Mohon tunggu...
Sri NurAminah
Sri NurAminah Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer

I am entomologist, I believe my fingers, https://www.aminahsrilink.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Diary Perias Jenazah

29 September 2024   19:16 Diperbarui: 29 September 2024   19:21 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah peristiwa kebakaran rumah cantik yang merusak wajahku, rasanya dunia ini runtuh seruntuh runtuhnya di atas kepalaku. Hal ini merupakan penghambat utama langkahku dalam menjalankan profesi sebagai seorang MUA alias make up artis. Seorang perias profesional dituntut berpenampilan elegan sebagai cerminan hasil karyanya. Bukankah tampilan luar adalah gambaran kepiawaian seseorang dalam merawat dirinya? Stigma masyarakat tentang performa seorang MUA harus tampil sempurna sungguh membuat nyaliku ciut jika memandang wajahku telah rusak karena musibah yang nyaris merenggut nyawaku. Batinku bergolak penuh rasa marah. Masa iya setelah kecelakaan tragis itu aku harus berpuasa karena tidak lagi bekerja? Aku terdesak dan sangat memerlukan asupan dana segar. Biaya yang dibutuhkan Mamah menyebabkan aku memutuskan tetap menjalankan hobiku rias merias wajah melalui jalan berbeda. Aku banting setir menjadi seorang menjadi perias jenazah. Pikiranku sangat sederhana, dengan kondisiku saat ini aku harus menghasilkan uang halal dan berkah. Aku juga yakin, jenazah yang menjadi customerku pasti tidak nyinyir atau menolak kehadiranku. Keputusan besar itu kuceritakan pada Imah, teman kontrakanku.

"Kamu sungguhan mau beralih customer?" Imah bertanya tidak percaya.

Aku menganggukkan kepala dengan mantap.

"Aku tetap menjadi MUA namun obyeknya berbeda."

"Maksudmu?"

"Aku mencoba peruntungan menjadi perias jenazah."

"Kamu sungguhan Wi?" Imah bertanya penuh keraguan.

Aku kembali menganggukkan kepalaku penuh percaya diri.

"Mengapa harus beralih customer? Sebenarnya kamu itu kurang promosi dan kurang tekun berusaha," Imah seolah-olah menyalahkan tindakanku.

"Maksudmu apa, aku kurang promosi dan kurang tekun berusaha? Dengar ya Neng, orang-orang ogah dan menolak didandani oleh manusia berwajah cacat sepertiku. Stigma masyarakat sungguh kejam karena perubahan fisikku pasca kebakaran yang menimpa tempat kerjaku. Aku harus mencari banyak uang untuk membiayai perawatan Mamahku di Rumah Sakit dan memenuhi kebutuhanku untuk berobat," air mataku tidak dapat kutahan lagi mendengar kata-kata Imah yang sungguh menusuk perasaanku.

Imah terhenyak kaget, tidak menyangka kata-katanya telah melukai hatiku begitu dalam.

"Astaga, maafkan aku Wi," wajahnya tampak penuh penyesalan.

"Lupakan saja pembicaraan kita barusan," segera kutinggalkan Imah dan masuk mengunci diri dalam kamarku. Hatiku sakit sekali mendengar kata-kata Imah.

Aku mulai memasang iklan online dan membagikan kartu nama kepada orang kukenal yang diterima dengan perasaan setengah hati. Rasa tidak percaya diri terus membayangi langkahku namun aku harus kuat untuk terus mencari biaya pengobatan Mamahku yang bertinggal di Rumah Sakit. Mamahku mengalami depresi berat yang membutuhkan pengawasan dokter. Tekanan ekonomi menyebabkan aku kehilangan semangat dan nyaris mengakhiri hidupku karena kondisiku pasca kebakaran telah menghilangkan pelangganku satu per satu. Sungguh hidup terasa sangat mencekam jika bertinggal di kota besar seperti kondisiku saat ini. Setelah sekian lama menganggur, di suatu pagi ponselku berdering, tampaknya dari klien pertama. Dia membutuhkan jasaku untuk merias almarhumah Ibunya dan berjanji mengirimkan mobil jemputan setelah aku share lokasi rumahku. Setelah biaya disepakati, aku segera menyiapkan semua peralatan tempurku di dalam satu koper dan menunggu datangnya jemputan. Mobil mewah yang menjemputku melaju membelah jalan yang masih lengang di hari Minggu pagi. Tanpa terasa mobil memasuki sebuah perumahan mewah dan berhenti di sebuah rumah besar model Italy dengan pagar menjulang tinggi meredam hiruk pikuk kota.

Kedatanganku disambut oleh dua orang ART yang berdiri di pintu masuk. Rumah itu besar, megah namun mendirikan bulu kuduk karena kulihat beberapa sudut gelap berbau mistis. Aroma kegelapan bercampur duka menguar sangat tajam dari dalam rumah. Aku mengikuti langkah para ART menuju ke sebuah kamar dengan perabot antik nan mewah. Di dalam sebuah peti mati kayu berukir, terbaring jenazah seorang nenek bertampang seram mirip Mak Lampir. Kulihat dua orang perempuan, seorang bertubuh gemuk berwajah menyenangkan duduk menangis di samping jenazah,  seorang lagi berwajah tirus berdiri di dekat jendela. Si wajah tirus memandangku sinis. Tampangnya bagaikan algojo yang akan mengeksekusi diriku. Seketika rasa percaya diriku jatuh berserakan ke atas lantai marmer.

"Mbak kerjanya yang bener, Ibu kami harus tampil secantik-cantiknya," kudengar lengkingan suara perempuan wajah tirus sedang memegang cangkir kopi. Dia menyeruput isi cangkir dengan pandangan jijik dan meremehkan kehadiranku. Aku bergidik dan merapatkan phasmina hitam yang kupakai untuk menutup wajahku. Si wajah tirus memandang perempuan yang menangis di dekat jenazah.

"Dinda, kamu harus bertanggung jawab jika Ibu tampil jelek. Ini idemu memanggil MUA buruk rupa. Aku yakin, pasti hasil dandanannya mirip wajah yang merias," suaranya menggelegar terdengar mengancam.

"Tenang saja Kak. Mbak Dewi adalah MUA professional, dia pasti memberikan yang terbaik untuk kita," perempuan itu menjawab sambil mengusap air matanya.

"Oh iya, saya Dinda dan itu kakakku Sita. Kami anak almarhumah Ibu Henny," perempuan gemuk itu tersenyum menjabat tanganku. Kulihat Sita membuang mukanya dari kejauhan.

"Silahkan bekerja Mbak, kami ada di ruang depan jika Mbak butuh sesuatu," Dinda menggandeng tangan kakaknya untuk keluar dari kamar.

Aku memandang jenazah perempuan tua bernama Ibu Henny yang terbujur kaku. Bibir tipisnya sedikit terbuka, wajahnya bentuk persegi dengan garis rahang keras mencerminkan wataknya. Dia memakai baju brokat warna ivory yang mahal harganya. Telinganya memakai anting mutiara. Aku memandang wajah klienku dalam tidur abadinya. Tiba-tiba kurasakan buku kudukku meremang dan aku membaca doa sebelum mulai bekerja. Tanganku bergetar saat mempersiapkan berbagai alat tempur dari dalam kotak rias.

"Bu Henny, namaku Dewi. Aku mohon izin merias wajah Ibu secantik-cantiknya hari ini, semoga Ibu berkenan adanya. Mohon kerjasamanya ya Bu," aku menyapa jenazah itu sebelum mulai bekerja. Jujur saja, ini pertama kali aku berurusan dengan jenazah dan sudah sangat banyak 'cerita seram' yang kudengar tentang profesi ini.

Apa yang harus kulakukan jika mata dan mulut jenazah tiba-tiba terbuka saat sedang kurias?

Bagaimana jika jenazah ini tiba-tiba bangun dan mencekik leherku?

Bagaimanakah reaksi keluarga dan sahabat almarhumah jika hasil riasanku sangat jelek?

Kukuatkan hatiku untuk mengalahkan ketakutan yang datang mendera batinku. Pikiranku kalut, aku harus segera mendapat uang untuk membeli obat penenang Mamah yang telah habis beberapa hari lalu. Aku yakin inilah jalan terbaik dari Tuhan untuk membukakan rezeki untukku.

Aku mulai membersihkan wajah Bu Henny dan kuoleskan alas bedak sesuai dengan warna kulitnya. Spons, pinsil alis dan kuas lipstik bersenandung mengukir keindahan di wajah jenazah itu. Kurapikan bibirnya dan kuoleskan lipstik warna pink sakura. Tanpa terasa tiga jam telah berlalu dan riasan Bu Henny telah selesai. Aku berjalan perlahan membuka pintu kamar. Kulihat kursi, meja dan rangkaian bunga ucapan belasungkawa telah tertata rapi. Dinda melihatku dari kejauhan dan berjalan cepat menghampiriku.

"Ibu sudah selesai dandan?" aku mengangguk mendengar pertanyaan Dinda. Dengan cepat dia mengajakku masuk ke dalam kamar.

"Wow...luar biasa Mbak, Ibu terlihat sangat cantik dengan warna lipstik itu. Tahu aja nih warna lipstik kesukaan Ibu," Dinda terpekik sangat senang melihat hasil riasan ibunya. Wajah Mak Lampir hilang total berganti dengan perempuan berwajah lemah lembut penuh kasih sayang. Perempuan bertubuh subur itu memelukku penuh kegembiraan.

"Ada apa ribut-ribut di sini?" perempuan bernama Sita bergegas masuk ke dalam kamar saat mendengar pekikan adiknya.   

"Sini Kak, lihat nih penampilan Ibu, luar biasa kan?"

"Ibu..." gumamnya tidak percaya. Kulihat Sita terperanjat, dia pangling melihat penampilan almarhumah ibunya. Perempuan berwajah tirus itu menggigit bibirnya dan berlari keluar kamar.

"Aku pamit dulu," kubenahi kotak riasku dan membuang tisu bekas ke tong sampah yang berada di dekat ranjang. Aku menyentuh tangan jenazah dan mengucapkan terima kasih kerjasamanya melancarkan pekerjaanku.

"Oh iya Mbak Dewi, terima kasih servisnya. Kami sangat puas melihat penampilan Ibu," Dinda mengangsurkan sebuah amplop ke tanganku. Aku mengucapkan terima kasih dan segera meninggalkan rumah duka yang mulai didatangi banyak pelayat.

Beberapa hari kemudian, aku mendapat panggilan via telepon dari Dinda, putri almarhumah Bu Henny.

"Terima kasih banyak Mbak Dewi, pemakaman Ibu sungguh luar biasa. Semua orang memuji tampilan almarhumah yang cantik rupawan."

"Alhamdulillah, saya senang mendengarnya," hatiku jejerit bahagia mendengar apresiasi pelangganku.

"Sebagai tanda terima kasih dari keluarga, saya sudah transfer uang bonus untuk Mbak. Silahkan cek rekeningnya. Mohon maaf sebelumnya, saya sudah share nomor kontak Mbak ke grup keluarga, siapa tahu mereka butuh jasa Mbak di kemudian hari."

"Terima kasih banyak perhatiannya," aku tertawa gembira membayangkan bonus hasil jerih payahku dapat dinikmati oleh Mamah yang masih berada di Rumah Sakit. Aku berniat mengunjungi Mamah hari ini membawa kue bolu sprite kesukaannya. Kututup pembicaraan dengan hati riang. Rezeki kehidupan seluas lautan dan kamu harus berusaha  memperolehnya dengan bekerja keras (srn).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun