerit mendengar kronologis meninggalnya Ayi dari Polwan yang mengantar jenazahnya.  Seingat Ibu, Ayi hanya dapat berenang seadanya dan mustahil tubuh kurusnya mampu menaklukkan aliran air deras. Terbayang tubuh anak gadisnya hanyut terbawa gelegak air Rio de Cautivo demi menyelamatkan seorang gadis kecil yang terjatuh ke dalamnya saat memetik bunga di tepi sungai. Keduanya tertelan ke dalam lubang besar menganga, tersembunyi di tengah sungai. Beberapa hari kemudian, kedua jenazah itu ditemukan terbawa arus sampai puluhan kilometer dari TKP.  Tidak ada pihak yang dapat disalahkan  atas kejadian ini. Ibu meratapi kepergian Ayi dengan menangis sejadi-jadinya.

"Kasihan si Ayi, harus meninggal jauh dari rumah."

"Iya nih, pasti Ayi pergi merantau karena tidak betah. Umur gadis yang sudah matang dan mandiri kok dikekang kebebasannya seperti balita."

"Entah apa rencana yang ada di kepala ibunya Ayi, biar dia teriak sampai ke kolong langit, Ayi tidak akan pernah pulang lagi ke sini..."

"Ayi... Ayi, malangnya nasibmu nak."

Tangis Ibunya Ayi semakin keras mendengar bisik-bisik kaum perempuan yang berada di belakangnya. Tercium aroma semerbak saat peti jenazah masuk ke dalam ruang tamu. Ibu terkulai lemas dipegangi oleh bibi dan beberapa kerabatnya. Rasanya semua air mata telah tertumpah dan mengering.

*

Setelah jenazah disolatkan, iring-iringan berangkat menuju ke pekuburan umum yang berada tidak jauh dari rumah Ayi. Gadis itu dimakamkan di samping kuburan ayahnya. Setelah membaca doa, satu persatu pelayat mulai pulang dan meninggalkan Ibunya Ayi bersama beberapa kerabatnya.

"Ayo kita pulang," seorang tetua mengajak Ibunya Ayi pulang ke rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun