Mohon tunggu...
Sri Rahayu
Sri Rahayu Mohon Tunggu... Lainnya - Menyukai literasi

Seorang ibu rumah tangga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Oh Ternyata

16 Agustus 2023   12:47 Diperbarui: 16 Agustus 2023   22:35 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini aku pergi sendirian naik kereta ke Surabaya karena ada urusan pekerjaan. Aku nggak pernah naik kereta luar kota jadi ya emang agak bingung dan nanya-nanya orang di stasiun Gambir. Sementara tiket sudah dibelikan sacara online sama anak perempuanku. Jadi aku tingal jalan saja. Mobil kuparkir di stasiun Nambo, rumahku ya sekitar 4 km dari stasiun ini. Naik KRL menuju stasiun Gondangdia terus naik ojek ke Gambir. Kalau KRL Jabodetabek adalah trasnportasi terfavorit bagiku karena jadwalnya on time dan tidak terkendala macet. Tapi ya itu kelemahannya kalau jam-jam masuk atau pulang kerja pasti berjubel, sejauh ini sih nyaman aja. Kayaknya juga nggak di Indonesia saja kalau jam-jam sibuk padat. Di Eropa sekalipun menurut cerita anak saya yang kuliah 4 tahun di sana juga sama kok, angkutan umum akan berjubel pada saat jam sibuk. Top lah bagi pemeintah yang sudah menyediakan jasa KRL hinga sampai sebagus ini serta senyaman ini.

Masuk stasiun Gambir persis orang hilang, bingung nggak tau arah. Sudah lama benget aku nggak ke sini. Secara sekarang stasiunnya sudah sangat bagus. Tanya sana sini akhirnya aku menemukan tempat menunggu kereta tujuan Surabaya. Tidak berapa lama kereta yang ditunggu sudah sampai dan lagi-lagi bingung dengan gerbong sesuai dengan urutan nomernya. Untungnya petugasnya baik-baik dan mau membantuku.

Dan akhirnya aku bisa duduk dikereta cepat menuju Surabaya. Pertama kali nih naik kereta yang keren begini. Kebetulan sebelahku kosong dan nggak tau kenapa aku kok dapat bangku yang berhadapan. Tepat di depanku ada sepasang suami istri yang sudah lanjut usia terlihat duduk berdua sangat mesra. Jadi cemburu aku. Aku senyum pada mereka dan merekapu membalas senyumku. Tampak sangat bahagia, mereka berpegangan tangan dan si ibu menyandarkan kepalanya di bahu bidang suaminya. Masih terlihat sangat tampan dan si ibu juga cantik banget padahal usianya mungkin sudah diatas tujupuluh tahun. Mukanya sangat terawat dengan dandanan yang natural tapi memancarkan keanggunan. Ada terlihat kerutan-kerutan tipis dimukanya yang menambah daya tarik tersendiri wanita ini. Sementara sang lelaki dengan menggunakan mantel coklat krem nampak mempunyai kharisma dan ini pas muda pasti jadi rebutan cewek-cewek. Mukanya bersih dan punya karakter smiling face, adi tampak enak dipandang.

"Kalau saja suamiku masih hidup. Ingin rasanya aku bisa menua bersama seperti mereka. Bisa jalan-jalan berdua, menikmati masa tua dengan bahagia. Namun Tuhan berkehendak lain. Ya sudahlah." batinku yang iri melihat mereka sangat serasi dan terlihat rukun. Kupalingkan mukaku ke jendela kaca disampingku melihat sekitaran stasiun Gambir yang ramai hilir mudik banyak orang, entah pada mau kemana mereka. Rasa sepi menyelimuti jiwa. Nggak terasa butiran air keluar dari sudut mataku.

"Tissuenya dik" si ibu menyodorkan tissue kepadaku

"Terima kasih banyak bu" jawabku seraya menerima tissue dari si ibu

"Nama saya Erna dik"

"Saya Wati bu" kuhapus air mataku. Aku menjadi kikuk. Ternyata dari tadi mereka memprehatikan aku.

"Mau kemana bu?" kulanjutkan pembicaraanku agar aku tidak ditanya macam-macam

"Aku mau ke Semarang dan bapak mau ke Surabaya. Ya kan Pak" bu Erna mencubit pipi lelaki yang ada di sebelahnya dengan mesra dan saya yakin pasti itu suaminya, sementara si bapak terlihat tersipu dan hanya menganggukan kepala

"Oh iya beliau namanya pak Usman" lanjut bu Erna

"Bapak ini hebat banget lho. Kami pacaran dari mulai SMA, sampai sekarang lho. Ya kan pak?" tangan bu Erna nakal memainkan jari-jari pak Usman. Lelaki tua itu hanya senyum dan menanggukan kepalanya

Tak terasa kereta sudah melaju cepat dari tadi dan kami terlibat dalam percakapan yang hangat. Usia mereka seusia orang tuaku. Jadi serasa ketemu dengan orang tuaku pada saat kami berbagi cerita.

"Bagi rahasianya dong bu biar bisa rukun sampai tua seperti Bu Erna dan Pak Usman. Jujur saya ngiri sama kemesraan bapak dan ibu" tanyaku menyelidik

"Kuncinya hanya satu yaitu menjaga komunikasi dengan baik" kata Pak Usman yang dari tadi hanya terdiam

"Iya bener kata bapak, kuncinya harus selalu komunikasi satu dengan yang lain jangan sampai putus komunikasi" tambah bu Erna menyakinkan

"Hanya itu?" tanyaku lagi

"Iya" jawab mereka hampir kompak

Dan kami tertawa bertiga "Kompak amat" kataku

"Mungkin bener juga kali ya saling menjaga komunikasi denga baik" batinku membenarkan statement mereka bahwa komunikasi yang baik dan benar akan menjadi syarat utama sebuah rumah tangga yang langgeng.

"Dari kami SMA dulu kami saling kontek, saling mengetahui jadwal atau rencana, saling mengerti dan mengisi satu sama lain sampai sekarang" jelas pak Usman lagi

"Dan kami saling bercerita melalui telpon pada saat kita saling berjauhan sekalipun" lanjut bu Erna

"Wah hebat sekali ya" kataku

Kulihat tangan mereka tidak pernah terlepas saling berpegangan satu sama lain seolah tak mau terpisahkan, mata mereka saling berpandangan dan mereka tampak sangat bahagia menikmati perjalanan naik kereta jarak jauh ini.

"Wis arep tekan Semarang, wis ndhang siap-siap" kata Pak Usman

Kereta sudah hampir sampai stasiun Semarang jadi bu Erna mau persiapan turun, sedangkan Pak Usman masih lanjut sampai Surabaya.

"Udah sana siap-siap ke pintu belakang, takutnya nanti suamimu nglihat aku. Jangan sampai ribut-ribut lagi rumah tanggamu gara-gara aku. Malu sudah tua" kata pak Usman ke bu Erna dengan nada agak pelan namun masih sangat-sangat jelas terdengar

Mataku terbelalak "Whaaattt"

"Oh my God, jadi apa yang kita lihat baik ternyata belum tentu seperti yang kita lihat. Ternyata mereka berdua selingkuhan. Oh nooo" batinku berteriak. "Kok bisa"

Pak Usman tetap duduk tenang di kursi sementara bu Erna sudah sangat gelisah tapi akhirnya jalan juga ke pintu belakang sendiri. Dan kereta berhenti. Pak Usman tidak lagi melihat keluar jendela, malah sibuk dengan HP nya. "Wah playboy kacangan" batinku

Langsung hilang rasa simpatiku pada pak Usman.

"Erna adalah pacarku dari SMA, dia dijodohkan dengan pilihan orang tuanya dan saya menikah dengan orang lain, namun kami masih tetap berhubungan meskipun kami mempunyai pasangan masing-masing. Bahkan saat istriku sudah meninggal setahun yang lalu saya juga masih menjalin hubungan dengan Erna sembunyi-sembunyi dari suaminya" pak Usman mulai bercerita tentang masa-masa bersama bu Erna

Aku diam saja. "Bejat keduanya" makiku dalam hati

Sepanjang perjalanan ke Surabaya aku hanya terdiam dan tidak lagi mendengarkan apa-apa yang diceritakan pak Usman. Sampai akhirnya kereta sampai juga di stasiun Turi Surabaya.

Kami turun beriringan

"Dik Wati, maaf boleh minta nomer telponnya?" tanya pak Usman pada saat di peron

"Oh maaf pak, saya buru-buru. Itu sopir saya sudah menunggu. Senang berkenalan dengan bapak" jawab saya sambil berlalu berjalan terburu-buru

"Ngasih nomer telpon ke Pak Usman sama saja cari penyakit baru dalam hidupku"

Aku sangat bersyukur pada Tuhan atas segala takdir yang diberikan padaku, aku sangat bersyukur tidak mempunyai masalah seperti yang dialami oleh Pak Usman dan bu Erna. Tuhan itu baik, sebaik-baiknya pengatur kehidupan di dunia. Terima kasih Tuhan atas berkatmu pada kehidupanku.

Note : Jangan terlalu serius bacanya. hanya fiksi belaka, mendengar cerita temen saja hahaha

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun