"Kamu ini benar-benar keras kepala. Masyarakat Kampung Duri sangat membenci burung hantu karena dianggap burung pembawa penyakit, kabar kematian. Kamu sudah lupa saat rombongan Mak Onah mendatangi rumah kita beberapa malam yang lalu? Seandainya mereka kalap, pasti rumah kita dibakarnya."
"Masya Allah, apakah Bapak tetap percaya dengan  mitos zaman dahulu? Menurut hasil penelitianku, burung hantu yang paling bagus mengendalikan tikus hama dan pastinya ramah lingkungan. Cukup dibuatkan rumah di kebun kelapa sawit, mereka akan mencari sendiri tikus hama yang merusak tanaman.  Aku yakin kinerja Papabur dan pasangannya  mampu menyelamatkan hasil panen di kebun kita."
Muka Pak Abidin merengut melihat anaknya yang sibuk memberikan pencerahan tentang pengendalian tikus hama secara ramah lingkungan memakai burung hantu.
"Kalau saat ini kita kendalikan tikus hama memakai burung hantu, gerombolan tikus hama tidak akan menyerang kebun kelapa sawit kita termasuk tetangga kebun juga mendapatkan manfaatnya. Lihatlah Pak, ini  adalah sisa tikus hama yang dimakan oleh Papabur, sengaja aku kumpulkan untuk kumasukkan dalam catatanku," Rahmat menunjukkan isi kantong kresek yang dipegangnya. Pak Abidin melompat kaget mencium bau busuk berasal dari isi kantong itu.
"Bagaimana kalau ada orang jahat yang  membunuh burung hantumu?" wajah Pak Abidin terlihat cemas. Sudah terbayang kemungkinan adanya oknum yang terganggu dan menginginkan kematian burung pembawa sial itu. Keberhasilan Papabur berpotensi menimbulkan konflik dengan penjual  gula-gula tikus yang gencar berpromosi  di Kampung Duri.
"Insya Allah, Tuhan akan selalu melindungi burung hantu ini."
Sayangnya niat baik Rahmat mengendalikan tikus hama yang menyerang kebun bapaknya tidak sejalan dengan pemikiran  segelintir orang yang merasa bisnisnya terancam. Respon masyarakat yang mengalami ketakutan luar biasa karena burung hantu telah dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggung jawab. Mereka gencar meniupkan kabar bohong tentang burung hantu kepada masyarakat Kampung Duri. Melihat kegigihan Rahmat, pemilik kios pertanian dan pemasok  rodentisida sepakat membinasakan burung pemangsa itu dengan menembaknya.Â
Mereka merakit senapan angin dan berniat mengakhiri burung hantu  itu secepatnya. Komplotan ini menyebar berita ke masyarakat bahwa bunyi burung hantu identik dengan adanya kematian beruntun yang menimpa warga Kampung Duri. Sontak kabar ini mengguncang ketenangan seisi kampung, bagaikan sarang lebah yang dipukul tongkat. Semua orang sibuk memasang telinga setiap malam untuk mendengar suara para pemburu senyap itu.  Â
Akhirnya di suatu pagi yang dingin.Â
Saat Rahmat pergi memantau rumah burung hantunya, dilihatnya Papabur tewas menggeletak di tanah. Di mulutnya terdapat seekor tikus gemuk. Tampaknya burung hantu yang mempunyai nama ilmiah Tyto alba tidak sempat menyelesaikan santap malamnya karena keburu diterjang timah panas yang bersarang di dada dan perutnya.  Rahmat menengok ke dalam rumah Papabur dengan memakai tangga yang tergeletak di tanah. Kandangnya kosong, tidak ada tanda kehadiran Mamabur disana.  Pemuda berkaca mata ini mendesah sangat kecewa bercampur sedih. Musnah impiannya mengamankan kebun bapaknya dengan merealisasikan hasil penelitiannya.Â
Dari kejauhan dilihatnya Pak Abidin berjalan menghampirinya.Â