Mohon tunggu...
Sri Sulastri
Sri Sulastri Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Saya adalah seorang guru Bahasa Indonesia di salah satu sekolah swasta di Depok

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Muridku Adalah Guruku

29 Agustus 2024   13:35 Diperbarui: 29 Agustus 2024   13:48 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerita Inspiratif

Perkenalkan namaku Alifah Nurfadillah, sering dipanggil bu Alif. Aku baru saja pindah ke desa ini ikut dengan kedua orang tuaku. Pertama kali berada di desa ini yang kurasakan adalah kedamaian, sejuk dan asri, jauh dari kebisingan kota seperti tempat tinggalku dulu. Orang tuaku ingin pindah karena ingin menghabiskan masa tuanya di sebuah desa yang penuh kenyamanan. Menghindari hiruk pikuk dan kegaduhan di kota metropolitan.

Hari ini adalah hari pertamaku mengajar. Sekolah tempatku mengajar tidak begitu jauh dari rumahku, hanya membutuhkan waktu sekitar 5 menit jalan kaki. Ku awali langkah ini dengan membaca Bismilah, ku bumbui langkahku dengan senyuman, seraya menyapa ibu-ibu yang sedang belanja sayuran.

"Baru pindah ke sini ya Neng" kata ibu berjilbab merah sambil memilih sayuran.

"Ia bu" jawabku sambil tersenyum. "Neng ngajar di Madrasah Nurul Solih ya", sambar ibu-ibu berkerudung hitam.

"Ia bu Alhmdulilah", sahutku. "Oh ia alhmudulilah Madrasah itu lagi kekurangan guru, pas banget Nekng pindah ke sini ya.." sambil tersenyum.

"Oh gitu, ia bu alhmdullah, Maaf sya duluan ya bu, takut telat", ucapku sambil sedikit membungkuk dan tak lupa melempar senyum, "Ia Nekng" jawab ibu2 hampir serempak.

Aku bergumam di dalam hati, masyaalah ramah-ramah sekali ibu-ibu di desa ini. Sambil berjalan aku tak lepas ucapkan syukur, semoga kami tidak salah memilih desa untuk kami tinggali.

Tiba-tiba aku melihat anak perempuan kecil sekitar 10 tahun berseragam sekolah, berdiam diri didekat rumah kecil yang dindingkan masih pagar bambu, semacam gubug. Aku melempar senyuman ke gadis kecil itu, ia pun membalas senyumku. Aku berjalan dan dia masih berdiam diri di sana. Sepertinya sedang menunggu seseorng, mungkin menunggu temannya.

Akhirnya aku pun sampai di sekolah, aku di sambut hangat oleh kepala sekolah dan dewan guru. Kami berbincang-bincang seraya menunggu bel masuk berbunyi. Sebelumnya aku sudah di beritahu bawa aku mengajar di kelas 4B.

Kring....kring.....

Bel berbunyi tandanya proses belajar mengajar di mulai. Aku pun memasuki kelas, menyapa mereka dan berkenalan. Mereka adalah murid yang asyik, lugu, lucu yang penuh semangat. Ternyata anak yang ku lihat tadi berada di kelas ini, dan namanya Syifa. Kami memulai pelajaran dengan suka cita.

Kring.......kring.......kring...

Bel pulang telah berbunyi, waktunya mengakhiri pelajaran. Anak-anak berdoa dan pulang kerumah masing-masing. Aku pun pulang melewati jalan yang sama, aku melihat anak itu lagi, ia berjalan di depanku, aga jauh namun aku bisa melihatnya, yang aku heran ia tidak masuk ke rumah gubuk yang tadi ia berdiam diri. Ia terus berjalan dan belok di tikungan, aku pun tidak memikirkannya.

Keesokan harinya. Aku bergegas untuk mengajar kembali, berjalan kaki dengan senang hati. Lagi-lagi aku melihat anak itu berdiam diri di rumah gubuk itu. Aku melempar senyuman lagi, ia pun membalasnya lagi.

"Yu bareng sama ibu" ujarku. "Makasih bu, ibu duluan aja" ujarnya dengan sopan. "Ya udah Ibu duluan ya" jawabku, aku masih berfikir bahwa ia menunggu kawannya.

Sampai suatu ketika aku bertanya kepada guru yang lain, rumah yang berdinding pagar bambu itu rumah siapa? Karena di desa ini hanya rumah itu satu-satunya yang masih pagar bambu. "Itu rumah Nek Ijah, ia sudah ditinggal anak-anaknya, dia tinggal sebatang kara" jelas rekan guru. "Ia kasihan banget Nek Ijah, anaknya cuma satu-satunya dan pindah ke kota pula, 10 tahun gak di tengokin", sahut guru yang lain menimpali. Deg dadaku sesak, merasa kasihan dengan Nek Ijah itu, lalu kenapa Syifa anak kelasku setiap pagi selalu di depan rumah Nek Ijah? Belum sempat aku bertanya lagi, bel masuk sudah berbunyi.

Akhirnya keesokan harinya aku pergi ke sekolah lebih awal menunggu di semak-semak dekat rumah Nek Ijah, melihat apa yang di lakukan Syifa di sana. Aku menunggu lama, akhirnya Syifa datang, namun sekarang ia hanya melewati rumah Nek Ijah, tidak seperti kemarin berdiam diri di sana seperti menunggu sesuatu. Rasa penasaran pun semakin besar, akhirnya aku niatkan lagi keesokan harinya untuk datang lebih awal lagi.

Pagi telah tiba, aku menunggu kedatangan Syifa kerumah Nek Ijah, sekian lama menunggu akhirnya Syifa pun datang, dan sekarang ia berhenti di depan rumah Nek Ijah, ia tengok ke kanan dan kiri, ada sepeda motor yang melintas, ia tunggu motor itu pergi menjauh terlebih dahulu, setelah jauh ia tengok ke kanan dan ke kiri lagi, sangat sepi, kemudian ia mengucapkan salam ke rumah Nek Ijah.

"Asalamualaikum..... Assamulaiakum....Assalmualaikum Nek Ijah" ucap syifa, akhirnya Nek Ijah pun keluar, ia sudah lanjut usia sekali, umurnya kisaran 80-90 tahun, jalannya sudah membungkuk.

"Waalaikumsalam", jawab Nek Ijah, syifa pun langsung mengeluarkan makanan dari dalam tasnya, dan menyodorkan kantong plastik kecil ke Nek Ijah. Aku tidak tahu pasti isinya apa namun sepertinya 1 buah roti. Nek Ijah menerima dengan senang hati sambil berterima kasih kepada Syifa.

Setelah memberikannya kepada Nek Ijah ia pun langsung bergegas menuju sekolah. Seketika air mataku menggenang, aku terharu, tak mampu berkata apa-apa. Setelah itu aku pun bergegas menuju sekolah. Banyak pertanyaan di benakku, aka ingin jawaban itu.

Bel pulang berbunyi, semua anak sorak sorai bergembira, kami berdoa dan bersiap untuk pulang, ketika satu persatu anak-anak sudah meninggalkan kelas, aku berkata kepada Syifa, "Syifa, sebentar jangan pulang dulu ya", Ia pun mengangguk. Kelas sudah sepi, aku duduk di samping Syifa.

"Tadi ibu lihat syifa ke rumah Nek Ijah, apa Nek Ijah itu saudara Syifa" ia menggelengkan kepala, syifa aga pendiam, jadi mungkin malu untuk berkata-kata. Aku pun membuka suara lagi, "Syifa sering ya ke rumah Nek Ijah?", ia menganggukan kepala. "Syifa di minta orang tua Syiaf untuk kasih makanan ke Nek Ijah?" ia dengan ragu menjawab, aku menunggu jawabannya, "Engga, aku punya roti di rumah, terus aku kasi aja buat Nek Ijah, aku sering liat Ayah sama bunda suka kasih makanan ke Nek Ijah, atau orang lain". Ucapnya polos. "Aku kasihan sama Nek Ijah, jadi klwa ada makanan di rumah aku ke rumah Nek Ijah" aku seperti disambar petir di siang bolong, anak sekecil ini sudah mampu berbagi, apalagi kepada yang tidak mampu. "Orang tua Syifa tau ga Syifa suka kerumah Nek Ijah.?" Tanyaku penasaran. Ia menggelengkan kepala. Aku salut dengannya, di balik kepolosan dan keluguannya ada jiwa malaikat yang melekat. Aku juga salut dengan orang tuanya, yang dapat membentuk anaknya menjadi pribadi dermawan.

Ternyata tingkah laku orang tua sangat berpengaruh kepada anaknya, anak mencontoh setiap tindakan orang tua, ya tidak salah jika pepatah mengatakan madrasah atau pendidikan pertama ialah orang tua. Sejak itu aku dan syifa sering janjian jika ingin ke rumah Nek Ijah. Tidak banyak yang kami berikan, namun semoga dapat membantu Nek Ijah.

                Seseorang yang bergelar guru tidak hanya yang mengajar di sekolah, namun seseorang yang mengajarkan kita tentang sesuatu hal dia pun dapat dikatakan guru. Syifa adalah muridku di sekolah, namun bagiku dia adalah guruku dalam kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun