Mohon tunggu...
Sri NurAminah
Sri NurAminah Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer

I am entomologist. I believe my fingers...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pahlawan Keluarga

1 Agustus 2023   19:18 Diperbarui: 1 Agustus 2023   19:25 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah panggung kayu di dekat sawah (Sri NurAminah, 2020)

Ribli si penyandang disabilitas adalah anak petani  yang bertinggal di Kampung Duri. Walaupun terlahir cacat, Ribli pandai berhitung dan suaranya sangat merdu saat melantunkan ayat suci Al Qur'an. Rumah panggung  kayu yang ditempati keluarga Ribli juga menyulitkan mobilitas sang anak. Untunglah Ribli mempunyai sahabat bernama Mail yang bertinggal di sebelah rumahnya. Secara sukarela Mail selalu menggendong Ribli kemanapun dia pergi. Hal ini sangat menolong mobilitas Ribli naik turun tangga karena rumah panggung kayu merupakan hunian dominan di  kampung itu.

Selain kesulitan berjalan, Ribli harus berlapang dada mengatasi perundungan orang yang tidak menyukai kehadirannya.

"Tampaknya saat hamil, Mak Ribli tidak kesampaian icip-icip makanan yang diidamkannya, makanya lahir anak yang seperti itu tuh," Mak Odah memandang sinis kepada Ribli. Dia mengusap bongkahan gondok yang menggelantung di lehernya. Beberapa pasang mata  ibu lainnya yang berada dekat Mak Odah segera melihat Ribli yang digendong Mail dari kejauhan.

"Iya benar. Kita beranak untuk dilayani anak, bukan untuk dibikin susah. Jadi beban saja kalau seperti Ribli modelnya."

"Saya setuju, kita butuh anak yang sehat jasmani supaya mampu merawat kita di hari tua. Hayo Nak, kamu harus banyak makan, kalau malas makan nanti kakinya bengkok seperti Ribli," seorang ibu lain menakut-nakuti anaknya  yang ogah membuka mulut saat disuapi makanan. Ibu itu menunjuk Ribli yang melintas di depan tangga kayu yang menjadi tempat ngerumpi para ibu kala sore hari.

"Makanya kalau miskin jangan ngidam macam-macam, makan saja nasi jagung dan minum air yang banyak kalau seret di kerongkongan," sambung ibu lainnya yang disambung gelak tawa membahana.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Ribli lahir dengan kaki yang tidak sempurna sehingga tidak dapat digunakan untuk berjalan. Masyarakat berpendidikan rendah di lingkungan tempat tinggal Ribli tampaknya percaya benar dia cacat gegara ibunya yang mengalami ngidam tidak kesampaian. Kampung Duri tempat Ribli dilahirkan sepuluh tahun yang silam adalah daerah pegunungan tandus. Penduduknya dominan makan nasi jagung, sayur daun ubi, lauk ikan kering dan sambal terasi. Secara logika, kampung Duri yang terletak di daerah dataran tinggi memang rawan mengalami kekurangan yodium.  

Hal ini dapat dilihat pada performa penduduknya banyak yang menderita gondok. Bahkan ada beberapa ibu penderita penyakit gondok yang ikut membully Ribli.  Protein hewani berasal dari ikan laut merupakan makanan sangat mahal di Kampung Duri karena harus dipesan dari daerah lain yang punya sumber daya bahari. Ikan mas atau mujair yang menjadi penghuni air tawar juga sulit diperoleh. Pasar yang hanya buka dua kali dalam seminggu menjajakan sayuran lokal dengan harga yang dapat dinegosiasi.

Sebaliknya kebutuhan rumah tangga lainnya yang termasuk langka dijual dengan harga selangit. Pendapatan rendah menyebabkan kebutuhan itu tidak terbeli.  Inilah alasan mengapa banyak ibu memilih membuat sendiri minyak kelapa yang berasal dari hasil kebunnya.  

Petani yang mempunyai sapi atau kerbau juga membuat keju tradisional dari susu untuk memenuhi protein keluarganya. Kampung Duri memang daerah miskin yang masuk dalam black list prioritas Pemerintah lokal. Banyak tenaga guru honorer menolak ditempatkan bekerja disitu karena sulitnya transportasi, kurangnya air bersih dan keterbatasan pasokan listrik untuk digunakan masyarakat. Inilah sisi kelam dari negeri gemah ripah loh jinawi yang terlihat bagaikan zamrud khatulistiwa dari luar angkasa.

Siang nan terik di awal bulan Agustus.

"Mak, saya mau ikut lomba baca Al Qur'an, tidak dipungut biaya. Ada hadiahnya uang, lumayan untuk tambahan beli keperluan dik Ramlah," Ribli memandang adik perempuannya yang tertidur lelap di atas tilam lusuh.

"Kalau ada sisa uangnya, Mak harus membeli mukenah baru dan sajadah. Pakailah kedua barang itu kalau Mak pergi solat jamaah ke masjid. Ribli mohon maaf selama ini sudah menyulitkan hidup Mak."

Mak Ribli meneteskan air mata. Perempuan berwajah keriput menua karena beban hidup dan deraan penyakit asthma itu memandang anaknya penuh haru. Sejak kematian suaminya dalam kecelakaan lalu lintas, beban hidupnya bertambah berat karena keterbatasan tenaganya dalam menggarap kebun. Selama ini almarhum suaminya yang mengelola kebun dan menafkahi keluarganya sebagai kuli angkut. Tidak dapat dipungkiri bahwa kekuatan fisik sangat dibutuhkan dalam mengolah tanah, memupuk, menanam benih, menyiangi tumbuhan liar dan merawat tanaman sampai panen. Adanya serangga perusak tanaman juga harus segera dikendalikan karena berpotensi menyebabkan gagal panen.

"Jadi Ribli boleh ikut lomba baca Al Qur'an?"

"Boleh."

"Nanti Mail yang mengantar Ribli."

"Kalau kamu menang, uangnya dibagi juga untuk Mail."

"Itu sudah kupikirkan jauh hari sebelumnya. Terima kasih izinnya Mak."

Tibalah hari lomba 17 Agustus.

Ribli yang telah berlatih keras dibawah bimbingan Ustadz Naim merasa sangat percaya diri untuk menunjukkan kepiawaiannya membaca Al Qur'an. Mereka berangkat bertiga menuju ke Balai Desa tempat lomba diadakan. Tidak disangka rombongan ibu dan anaknya yang suka membully Ribli juga ada disana. Mereka meneriakkan yelyel yang menyakitkan hati untuk menghina Ribli.

"Permisi Bu...mohon kami diberi jalan," sapa Ustadz Naim dengan sopan.

"Pak Ustadz, buang waktu saja mengikutkan lomba anak cacat seperti Ribli. Pasti tidak akan dapat juara. Mana jaminannya kalau anak itu punya suara yang bagus?"

Berbagai kalimat perundungan ramai terdengar, namun Ustadz Naim tetap dengan santun meminta masyarakat membuka jalan untuk Ribli dan Mail menuju ke meja registrasi.

Lomba berlangsung dengan khidmat. Ribli mendapat kesempatan paling terakhir tampil karena Panitia memainkan politik tebang pilih. Ustadz Naim menguatkan hati Ribli dan memberikan keyakinan bahwa Ribli pasti mampu melakukan yang terbaik. Akhirnya Ribli mendapat kesempatan. Suaranya berkumandang sangat indah, jernih dan memberi kesejukan pada pendengar lantunan ayat-ayat suci tersebut. 

Beberapa orang ibu yang duduk di bagian depan meneteskan air mata. Suara bening Ribli menyentuh lubuk hati mereka yang paling dalam. Ustadz Naim menggigit rahangnya kuat-kuat, pelupuk matanya basah. Tidak disangka bahwa Ribli mampu melantunkan ayat yang demikian indah didengar telinga. Asma memuji kebesaran Allah Subhana Wa Ta'ala. Ribli berhasil menyabet gelar juara pertama. Ketiga juri dibuat takjub dan semuanya memberikan nilai seratus. Salah satu dari Dewan Juri adalah pemilik pesantren di kota. Ribli ketiban durian runtuh. Pemilik pesantren meminang Ribli menjadi santrinya dan bersedia menanggung kehidupan ibu dan adiknya yang bertinggal di kampung.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.

Sungguh besar kekuasaan Allah Subhana Wa Ta'ala mengangkat derajat seorang anak disabilitas. Para ibu yang selama ini membully Ribli bungkam,  rezekinya terpotong karena ulahnya yang selalu mencela ciptaan Tuhan (srn). 

#cerpenanak

#pulpen

#sayembarapulpen

Sri Nur Aminah Ngatimin. Dosen Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, peneliti dan pencinta serangga. IG: srifirnas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun