Angin dingin bertiup sangat kencang serasa meremukkan belulang. Lelaki itu berjanji menemuiku di sini, di tepi jalan dekat hutan seperti yang disampaikannya lewat ponselku dua hari yang lalu. Gerimis mulai turun, aku kelabakan mencari tempat berteduh supaya badanku tidak basah terkena air hujan.
Ingatanku melayang, mengingat kejadian beberapa bulan lalu yang membuat darahku menggelegak sampai ke ubun-ubun. Disini, di tepi jalan ini aku bertemu seorang bocah lelaki berbaju merah, senada dengan jaring serangga yang dibawanya. Badannya gemuk, dia membawa sebuah kantong plastik berwarna hitam. Di belakangnya mengikut beberapa orang anak lelaki bertubuh lebih kecil. Tampaknya anak lelaki gemuk itu adalah pimpinan kelompok. Saat aku menyapanya, bocah lelaki dan kawanannya berlari ketakutan bagai melihat kuntilanak di siang bolong. Mereka tunggang langgang dan menghilang tanpa bekas ke dalam rimbunan semak tepi jalan. Aku mengepalkan tangan kuat-kuat, tidak salah lagi mereka inilah kacung Pak Mane, pemilik toko cendera mata. Menurut cerita yang kudengar, Pak Mane membeli sekantong kupu-kupu berbagai jenis seharga seribu rupiah dan menjualnya kepada pengunjung berkali-kali lipat harganya dalam bentuk awetan kupu-kupu kering. Para bocah yang belum mengenal kejahatan dunia tentu sangat senang menerima lembaran rupiah untuk membeli aneka jajanan. Malah mereka diiming-imingi bakal diberikan uang pembeli sepeda  jika mampu menangkap kupu-kupu jenis langka yang mereka lihat fotonya dalam buku saku milik lelaki paruh baya itu. Di zaman sulit seperti ini, siapa yang tidak tergiur dengan lambaian lembar rupiah di depan hidung.
Dapat kamu bayangkan, betapa berbahayanya doktrin berlandaskan lembaran rupiah yang ditujukan kepada anak-anak di bawah umur. Bagaimana nasib kupu-kupu Bantimurung jika semua anak telah dicuci otaknya oleh Pak Mane supaya menangkap serangga itu dengan berbagai cara. Kamu pasti menangis jika melihat drama mereka mengeksekusi kupu-kupu buruannya. Serangga cantik nan gemulai itu dihilangkan nyawanya dengan cara ditusuk bagian dadanya memakai jarum pentul dan sayap lemahnya ditindih batu. Serangga malang itu dijemur sampai mati di bawah terik matahari. Setelah itu kupu-kupu dimasukkan ke dalam plastik bening untuk dijual kepada wisatawan pengunjung Bantimurung. Lambungku berontak hebat, air mataku berlinang membayangkan kekejaman itu terjadi secara terus menerus. Tidak ada yang mampu menghentikan kedzoliman yang mengantarkan pundi-pundi rupiah kepada pelakunya. Sebagai peneliti kupu-kupu, aku tidak mau serangga yang telah kupelihara dengan susah payah menjadi korban kebiadaban pemburu liar yang berkeliaran menabur horor di tempatku bekerja.
Sebuah motor berwarna hitam berhenti di hadapanku. Pengendaranya seorang lelaki kekar berkulit sawo matang dan membawa ransel. Langkahnya tegap menenteng helmnya sambil memamerkan senyum manisnya padaku.
"Sudah lama menunggu disini?" sapanya ramah. Aku mengangguk lemah, kurasakan kepalaku nyut-nyut setelah seharian mendata jenis kupu-kupu yang bermukim di hutan Karaenta. Di dalam mencapai validitas data, aku harus berjuang berebut space dengan monyet hitam endemik yang menjadi penguasa tunggal di tempat itu.
"Sebelum ke sini, aku mampir dulu ke tempat Astrid mengantarkan sampel serasah yang dimintanya kemarin. Untunglah hari ini tidak hujan sehingga aku bawakan sekarung sampel yang masih fresh."
Jleb...hatiku sontak beku mendengar nama Astrid disebut oleh Ilham si lelaki pengendara motor. Tiba-tiba kurasakan bulir panas yang tidak dapat kujelaskan darimana muasalnya saat kudengar nama Astrid. Batinku jejeritan menumpahkan kesal. Ada apa denganmu Mega? Mengapa kamu begitu kesal mendengar nama Astrid disebut oleh Ilham?
Suasana kaku merangkul kami seiring bergeraknya matahari menuju ke ufuk barat.
"Kakak akan mengantarku pulang?" tanyaku ragu. Sepasang bola mata hitam legam itu langsung memandangku bingung.
"Iyalah...sesuai janjiku kemarin, aku antar sampai ke rumahmu. Aku mau minta restu Mamakmu supaya diriku menjadi guardian angel putrinya yang rupawan."
Pipiku sontak memerah mendengar kata rupawan terlontar dari mulut lelaki yang telah lama kukagumi secara diam-diam.
"Kalau mendaftar jadi guardian angel, aku no comment ya Kak. Hal itu tergantung Mamak yang mengeluarkan surat izin berkunjung untukmu."
Ilham tertawa kecil, terdengar sangat renyah di gendang telingaku.
"Kamu masih polos seperti dulu, itulah yang membuat aku selalu merindu dan membayangkan kita duduk bersama di pelaminan."
Kembali hatiku dag dig dug tidak karuan.
"Rasanya tidak mungkin hal itu terjadi, apa kata Astrid nantinya," aku mengambil sikap tegas. Tanpa kuduga meledaklah tawa lelaki yang kupanggil Kak Ilham. Bahunya terguncang hebat, disentuhnya ubun-ubunku yang terlindung topi lebar.
"Kamu cemburu pada Astrid ya?"
"Siapa bilang aku cemburu?"
Pernyataan itu malah menggiringku ke dalam opini tidak bertuan. Aku dan Astrid sama-sama ikut kelompok peminat kupu-kupu dengan Ilham sebagai mentornya. Kegiatan riset di organisasi itu menyebabkan hubungan kami bertiga begitu dekat. Aku tidak menahu pasti perasaan Astrid terhadap mentor kami karena Ilham memang supel dan mudah akrab dengan siapapun.
Semakin lama aku menjadi salah tingkah, kurasakan kuku jariku menancap erat di tongkat jaring serangga yang kupegang. Cintaku kepada kupu-kupu Bantimurung telah menorehkan banyak kenangan indah bersama Ilham. Segera pikiran jahat itu kubuang sejauh-jauhnya.
"Bagaimana Mega, kamu mau kan jadi pacarku?"
Kalimat edan dari mulut Ilham terasa bagaikan ledakan petir di siang bolong namun kutahan diriku dalam diam seribu bahasa. Tiba-tiba...
"Itu Kak, kupu-kupunya terbang ke arah hutan. Aku menunjuk seekor kupu-kupu besar berwarna hitam dengan bercak kuning pada sayapnya."
"Tunggui aku disini..."
Lelaki perkasa itu segera berlari mengejar kupu-kupu yang kulihat. Dia mengayunkan jaringnya dan berhasil menangkap seekor kupu-kupu di dalamnya. Aku terpukau melihat gerakan indah Ilham saat menangkap kupu-kupu. Begitu luwes dalam pandangan mataku.
"Jangan bengong saja, ambil kupu-kupunya, ntar keburu rusak sayapnya."
"Itu apa Kak?" aku menunjuk sebuah kantong plastik di tangan Ilham.
"Aku dapat gundukan serasah baru untuk Astrid saat menegejar si cantik ini. Lumayanlah menambah koleksi fauna tanah yang dicarinya."
Aku kembali mendengus kesal. Dengan kasar kumasukkan kupu-kupu itu ke dalam killing bottle berisi kapas beralkohol.Â
"Kamu kenapa sih? Dari tadi monyong saja kalau kusebut nama Astrid. Jangan-jangan kamu..."
"Aku kurang nyaman mendengar nama Astrid selalu disebut setiap kali kita ketemu."
"Astrid kan temanmu, dia bukan siapa-siapaku loh."
"Sebaiknya Kak Ilham jangan lagi datang menjemputku karena Astrid pasti butuh bantuanmu," aku berjalan menjauh meninggalkan pemuda itu yang kebingungan melihat tingkahku.
"Justru aku ke sini karena kuatir melihatmu berurusan dengan kupu-kupu yang berada di sarang monyet. Jangan sampai kamu diserang monyet kelaparan atau monyet nifas. Kamu menahu bahayanya ketemu monyet baru beranak? Nanti tubuhmu habis dikunyah induk monyet kelaparan. Mau?"
Aku terperangah, isi otakku yang tercemar polusi cemburu sungguh di luar nalar.
"Kamu tahu, Astrid atau siapapun tidak pernah menyuruhku menjemputmu. Aku datang karena aku care padamu. Hutan ini penuh bahaya tidak terduga. Kamu mengerti maksudku kan?"
"Bagaimana dengan Astrid? Tampaknya dia juga menyukaimu," aku mempertegas kehadiran Astrid di antara kami. Ilham meringis sambil menghembuskan nafasnya.
"Bagaimana kamu menahu Astrid menyukaiku. Dia sudah punya pacar ahli serangga dari Inggris. Â Tampaknya sahabatmu itu kurang ngeh dengan produk lokal," Ilham tertawa kencang tanpa beban.
"Hayolah Meg, selain Astrid, apa lagi yang membuat kamu cemburu?"
Aku tersenyum masam mendengar komentar tandasnya.
"Awas ya, kamu jangan membuat kabar hoax tentang Astrid, aku marah nih," ancamku sambil membelalakkan mata. Cowok itu tidak gentar, malah semakin keras tertawa melihat tingkahku.
"Kamu terlalu serius jadi orang. Ayolah kita pulang, semoga perjalanan lancar menuju ke Makassar. Aku paling benci berurusan dengan truk kontainer yang melintas di tempat ini." Ilham melihat arloji di pergelangan tangannya, dilihatnya sekilas ke langit yang bakal melabuhkan awan gelap. Diperbaikinya posisi jaring serangga dan kotak plastik berisi sampel kupu-kupu yang sudah nangkring di atas motornya.
"Sini kuantar kamu pulang sebelum hujan turun," terdengar suara petir menggelegar di kejauhan.
Aku naik ke atas sadel motor dengan perasaan campur aduk bagaikan permen nano-nano. Ilham mengancing tali helmku dan membunyikan kendaraannya. Terdengar suara menderu dari knalpot.
"Kamu tidak perlu kuatir, perjalanan ini gratis. Jika kamu mau bersedekah, aku tidak menolak ajakan minum secangkir kopi panas buatanmu jika kita telah tiba di tujuan. Boleh kan?"
Aku tersenyum malu dan membuang muka ke angkasa. Air mataku menetes, hatiku sungguh berbunga-bunga mendengar request secangkir kopi panas. Ilham merapatkan tanganku di pinggangnya. Motor melaju, meninggalkan debu kegalauanku di jalan poros Maros menuju Makassar (srn).
Bionarasi:Â Sri Nur Aminah, seorang perempuan yang senang traveling dan belajar tentang serangga. Jika ingin mengenalnya lebih dekat, silahkan berkunjung ke IG srifirnas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H