Siang nan terik di awal bulan Agustus.
"Mak, saya mau ikut lomba baca Al Qur'an, tidak dipungut biaya. Ada hadiahnya uang, lumayan untuk tambahan beli keperluan dik Ramlah," Ribli memandang adik perempuannya yang tertidur lelap di atas tilam lusuh.
"Kalau ada sisa uangnya, Mak harus membeli mukenah baru dan sajadah. Pakailah kedua barang itu kalau Mak pergi solat jamaah ke masjid. Ribli mohon maaf selama ini sudah menyulitkan hidup Mak."
Mak Ribli meneteskan air mata. Perempuan berwajah keriput menua karena beban hidup dan deraan penyakit asthma itu memandang anaknya penuh haru. Sejak kematian suaminya dalam kecelakaan lalu lintas, beban hidupnya bertambah berat karena keterbatasan tenaganya dalam menggarap kebun. Selama ini almarhum suaminya yang mengelola kebun dan menafkahi keluarganya sebagai kuli angkut. Tidak dapat dipungkiri bahwa kekuatan fisik sangat dibutuhkan dalam mengolah tanah, memupuk, menanam benih, menyiangi tumbuhan liar dan merawat tanaman sampai panen. Adanya serangga perusak tanaman juga harus segera dikendalikan karena berpotensi menyebabkan gagal panen.
"Jadi Ribli boleh ikut lomba baca Al Qur'an?"
"Boleh."
"Nanti Mail yang mengantar Ribli."
"Kalau kamu menang, uangnya dibagi juga untuk Mail."
"Itu sudah kupikirkan jauh hari sebelumnya. Terima kasih izinnya Mak."
Tibalah hari lomba 17 Agustus.
Ribli yang telah berlatih keras dibawah bimbingan Ustadz Naim merasa sangat percaya diri untuk menunjukkan kepiawaiannya membaca Al Qur'an. Mereka berangkat bertiga menuju ke Balai Desa tempat lomba diadakan. Tidak disangka rombongan ibu dan anaknya yang suka membully Ribli juga ada disana. Mereka meneriakkan yelyel yang menyakitkan hati untuk menghina Ribli.