Saat pagi hari adalah awal yang tepat untuk memulai berbagai aktivitas. Â Sebagai kegiatan awal biasanya dilakukan breakfast atau sarapan pagi.Â
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah makan pagi atau menyarap adalah makan sesuatu saat pagi hari yang berfungsi sebagai 'alas perut' supaya terhindar dari masuk angin gegara perut kosong.Â
Di dalam lingkup keluarga, breakfast merupakan ajang komunikasi sangat efektif sebelum anggota keluarga menunaikan tugasnya masing-masing.Â
Terkait dengan breakfast, saya ingin berbagi rasa dengan Pembaca saat bertemu kuliner jadul yang lazim tersedia di meja makan masyarakat yang berada di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan.
Di awal bulan Juni 2023, saya bersama rombongan dosen dan pegawai Departemen Hama dan Penyakit, Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin melaksanakan kegiatan community service di Kabupaten Soppeng.Â
Kabupaten Soppeng yang menjadi destinasi community service jaraknya sekitar 160 km dari Kota Makassar. Perjalanan dapat ditempuh melalui darat dengan kendaraan roda dua dan roda empat (pribadi atau sewa/umum).Â
Perjalanan ke Soppeng dapat melalui dua jalur yaitu: via jalan layang Camba (jalan poros Makassar -- Maros -- Soppeng) atau Bulu' Dua (jalan poros Makassar -- Barru -- Soppeng). Jalan melalui Camba memerlukan kelihaian saat mengemudi karena sangat berkelok dengan jurang menganga di bagian kiri dan kanan jalan.Â
Saat masih melakukan penelitian pendidikan doktor, jalanan di daerah Camba menjadi jalur langganan saya menuju ke lokasi penelitian yang berada di hutan Camba.
Saat itu saya menggunakan sepeda motor matic yang hanya memerlukan permainan rem dari daerah ketinggian. Perjalanan menembus belantara saat penelitian saya lakukan selama tiga tahun dengan nyali sangat meluap-luap karena ingin segera menyelesaikan pendidikan tersebut.
Kembali ke cerita perjalanan, mobil rombongan dosen dan pegawai Departemen HPT Â meninggalkan kota Makassar sekitar jam 09.00 wita dan diusahakan tiba di Kabupaten Soppeng sebelum solat Jumat.Â
Perjalanan menuju ke Kabupaten Soppeng terasa menyenangkan karena cuacanya agak mendung. Mobil bis yang saya tumpangi  melewati Bulu' Dua yang menyajikan pemandangan indahnya hamparan gunung karst yang sangat ideal untuk melakukan climbing wall.Â
Saya memandang berkeliling, hanya jejeran rumah panggung kayu dan hamparan sawah nan hijau terlihat di sepanjang jalan. Sekitar jam 11.00 wita, bis yang saya tumpangi memasuki Kota Soppeng.Â
Kota Soppeng identik dengan keberadaan koloni berisi ratusan ekor kelelawar. Terdapat cerita yang beredar di masyarakat Soppeng menyebutkan bahwa rombongan kelelawar itu mencari makan ke tempat lain. Pasti tujuannya ke Kabupaten terdekat yaitu: Â Wajo, Sidrap dan Kabupaten lainnya di luar Soppeng.Â
Tampaknya ada 'hukum tidak tertulis' mengakibatkan kematian untuk kelelawar nekad jika dia merusak buah-buahan di kampungnya sendiri. Saat itu siang hari dan tidak seekorpun kelelawar ditemukan terbang di langit Soppeng  karena mereka hanya aktif di malam hari.Â
Saat bis kami melewati Masjid Raya kota Watan Soppeng, saya melihat semua pohon hijau yang tumbuh di halaman masjid nyaris berwarna hitam dipenuhi kelelawar yang bergelantungan. Tampaknya siang itu para kelelawar sedang 'bobo-bobo siang'. Saya yakin bahwa batin hewan tanpa akal itu juga menyenandungkan pujian untuk Allah Subhana Wa Ta'ala dengan bahasanya sendiri.Â
Tampaknya insting kelelawar sangat tepat memilih pekarangan masjid sebagai meeting point. Inilah zona paling aman untuk berlindung dari kejahilan manusia. Saya merasa gundah karena sopir bis menolak singgah ke tempat kelelawar bergelantungan di halaman masjid. Padahal saya ingin sekali mendokumentasikan  koloni  kelelawar yang sedang leyeh-leyeh di pohon.Â
Perjalanan terus berlanjut menyusuri keramaian kota menuju ke tempat tujuan supaya tiba on time.  Setelah menunaikan tugas community service part 1 (bertemu dengan petani jagung), alhamdulillah ya Allah, terucap dalam hati setelah perjalanan panjang usai. Bis yang saya tumpangi memasuki  tempat parkir hotel Hakata Lejja. Saya segera mencari kunci  kamar untuk menyimpan baju dan bersiap makan malam yang telah terlambat.
Saya membuka lembaran hari Sabtu pagi nan indah di kota Soppeng. Kurang dua menit jam 06.00 pagi waktu Makassar, saya bergabung ke lobby hotel Hakata Lejja.Â
Ini adalah tipikal hotel berinterior Jepang yang sangat mencerminkan rasa kekeluargaan. Ciri khasnya adalah menyajikan makanan tradisional untuk para tamunya.Â
Singkat cerita, pagi nan indah sebelum beraktivitas saya mendapat kejutan manis bertemu rober alias roti berre (berre adalah beras dalam bahasa Bugis) yang masih mengepulkan asap tipis.Â
Sebelum bertemu rober, pikiran saya membayangkan bahwa kuliner ini pasti tidak menarik dan 'membosankan'. Setelah bertemu langsung, amboi...ternyata pertemuannya sungguh indah dan di luar ekspektasi saya. Â
Roti berre atau roti beras merupakan salah satu kuliner jadul yang sudah langka ditemukan di Kota Makassar. Rober terbuat dari pisang sangat matang yang telah diblender sampai halus, dicampur dengan gula pasir, tepung beras, sedikit garam, soda kue dan ragi.Â
Campuran berisi aneka bahan itu dipanggang di atas api kecil menggunakan cetakan kue lumpur yang telah dioles sedikit minyak supaya tidak melekat. Setelah berwarna kecoklatan, rober segera diangkat ke atas piring dan siap disajikan.
Saya melihat sajian tumpukan rober di atas meja ruang tamu. Bau rober fresh from the oven sangat wangi memenuhi udara dan sukses mengguncang saraf perut saya yang spontan minta diisi.Â
Menilik dari bahan pembuatnya, saya menyimpulkan bahwa pisang matang telah memberikan warna cita rasa pancake khas suku Bugis. Rasa rober sangat nikmat, gurih  dan sehat karena tidak berminyak. Bau wangi menyebabkan saya menjadi sangat bersemangat icip-icip rober ini.Â
Cara makannya juga unik, potongan rober dicocol pada gula merah cair (yang enaknya dobel jika larutan gula merah diberikan potongan daging buah durian). Pikiran saya berkecamuk, kuliner lokal dengan rasa seindah ini dalam mulut, pasti tidak kalah jika bersaing dengan kuliner manca negara.Â
Saya sibuk berpikir sambil mengunyah rober dan akhirnya tiba pada satu kesimpulan. Supaya kuliner bernama roti berre ini tetap lestari, sebaiknya Pemerintah Lokal memberdayakan para pembuat rober dengan cara menyajikan jamuan tradisional itu di setiap event.Â
Selain itu diperlukan promosi yang gencar supaya generasi muda lokal dapat mengenal dan berbangga diri dengan kuliner khas yang dimiliki daerahnya.Â
Kurangnya promosi secara profesional dan dukungan dari Pemerintah Lokal menyebabkan tenggelamnya beberapa jenis kuliner khas karena ketidakmampuan bersaing dengan kuliner asing yang merajai pasaran.Â
Kehidupan hedonisme yang saat ini menjadi trend life style di Indonesia, sangat berpotensi menggerus nilai budaya dan otentikasi jenis makanan lokal yang terdapat di dalamnya. Sebagai bangsa yang bermartabat, tugas kita bersama melestarikan aset budaya supaya tidak hilang dimakan waktu (srn).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H