"Permisi Bu...mohon kami diberi jalan," sapa Ustadz Naim dengan sopan.
"Pak Ustadz, buang waktu saja mengikutkan lomba anak cacat seperti Ribli. Pasti tidak akan dapat juara. Mana jaminannya kalau anak itu punya suara yang bagus?"
Berbagai kalimat perundungan ramai terdengar, namun Ustadz Naim tetap dengan santun meminta masyarakat membuka jalan untuk Ribli dan Mail menuju ke meja registrasi.
Lomba berlangsung dengan khidmat. Ribli mendapat kesempatan paling terakhir tampil karena Panitia memainkan politik tebang pilih. Ustadz Naim menguatkan hati Ribli dan memberikan keyakinan bahwa Ribli pasti mampu melakukan yang terbaik. Akhirnya Ribli mendapat kesempatan. Suaranya berkumandang sangat indah, jernih dan memberi kesejukan pada pendengar lantunan ayat-ayat suci tersebut.Â
Beberapa orang ibu yang duduk di bagian depan meneteskan air mata. Suara bening Ribli menyentuh lubuk hati mereka yang paling dalam. Ustadz Naim menggigit rahangnya kuat-kuat, pelupuk matanya basah. Tidak disangka bahwa Ribli mampu melantunkan ayat yang demikian indah didengar telinga. Asma memuji kebesaran Allah Subhana Wa Ta'ala. Ribli berhasil menyabet gelar juara pertama. Ketiga juri dibuat takjub dan semuanya memberikan nilai seratus. Salah satu dari Dewan Juri adalah pemilik pesantren di kota. Ribli ketiban durian runtuh. Pemilik pesantren meminang Ribli menjadi santrinya dan bersedia menanggung kehidupan ibu dan adiknya yang bertinggal di kampung.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.
Sungguh besar kekuasaan Allah Subhana Wa Ta'ala mengangkat derajat seorang anak disabilitas. Para ibu yang selama ini membully Ribli bungkam, Â rezekinya terpotong karena ulahnya yang selalu mencela ciptaan Tuhan (srn).Â
#cerpenanak
Sri Nur Aminah Ngatimin. Dosen Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, peneliti dan pencinta serangga. IG: srifirnas