"Ibu, saya ingin membeli hadiah untuk Bu Ambar," terdengar suara kecil dari mulut Embun.
"Hadiah apa yang ingin kamu berikan untuk beliau?" Ibu mengelus penuh sayang kepala anak tunggalnya.
"Kata teman-teman, Bu Ambar menyukai hadiah limited edition."
Ibu mengernyitkan alisnya, kaget sekali mendengar istilah itu keluar dari mulut anaknya yang masih bau kencur.
"Embun, hadiah limited edition itu sangat mahal harganya. Kamu tahu kan pekerjaan ayahmu selama ini?"
"Jadi Embun harus bagaimana Ibu?"
"Sebuah hadiah tidak perlu mahal. Buatlah sesuatu dengan hati tulus. Ibu yakin si penerima pasti sangat gembira melihatnya."
"Benarkah itu Ibu?" mata Embun kembali berbinar.
Ibu mengangguk, senyum kasihnya mengembang untuk  menguatkan sang buah hati. Namun jauh di lubuk hati paling dalam, sang Ibu menahu benar, hadiah yang dibuat dengan hati tulus belum tentu mampu menaklukkan hati Bu Ambar, guru paling matre di sekolah putrinya.
"Sebuah hadiah tidak perlu mahal. Buatlah sesuatu dengan hati yang tulus. Ibu yakin si penerima pasti sangat gembira melihatnya."
Kalimat ini terus menggayuti kepala Embun dan menimbulkan rasa sakit berkepanjangan. Hal ini timbul karena seminggu lagi hari ulang tahun Ibu Ambar, wali kelasnya. Semua anak sudah berencana memberikan kado terindah untuk sang guru.
Embun adalah anak semata wayang pasutri kurang mampu. Dia murid kelas empat dan mengenyam pendidikan di sebuah SD elite karena ayahnya bekerja di situ sebagai juru laden sekolah. Embun mempunyai otak cemerlang yang mampu diandalkan dalam setiap lomba Ilmu Alam sehingga Ketua Yayasan memberikannya beasiswa pendidikan bersekolah di situ.
"Don't judge a book by its cover," kata ayahnya setiap malam saat Embun mengadu tentang bully teman-temannya. Ada saja yang menjadi asal muasal bully  mereka tentang keberadaan Embun  di sekolah. Kalau bukan hiasan rambutnya yang terlihat jelek karena dibeli di kaki lima, pasti sepatunya yang menjadi bahan tertawaan. Sepatu berwarna pink itu  memudar bagaikan sang surya siap tenggelam di ufuk barat. Namun jangan salah, pemilik barang itu bernama Embun. Anak perempuan itu mempunyai otak sangat cemerlang dan mampu memboyong aneka trofi setelah mengikuti kejuaraan Ilmu Alam di berbagai event. Sayangnya pihak sekolah selalu menaruh semua trofi hasil jerih payah Embun di ruangan Kepala Sekolah. Mereka sangat bangga dengan perolehan trofi lomba, mereka memuja prestasi gemilang yang diukir oleh salah satu murid genius di sekolah mereka namun tidak memuliakan manusianya. Kepala Sekolah menganggap sah-sah saja Embun menyumbangkan trofi dalam setiap kejuaraan yang diikuti sebagai kompensasi beasiswa yang telah diberikan untuk menuntut ilmu. Sebenarnya Kepala Sekolah sangat muak melihat Embun bersekolah disitu, apa daya jabatan Ketua Yayasan lebih tinggi levelnya dalam memberikan titah yang harus dipatuhi. Jika sang Kepala Sekolah tidak mampu menyenangkan hati Ketua Yayasan, maka piring nasinya bakal hancur berkeping-keping.
Rini yang hanya meraih juara harapan paling terakhir dari lomba fashion show mendapat uang pembinaan dalam sebuah amplop tebal yang diberikan saat upacara bendera di hari Senin pagi. Di hadapan semua murid, guru dan sekuriti yang ikut upacara itu, Ibu Kepala Sekolah menggelegar suaranya mengucapkan selamat bertubi-tubi kepada Rini yang wajahnya berseri-seri. Tampaknya ibu bertumbuh tambun itu ingin semua isi bumi dan angkasa mengakui bahwa Rini adalah anak paling berbakat di sekolah itu. Hal ini membuah Embun sakit hati, bukan untuk pertama kalinya tapi kesekian kalinya. Sebelum kejadian itu, ayahnya telah diberitahu oleh Ketua Yayasan untuk mengambil hadiah uang pembinaan dari Kepala Sekolah setelah Embun memboyong dua trofi lomba beberapa hari yang lalu. Namun sang Kepala Sekolah menyangkal dengan berbagai alasan dan mengusir pergi sang juru laden nan malang.
"Kamu sedang apa?" sang ayah heran melihat Embun berjalan perlahan di pekarangan sekolah dan memungut pipet plastik bekas yang ditemukannya.
"Aku ingin membuat sesuatu dari pipet ini sebagai hadiah ulang tahun wali kelasku."
"Apakah tidak berbahaya memakai pipet bekas?"
"Ayah jangan kuatir. Aku akan mencucinya berkali-kali dengan sabun dan membilasnya memakai air hangat supaya bahan ini steril."
Ayahnya mengangguk senang dan mencubit pipinya.
"Lakukanlah apa yang kamu sukai anakku, good luck," ayahnya berlalu untuk melanjutkan pekerjaannya.
Hari ulang tahun Bu Ambar telah tiba. Bangku disingkirkan dan ruang kelas telah dihias meriah dengan kertas warna warni dan aneka balon memeriahkan suasana. Sebuah kue ulang tahun sangat menawan  ditemani aneka hidangan lezat disumbangkan oleh orang tua Lila yang memiliki restoran terbaik. Beberapa orang guru ikut datang meramaikan acara makan siang. Dua meja penuh aneka hidangan lezat, cup cake, roti manis, salad buah dan puding cokelat. Sungguh hari yang luar biasa dan membuat mata Bu Ambar berbinar kesenangan melihat kemeriahan itu. Setelah makan siang, anak-anak mulai mengantri memberikan hadiah terbaiknya untuk sang guru. Embun berada di barisan paling belakang sebelum Rini. Anak itu terlambat mengantri karena sopirnya lupa menurunkan hadiah Bu Ambar dari mobil yang terparkir jauh. Rini tidak berani menerobos antrian itu dan berdiri penuh rasa kesal di belakang Embun. Setelah Lila selesai memberikan kado istimewanya, giliran Embun berhadapan dengan Bu Ambar.
"Maafkan saya Bu Guru. Saya hanya dapat memberikan hadiah ini di hari ulang tahun Bu Guru. Semoga Ibu panjang umur dan sehat selalu," Embun menyodorkan hadiah yang berada di tangannya. Ekspresi Bu Ambar yang semula sumringah menerima kado dari Lila mendadak berubah drastis menjadi sangat dingin mirip es saat melihat kado milik Embun.
"Silahkan dibuka Bu Guru," Embun berharap sangat Bu Guru membuka hadiah darinya. Perempuan itu membuka perlahan kado milik Embun dengan seringai rasa jijik. Tampaknya dia sangat kuatir kuteks kukunya tergores karena terkena sesuatu yang tajam. Matanya membelalak lebar melihat sebuah taplak meja sederhana terbuat dari pipet warna-warni. Penuh rasa kesal, perempuan itu memandang Embun. Beberapa hari yang lalu dia pernah melihat Embun memungut pipet bekas dari jalanan di sekolah. Tidak disangkanya anak juru laden itu sangat tega memberikan hadiah dari barang bekas di hari ulang tahunnya. Dipandangnya wajah suci nan polos di hadapannya, mengharap sedikit rasa terima kasih terucap dari bibir yang selalu memakai polesan lipstik tebal nan membara.
"Ummm... terima kasih.... " perempuan itu menjentik hadiah dari hadapannya dan mendorong bahu Embun meninggalkan mejanya. Perempuan matre itu menyambut penuh ceria kedatangan Rini membawa kado besar berhias pita warna warni.
"Happy birthday Bu Ambar sayang, terimalah persembahan sederhana ini," Rini mencium tangan gurunya. Perempuan itu  terpekik jerit saat membuka hadiah dari Rini.
"Olala...anak pintar, tahu saja apa yang selama ini Ibu idam-idamkan," Bu Ambar memeluk Rini beserta tas hadiah yang diberikannya. Sebuah tas warna merah maple keluaran Kate Spade terbaru berada dalam pelukan nyaman sang wali kelas.
"Iya Bu Guru, hadiah ini khusus dibelikan untukmu saat Mamaku ke New York bulan lalu. Semoga Bu Guru senang memakainya."
"Of course Sayang, saya suka sekali tas ini, sampaikan salam hormat penuh cinta untuk ibundamu yaaa," Bu Ambar mencium mesra pipi tembam Rini.
"Itu apa Bu Guru?" Rini menunjuk ke bungkusan berisi taplak meja pipet warna-warni yang berada di hadapan Bu Ambar.
"Ohhh... ini sampah yang lupa Ibu buang, banyak sekali kumannya... sangat berbahaya kalau sampai kamu memegangnya tanpa sengaja," begitu lincah tangan Bu Ambar melempar benda itu ke dalam tempat sampah di bawah kolong meja. Perempuan itu segera mengambil hand sanitizer dari laci meja dan mengoleskannya pada kedua belah tangannya. Penuh rasa marah Bu Ambar  memandang wajah Embun di kejauhan. Insiden itu disaksikan oleh Embun yang berdiri tidak jauh dari meja sang wali kelas. Embun merasakan matanya basah melihat hasil jerih payahnya sukses bercampur kotak bekas makan siang gurunya di dalam tempat sampah. Dia telah begadang beberapa malam dengan tangan berdarah tertusuk jarum untuk menyelesaikan karya itu. Dia sungguh ingin melihat gurunya berbahagia menerima hadiahnya yang sederhana. Tidak pernah disangkanya bahwa hadiah yang telah dibuatnya dengan penuh susah payah  hanya menjadi penghuni tempat sampah. Embun meninggalkan kelas dengan lesu. Matanya basah mengingat betapa dingin wajah Bu Ambar saat membuka hadiah yang diberikannya dengan penuh ketulusan. Dia berhenti di dekat pintu kelas, hatinya sungguh sakit dan tangisnya tumpah seketika. Dia berlari meninggalkan ruangan yang penuh hingar bingar tawa membahana. Tubuh mungilnya tidak mampu menggapai betapa tinggi level yang harus dicapainya untuk menyenangkan hati sang guru (srn).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H