Mohon tunggu...
Kemas Achmad Mujoko
Kemas Achmad Mujoko Mohon Tunggu... Sociology of Development Student, Universitas Negeri Jakarta -

Equivalent Exchange

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Dua Sisi Mata Uang #KamiTidakTakut; Apa Benar Tidak Takut?

19 Januari 2016   21:25 Diperbarui: 19 Januari 2016   21:34 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

A          : hai teroris kami tidak takut!!!

B          : baik, kami akan menyiapkan serangan lebih besar

 

“Selamat datang di Indonesia, dimana manusia berkumpul di kejadian bom, ketika berjualan di TKP adalah indicator keberanian, ketika berfoto di TKP adalah unjuk gigi keberanian, dan ketika kematian telah menjadi sebuah ketakutan bukan lagi kecemasan.”

 

“Welcome to Indonesia, where are peoples are gathering in the Crime Scene, when seller is selling in the Crime Scene, when selfie is an indicator of braveness, and death has been an afraid of, not a solicitude.”

 

Kegeraman saya terkait dengan #KamiTidakTakut sudah sangat memuncak, bukannya berarti saya tidak peduli dengan gerakan ini . Gerakan yang menunjukkan respon Indonesia terkait terorisme yang terjadi 14 Januari lalu di area Sarinah. Saya hanya mengkritisi terkait dengan kejanggalan respon dari masyarakat terkait hal ini, yaitu #KamiTidakTakut. Membuat saya agak berpikir ulang mengenai definisi berani dan tidak takut ala Indonesia. Ah menurut saya ini sangat lucu untuk dibahas ketika Indonesia sedang berduka ditengah ancaman terror yang ada. Saya sangat geram dengan respon masyarakat Indonesia yang menggunakan #KamiTidakTakut yang seolah-olah “kami berani”, ya berani, berani mengambil resiko.

 

Apakah #KamiTidakTakut artinya dengan berkerumul di Tempat Kejadian Perkara? Hal yang begitu unik yang terjadi di Indonesia. Saya berbincang dengan teman saya yang kebetulan berwarga Negara asing, ia bertanya, mengapa orang Indonesia begitu beraninya berkumpul untuk melihat kejadian terorisme? Sayapun menjawab dengan pasti, “selamat datang di Indonesia”. Ia pun tertawa. Saya jelaskan kembali mengenai Indonesia—meskipun ia telah berada di Indonesia hampir 1 tahun lamanya. Bahwa di Indonesia menurut saya masyarakatnya lupa akan definsi tidak takut dengan mengambil resiko. Menurutnya hanya di Indonesia orang-orang berkumpul ketika terjadi sebuah masalah, dan saya turut menanggapi, bukan berarti mereka peduli, namun hanya ingin tahu, cukup ingin tahu—atau bahkan mengambil foto dan bereksis ria di sosial media.

 

Namun saya tidak bisa mengeneralisir bahwa asumsi saya 100% benar. Saya mengutip status facebook seorang teman, begini statusnya:

“Benarkah saya tidak takut?

Ketika melepas anak saya ke sekolah tadi, saya peluk dia terlalu lama. Kemarin, saya hampir marah-marah tidak perlu karena telepon genggam si mbak tidak diangkat waktu saya mau cek keadaan mereka. Saya juga marah karena ada orang baik yg saya kenal yang terluka. Saya cemas pada kondisi orang-orang terdekat dan terkasih yang sendirian dan masih ada di jalan.

Tentu saya takut. Dan saya katakan itu pada anak saya supaya dia tahu bahwa tidak apa-apa untuk merasa takut. Takut akan membuat dia waspada, tidak ikut berkerumun jika ada suara letusan. Tidak turun ke jalan karena dorongan rasa ingin tahu. Takut adalah wajar karena kita tahu bahaya adalah nyata dan kita punya insting untuk bertahan hidup.

Tapi saya katakan juga bahwa dalam kondisi seburuk apapun kita bisa tetap tenang. Karena kita tahu apa yg harus dilakukan. Karena kita saling menjaga. Karena di sekeliling kita ada sistem keamanan yg bekerja. Karena kita punya terlalu banyak rencana untuk bisa dilumpuhkan.

Semoga hari ini semua aman.”

 

Saya setuju dengan pendapatnya mengenai rasa takut. Berani bukan berarti berani berkumpul di area yang jelas-jelas status keamanannya diragukan, bahkan pelaku terorisme juga berada di kumpulan tersebut. Kadang kita lupa bahwa keberanian tidak sama dengan mengambil resiko, kita harus berani merespon terorisme, tapi tidak menantang terorisme. Kita harus berani berkata tidak pada terorisme, namun kita tidak harus berani mati konyol karena penasaran dengan kejadian terorisme.

Namun saya lagi-lagi tidak bisa menjeneralisir. Teman saya turut datang ke acara peringatan dan aksi damai tragedy Sarinah. Tujuan dari kegiatan ini menurut saya sangat bagus ketika mengingatkan kita bahwa kita harus berpangku tangan untuk memberantas terorisme, namun sebaliknya teman saya menjelaskan bahwa ia menemukan orang-orang yang datang hanya untuk berfoto, bukan untuk menujukkan empatinya kepada korban dan tragedy sarinah. Sangat menyedihkan menurut saya ketika acara peringatan yang seharusnya menjadi indicator sebuah kepedulian menjadi sebuah pengingkaran akan empati kepada tragedy, dan menjadi lupa akan berwaspada. Bahkan menurut penuturan teman saya, ada salah seorang pengunjung yang hanya ingin berfoto dengan polisi dan anehnya polisi turut mengiyakan. Ini menjadi sebuah kritik lagi, apakah pakaian polisi merupakan sebuah identitas pengamanan dan pengayom atau hanya sekedar eksistensi belaka?

 

Ini yang lucu lagi, saya tidak bisa mendefinisikan bahwa seluruh warga masyarakat Indonesia sama dalam mendefinisikan keberanian. Namun yang saya lihat di Indonesia begitu mudah mendefinisikan bahwa berani adalah dengan berjualan di area TKP—oh iya jangan lupa bahwa Indonesia disini bukan masyarakat Indonesia sepenuhnya, namun hanya segelintiran orang. Kesannya adalah ini adalah hal yang biasa-biasa saja. Apakah ini menjadi sebuah indicator bahwa masyarakat Indonesia benar-benar tidak takut, atau justeru masyarakat Indonesia adalah acuh?

 

Justeru menurut saya respon ini menjadi seperti 2 sisi mata uang. Disatu sisi asumsi “biasa-biasa saja” merupakan asumsi yang membuat para pelaku yang bersembunyi di belakang terror ini menjadi “ah masyarakat Indonesia gak mempan di bom”, tapi disisi lain ini bisa menjadi “ah kita harus melakukan terror yang lebih besar”.

 

Martin Heidegger menjelaskan terdapat perbedaan yang amat jelas mengenai Kecemasan dan Ketakutan. Menurutnya setiap hal yang kita ketahui apa objek yang jelas yang menunjukkan suatu perasaan disebut ketakutan, misalnya takut dipenjara karena membunuh, kita sudah mengetahui apa penyebab ketakutan kita, sudah jelas. Namun ada sebuah perasaan dimana kita tidak mengetahui tentang objek dari perasaan yang menghampiri kita, disebut kecemasan. Kecemasan ini hanya terjadi pada ranah eksitensi kita—atau menurut Heidegger sebagai Dasein. Ketika eksistensi kita dipertanyakan atau akan diakhiri ini menyebabkan perasaan kecemasan karena kita tidak tahu apa objek yang membuat perasaan ini. Pengakhiran eksistensi ini adalah kematian, kita tidak pernah tahu bagaimana caranya kita akan mati. Satu-satunya yang pasti di muka bumi ini adalah kematian—padahal menurut saya masa lalu juga merupakan sebuah kepastian. Kita tidak tahu bagaimana kita akan mati nantinya, kapan, dan dimana. Kita cemas akan kematian, terlebih ketika kita berada di posisi “memiliki”. Memiliki orang yang dikasihi, memiliki capital sosial, memiliki kekayaan, memiliki kebahagiaan, memiliki eksistensi. Misalnya ketika kita sedang bahagia, tiba-tiba kita mati, maka kematian ini merupakan pemutusan akses dari yang ADA kepada sebuah pengakhiran eksistensi manusia. Ini dibuktikan misalnya kematian seorang sahabat dibanding kematian anak jalanan. Orang yang memiliki posisi semakin “memiliki” cenderung akan dirindukan oleh orang-orang yang esksi di dunia (ada)—misalnya dengan isak tangis yang luar biasa, sementara berbeda dengan orang dengan derajat kepemilikan yang rendah akan cenderung tidak terlalu ditangisi.

 

Berbicara tentang kematian dan kecemasan menurut Heidegger. Ini sangat berkorelasi dengan respon #KamiTidakTakut. Kita lihat mengenai rasa cemas dan pemutusan akses. Kita harus melihat kecemasan dan kematian ini sebagai sebuah polaritas, bukan sebuah bineritas. Kita melihat kematian yang disebabkan karena kecemasan yang tinggi, dengan kematian yang disebabkan karena ketakutan yang tinggi. Dalam kasus #KamiTidakTakut mengindikasikan sebuah pergeseran rasa cemas menjadi rasa takut. Manusia menjadi semakin jelas akan cara mereka untuk mati—sebut saja jika mereka mati jelas karena di bom. Dan kita bisa lihat dari posisi kepemilikan sendiri, ini mungkin studi kasus yang sederhana dari teman saya yang memposting status facebook seperti di atas. Ia menurut saya adalah orang yang “memiliki” sehingga ia cemas dengan ketidakpastian. Atau simplifikasinya adalah orang “kaya” akan cenderung menghindar dari lokasi kejadian TKP ketimbang orang “miskin”. Hal yang sangat particular dalam pendefinisian #KamiTidakTakut menurut saya. Takut seharusnya menjadi sebuah ide untuk membawa kita menuju sebuah cara bagaimana kita mencari kemanan dan menekan rasa cemas kita menjadi rasa aman.

 

Lucu lagi ketika menggunakan teori Dramaturgi dari Erving Goffman. Ia menjelaskan bahwa hidup ini seperti panggung sandiwara, terdapat frontstage dan backstage. Baru saja saya tadi mendengar sebuah kritik dari sebuah stasiun radio yang kira-kira seperti ini kesimpulannya;

A                      :Kami tidak takut

Teroris            : Hahaha, kita lihat saja nanti (dengan nada antagonis)

 

Seperti dalam sinetron-sinetron. Ada scenario balas dendam. Ini menjadi seru untuk dibahas bahwa masyarakat Indonesia—lagi-lagi tidak bisa digeneralisir—bahwa masyarakat Indonesia sebenarnya cemas, untuk menghilangkan kecemasan itu mereka melakukan sebuah permainan panggung bahwa mereka harus tidak takut. Coba kita ibaratkan dengan panggung depan dan panggung belakang.

 

Panggung depan       : Kami tidak takut; ngumpul, berjualan, selfie di TKP

Panggung belakang  : Kami takut, “sini maju” lalu kabur

 

Ketika menyadari mengenai adanya panggung belakang, “nih sini maju” dan ketika ada teroris saya percaya bahwa masyarakat Indonesia akan berlarian jika ada bom yang menunjukkan bahwa sebenarnya mereka takut. Ini menjadi sebuah manajemen impresi, seperti yang teman saya jelaskan ketika ia menghadiri malam aksi damai bom sarinah. Ia menjelaskan bahwa salah satu pengunjung datang hanya untuk berfoto yang menujukkan tulisan “Star****s”. Sebuah manajemen impresi mengenai sebuah definisi keberanian dengan datang ke starbucks, padahal dalam hatinya saya percaya bahwa mereka takut. Dan saya percaya bahwa mereka yang berfoto akan mempublish foto mereka di sosial media dengan menggunakan hastag #KamiTidakTakut.

 

Lalu apa yang bisa dipelajari dari kasus ini? Jujur, saya takut dan saya cemas. Apakah nantinya jika kita bereaksi sedemikian frontalnya akan menimbulkan efek sinetron bahwa pelaku bom akan melakukan rencana yang lebih besar. Kecemas saya semakin menjadi ketika beberapa hari kedepan saya akan menghadiri sebuah konferensi internasional yang saya cemaskan akan merenggut nyawa saya—jika ternyata pelaku teroris melakukan balas dendam dengan melakukan bom kepada pihak internasional. Meskipun pihak internasional telah menjamin keamanan dari konferensi ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun