Embun adalah anak semata wayang pasutri kurang mampu. Dia murid kelas empat dan mengenyam pendidikan di sebuah SD elite karena ayahnya bekerja di situ sebagai juru laden sekolah. Embun mempunyai otak cemerlang yang mampu diandalkan dalam setiap lomba Ilmu Alam sehingga Ketua Yayasan memberikannya beasiswa pendidikan bersekolah di situ.
"Don't judge a book by its cover," kata ayahnya setiap malam saat Embun mengadu tentang bully teman-temannya. Ada saja yang menjadi asal muasal bully  mereka tentang keberadaan Embun  di sekolah. Kalau bukan hiasan rambutnya yang terlihat jelek karena dibeli di kaki lima, pasti sepatunya yang menjadi bahan tertawaan. Sepatu berwarna pink itu  memudar bagaikan sang surya siap tenggelam di ufuk barat. Namun jangan salah, pemilik barang itu bernama Embun. Anak perempuan itu mempunyai otak sangat cemerlang dan mampu memboyong aneka trofi setelah mengikuti kejuaraan Ilmu Alam di berbagai event. Sayangnya pihak sekolah selalu menaruh semua trofi hasil jerih payah Embun di ruangan Kepala Sekolah. Mereka sangat bangga dengan perolehan trofi lomba, mereka memuja prestasi gemilang yang diukir oleh salah satu murid genius di sekolah mereka namun tidak memuliakan manusianya. Kepala Sekolah menganggap sah-sah saja Embun menyumbangkan trofi dalam setiap kejuaraan yang diikuti sebagai kompensasi beasiswa yang telah diberikan untuk menuntut ilmu. Sebenarnya Kepala Sekolah sangat muak melihat Embun bersekolah disitu, apa daya jabatan Ketua Yayasan lebih tinggi levelnya dalam memberikan titah yang harus dipatuhi. Jika sang Kepala Sekolah tidak mampu menyenangkan hati Ketua Yayasan, maka piring nasinya bakal hancur berkeping-keping.
Rini yang hanya meraih juara harapan paling terakhir dari lomba fashion show mendapat uang pembinaan dalam sebuah amplop tebal yang diberikan saat upacara bendera di hari Senin pagi. Di hadapan semua murid, guru dan sekuriti yang ikut upacara itu, Ibu Kepala Sekolah menggelegar suaranya mengucapkan selamat bertubi-tubi kepada Rini yang wajahnya berseri-seri. Tampaknya ibu bertumbuh tambun itu ingin semua isi bumi dan angkasa mengakui bahwa Rini adalah anak paling berbakat di sekolah itu. Hal ini membuah Embun sakit hati, bukan untuk pertama kalinya tapi kesekian kalinya. Sebelum kejadian itu, ayahnya telah diberitahu oleh Ketua Yayasan untuk mengambil hadiah uang pembinaan dari Kepala Sekolah setelah Embun memboyong dua trofi lomba beberapa hari yang lalu. Namun sang Kepala Sekolah menyangkal dengan berbagai alasan dan mengusir pergi sang juru laden nan malang.
"Kamu sedang apa?" sang ayah heran melihat Embun berjalan perlahan di pekarangan sekolah dan memungut pipet plastik bekas yang ditemukannya.
"Aku ingin membuat sesuatu dari pipet ini sebagai hadiah ulang tahun wali kelasku."
"Apakah tidak berbahaya memakai pipet bekas?"
"Ayah jangan kuatir. Aku akan mencucinya berkali-kali dengan sabun dan membilasnya memakai air hangat supaya bahan ini steril."
Ayahnya mengangguk senang dan mencubit pipinya.
"Lakukanlah apa yang kamu sukai anakku, good luck," ayahnya berlalu untuk melanjutkan pekerjaannya.
Hari ulang tahun Bu Ambar telah tiba. Bangku disingkirkan dan ruang kelas telah dihias meriah dengan kertas warna warni dan aneka balon memeriahkan suasana. Sebuah kue ulang tahun sangat menawan  ditemani aneka hidangan lezat disumbangkan oleh orang tua Lila yang memiliki restoran terbaik. Beberapa orang guru ikut datang meramaikan acara makan siang. Dua meja penuh aneka hidangan lezat, cup cake, roti manis, salad buah dan puding cokelat. Sungguh hari yang luar biasa dan membuat mata Bu Ambar berbinar kesenangan melihat kemeriahan itu. Setelah makan siang, anak-anak mulai mengantri memberikan hadiah terbaiknya untuk sang guru. Embun berada di barisan paling belakang sebelum Rini. Anak itu terlambat mengantri karena sopirnya lupa menurunkan hadiah Bu Ambar dari mobil yang terparkir jauh. Rini tidak berani menerobos antrian itu dan berdiri penuh rasa kesal di belakang Embun. Setelah Lila selesai memberikan kado istimewanya, giliran Embun berhadapan dengan Bu Ambar.
"Maafkan saya Bu Guru. Saya hanya dapat memberikan hadiah ini di hari ulang tahun Bu Guru. Semoga Ibu panjang umur dan sehat selalu," Embun menyodorkan hadiah yang berada di tangannya. Ekspresi Bu Ambar yang semula sumringah menerima kado dari Lila mendadak berubah drastis menjadi sangat dingin mirip es saat melihat kado milik Embun.