Seperti dalam sinetron-sinetron. Ada scenario balas dendam. Ini menjadi seru untuk dibahas bahwa masyarakat Indonesia—lagi-lagi tidak bisa digeneralisir—bahwa masyarakat Indonesia sebenarnya cemas, untuk menghilangkan kecemasan itu mereka melakukan sebuah permainan panggung bahwa mereka harus tidak takut. Coba kita ibaratkan dengan panggung depan dan panggung belakang.
Panggung depan : Kami tidak takut; ngumpul, berjualan, selfie di TKP
Panggung belakang : Kami takut, “sini maju” lalu kabur
Ketika menyadari mengenai adanya panggung belakang, “nih sini maju” dan ketika ada teroris saya percaya bahwa masyarakat Indonesia akan berlarian jika ada bom yang menunjukkan bahwa sebenarnya mereka takut. Ini menjadi sebuah manajemen impresi, seperti yang teman saya jelaskan ketika ia menghadiri malam aksi damai bom sarinah. Ia menjelaskan bahwa salah satu pengunjung datang hanya untuk berfoto yang menujukkan tulisan “Star****s”. Sebuah manajemen impresi mengenai sebuah definisi keberanian dengan datang ke starbucks, padahal dalam hatinya saya percaya bahwa mereka takut. Dan saya percaya bahwa mereka yang berfoto akan mempublish foto mereka di sosial media dengan menggunakan hastag #KamiTidakTakut.
Lalu apa yang bisa dipelajari dari kasus ini? Jujur, saya takut dan saya cemas. Apakah nantinya jika kita bereaksi sedemikian frontalnya akan menimbulkan efek sinetron bahwa pelaku bom akan melakukan rencana yang lebih besar. Kecemas saya semakin menjadi ketika beberapa hari kedepan saya akan menghadiri sebuah konferensi internasional yang saya cemaskan akan merenggut nyawa saya—jika ternyata pelaku teroris melakukan balas dendam dengan melakukan bom kepada pihak internasional. Meskipun pihak internasional telah menjamin keamanan dari konferensi ini.