Setelah Amien Rais menyatakan akan menggerakkan people power jika terjadi kecurangan pada Pemilu 17 April 2019 mendatang, kemudian tak lama berselang Habib Rizieq pun mengeluarkan pernyataan yang tak kalah garang, "hanya kecurangan yang bisa mengalahkan pasangan Probowo-Sandi".Â
Apa yang disampaikan 2 tokoh ini dalam pandangan saya mengandung suasana batin yang bernada ancaman, atau setidaknya mereka berdua melakukan fetakompli bahwa Prabowo-Sandi sudah pasti akan menang.
Kita bisa berandai-andai misalnya Prabowo-Sandi kalah, lantas pihak pasangan itu menuduh telah terjadi kecurangan, kemudian ancaman Amien Rais akan benar-benar dilakukan, yakni melakukan people power, membawa sebanyak mungkin massa ke KPU, lalu akan terjadi sengketa hasil Pilpres.Â
Masalah pertama adalah, kesimpulan adanya kecurangan itu siapa yang mengambil? atas dasar bukti obyektif dan empirik apa ? darimana dan dari siapa sumber-sumber itu diperoleh ? Bagaimana teknis verifikasi datanya? kemudian, bolehkah mereka mengklaim secara sepihak bahwa telah terjadi kecurangan sehingga mereka sah untuk melakukan people power sebagaimana yang mereka mau?Â
Baiklah, kita berandai-andai lagi. Jika benar terjadi kecurangan, lalu seberapa besar pengaruh kecurangan itu terhadap keabsahan hasil Pemilu menurut Undang-Undang Pemilu yang berlaku? atau misalnya terjadi kemungkinan bahwa kecurangan itu justru menguntungkan kubu mereka sendiri, apakah mereka tetap akan mengerahkan people power menuju KPU ? Secara logika, rasanya kok tidak mungkin kubu pasangan 02 menggrudug KPU bila, sekali lagi, bila, kecurangan itu menguntungkan kubu mereka.Â
Atau, adakah kemungkinan lain, misalnya pernyataan Amien Rais itu bermakna sebagai bahasa komunikasi yang sedang ingin mencoba meyakinkan publik bahwa " kubu kami pasti tidak akan melakukan kecurangan dan kalau ada kecurangan pasti dari pihak bukan kami". Kalau benar dengan penafsiran seperti ini, saya mengartikan bahwa Amien Rais dengan pernyataan itu secara eksplisit sedang mengatakan "kubu kami adalah pemenang, awas kalau kami kalah".
Setali tiga uang dengan Amien Rais, Habib Rizieq juga mengeluarkan statement yang hampir sama maknanya, bahkan dengan terang-terangan meyakini bahwa hanya kecurangan yang akan mengalahkan mereka.Â
Saya awam dalam hal politik dan hukum serta mengenai soal-soal yang berkaitan dengan Pemilu sehingga saya tidak tahu apakah pernyataan ini sebuah tekanan politik yang wajar dalam kontestasi politik ataukah sudah masuk dalam wilayah pelanggaran etika sebuah kompetisi politik.Â
Bila menggunakan pola berpikir dialektis, bukankah kalimat " hanya kecurangan yang bisa mengalahkan Probowo-Sandi" sama dan sebangun dengan " Pasangan Prabowo-Sandi pasti menang, kecuali dicurangi". Lalu, siapa yang curang ? tentu lawannya. Siapa lawannya ? pasangan 01 atau kalau bukan, pasti  'wasitnya', yakni KPU.Â
Kalau bukan itu, siapa lagi? Bila mencermati pernyataan kedua tokoh tersebut, mungkin banyak orang -termasuk saya- yang akhirnya tergiring untuk menyimpulkan bahwa Pemilu pada bulan April mendatang ini akan dipenuhi kecurangan, apalagi jika pasangan Capres-Cawapres nomor 02 kalah.Â
Dengan pendekatan dan cara penyikapan yang positivistik, kiranya pernyataan itu kurang pas disampaikan kepada publik. Bagaimanapun, para tokoh itu memiliki tugas paling utama yakni memberi teladan dan mendidik masyarakat untuk berprasangka baik ditengah suhu politik yang makin menghangat menjelang pelaksanaan Pilpres ini, bukannya malah menebarkan prasangka. Meyakini dan menuduh sesuatu keadaan sebelum sesuatu itu terjadi adalah sebuah hal yang terburu-buru, gegabah dan tidak bijak tentunya.Â
Benar, dalam dunia politik, persaingan meraih kekuasaan memang suatu keniscayaan tapi menjaga bangunan masyarakat yang kuat dengan cara menghindarkannya dari perpecahan adalah lebih penting dari sekedar perebutan kekuasaan.Â
Bangsa Indonesia memiliki catatan sejarah yang sangat layak untuk dijadikan teladan ketika Presiden Gus Dur diimpeach saat Amien Rais menjabat ketua MPR. Sebagai orang yang memiliki akar dan sejarah kuat dengan organisasi Nahdhatul Ulama, Gus Dur bisa saja menggunakan para loyalisnya untuk melakukan perlawanan hingga mungkin terjadi pertumpahan darah.Â
Tapi, dalam hal ini, Gus Dur memilih mengambil sikap sebagai negarawan. Keutuhan bangsa dan keamanan Nasional adalah lebih penting dari pada ambisi mempertahankan kekuasaan. Gus Dur meminta para pendukung dan loyalisnya yang telah berbondong-bondong ke Jakarta agar pulang ke daerahnya masing-masing.
Amien Rais dan Habib Rizieq telah mengambil keputusan berada dalam posisi mendukung salah satu pasangan Capres-Cawapres yang akan berlaga pada 17 April 2019 mendatang. Keduanya sama-sama berangkat dan 'besar' dari sebuah oraganisasi massa yang memiliki pengikut dengan tingkat loyalitasnya masing-masing.Â
Saya percaya, mereka berdua memiliki cita-cita dan impian yang indah terhadap bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sebagai seorang akademisi, Amien Rais rela bersusah-susah membidani PAN dan berpolitik praktis, sementara Habib Rizieq sebagai tokoh FPI yang merupakan ormas keagamaan akhirnya secara terbuka masuk dalam pusaran persaingan kekuasaan, yakni menjadi bagian dari salah satu kubu Capres.Â
Namun demikian, kecintaan dan obsesi mereka tentang Indonesia yang lebih baik selayaknya juga harus memperhatikan perihal pendewasaan cara pandang masyarakat terhadap persaingan politik dengan memberi pendidikan berpolitik yang menghindarkan terjadinya potensi rusaknya kohesivitas sosial dengan pernyataan-pernyataan yang memicu terjadinya prasangka sosial akibat perbedaan pandangan atau pendapat.
Para pembaca yang budiman, percayalah saya tidak bermaksud membuat tulisan ini sebagai bagian dari usaha mengkampanyekan pasangan 01 dan menyerang pasangan 02. Saya hanya berusaha untuk mengajak anda mencermati pola komunikasi politik yang dibangun oleh para pendukung kandidat calon presiden dalam pilpres tahun ini.Â
Pasangan 01 sudah pasti memiliki beberapa hal yang saya belum faham dan karena itu ada beberapa ketidaksetujuan saya terhadap jenis pilihan komunikasi politik maupun jargon kampanye yang digunakan. Optimisme menuju kemenangan meraih kekuasaan memang sudah sewajarnya dilakukan oleh masing-masing kubu.Â
Tapi, optimisme itu tetap harus terukur, bukannya dengan menyampaikan kepada publik dengan pilihan idiomatik "hanya kecurangan yang bisa mengalahkan saya". Harap diingat bahwa dalam kontestasi politik, berbagai kemungkinan bisa saja terjadi, termasuk menang atau kalah.
Kalau mengenai siapa yang akan saya pilih pada Pilpres tanggal 17 April mendatang, saya adalah orang yang taat asas Pemilu, yaitu Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H