Mohon tunggu...
Sri NurAminah
Sri NurAminah Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer

I am entomologist, I believe my fingers, https://www.aminahsrilink.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Diary Perias Jenazah

29 September 2024   19:16 Diperbarui: 29 September 2024   19:21 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Imah terhenyak kaget, tidak menyangka kata-katanya telah melukai hatiku begitu dalam.

"Astaga, maafkan aku Wi," wajahnya tampak penuh penyesalan.

"Lupakan saja pembicaraan kita barusan," segera kutinggalkan Imah dan masuk mengunci diri dalam kamarku. Hatiku sakit sekali mendengar kata-kata Imah.

Aku mulai memasang iklan online dan membagikan kartu nama kepada orang kukenal yang diterima dengan perasaan setengah hati. Rasa tidak percaya diri terus membayangi langkahku namun aku harus kuat untuk terus mencari biaya pengobatan Mamahku yang bertinggal di Rumah Sakit. Mamahku mengalami depresi berat yang membutuhkan pengawasan dokter. Tekanan ekonomi menyebabkan aku kehilangan semangat dan nyaris mengakhiri hidupku karena kondisiku pasca kebakaran telah menghilangkan pelangganku satu per satu. Sungguh hidup terasa sangat mencekam jika bertinggal di kota besar seperti kondisiku saat ini. Setelah sekian lama menganggur, di suatu pagi ponselku berdering, tampaknya dari klien pertama. Dia membutuhkan jasaku untuk merias almarhumah Ibunya dan berjanji mengirimkan mobil jemputan setelah aku share lokasi rumahku. Setelah biaya disepakati, aku segera menyiapkan semua peralatan tempurku di dalam satu koper dan menunggu datangnya jemputan. Mobil mewah yang menjemputku melaju membelah jalan yang masih lengang di hari Minggu pagi. Tanpa terasa mobil memasuki sebuah perumahan mewah dan berhenti di sebuah rumah besar model Italy dengan pagar menjulang tinggi meredam hiruk pikuk kota.

Kedatanganku disambut oleh dua orang ART yang berdiri di pintu masuk. Rumah itu besar, megah namun mendirikan bulu kuduk karena kulihat beberapa sudut gelap berbau mistis. Aroma kegelapan bercampur duka menguar sangat tajam dari dalam rumah. Aku mengikuti langkah para ART menuju ke sebuah kamar dengan perabot antik nan mewah. Di dalam sebuah peti mati kayu berukir, terbaring jenazah seorang nenek bertampang seram mirip Mak Lampir. Kulihat dua orang perempuan, seorang bertubuh gemuk berwajah menyenangkan duduk menangis di samping jenazah,  seorang lagi berwajah tirus berdiri di dekat jendela. Si wajah tirus memandangku sinis. Tampangnya bagaikan algojo yang akan mengeksekusi diriku. Seketika rasa percaya diriku jatuh berserakan ke atas lantai marmer.

"Mbak kerjanya yang bener, Ibu kami harus tampil secantik-cantiknya," kudengar lengkingan suara perempuan wajah tirus sedang memegang cangkir kopi. Dia menyeruput isi cangkir dengan pandangan jijik dan meremehkan kehadiranku. Aku bergidik dan merapatkan phasmina hitam yang kupakai untuk menutup wajahku. Si wajah tirus memandang perempuan yang menangis di dekat jenazah.

"Dinda, kamu harus bertanggung jawab jika Ibu tampil jelek. Ini idemu memanggil MUA buruk rupa. Aku yakin, pasti hasil dandanannya mirip wajah yang merias," suaranya menggelegar terdengar mengancam.

"Tenang saja Kak. Mbak Dewi adalah MUA professional, dia pasti memberikan yang terbaik untuk kita," perempuan itu menjawab sambil mengusap air matanya.

"Oh iya, saya Dinda dan itu kakakku Sita. Kami anak almarhumah Ibu Henny," perempuan gemuk itu tersenyum menjabat tanganku. Kulihat Sita membuang mukanya dari kejauhan.

"Silahkan bekerja Mbak, kami ada di ruang depan jika Mbak butuh sesuatu," Dinda menggandeng tangan kakaknya untuk keluar dari kamar.

Aku memandang jenazah perempuan tua bernama Ibu Henny yang terbujur kaku. Bibir tipisnya sedikit terbuka, wajahnya bentuk persegi dengan garis rahang keras mencerminkan wataknya. Dia memakai baju brokat warna ivory yang mahal harganya. Telinganya memakai anting mutiara. Aku memandang wajah klienku dalam tidur abadinya. Tiba-tiba kurasakan buku kudukku meremang dan aku membaca doa sebelum mulai bekerja. Tanganku bergetar saat mempersiapkan berbagai alat tempur dari dalam kotak rias.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun