Mohon tunggu...
Kemas Achmad Mujoko
Kemas Achmad Mujoko Mohon Tunggu... Sociology of Development Student, Universitas Negeri Jakarta -

Equivalent Exchange

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Dua Sisi Mata Uang #KamiTidakTakut; Apa Benar Tidak Takut?

19 Januari 2016   21:25 Diperbarui: 19 Januari 2016   21:34 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini yang lucu lagi, saya tidak bisa mendefinisikan bahwa seluruh warga masyarakat Indonesia sama dalam mendefinisikan keberanian. Namun yang saya lihat di Indonesia begitu mudah mendefinisikan bahwa berani adalah dengan berjualan di area TKP—oh iya jangan lupa bahwa Indonesia disini bukan masyarakat Indonesia sepenuhnya, namun hanya segelintiran orang. Kesannya adalah ini adalah hal yang biasa-biasa saja. Apakah ini menjadi sebuah indicator bahwa masyarakat Indonesia benar-benar tidak takut, atau justeru masyarakat Indonesia adalah acuh?

 

Justeru menurut saya respon ini menjadi seperti 2 sisi mata uang. Disatu sisi asumsi “biasa-biasa saja” merupakan asumsi yang membuat para pelaku yang bersembunyi di belakang terror ini menjadi “ah masyarakat Indonesia gak mempan di bom”, tapi disisi lain ini bisa menjadi “ah kita harus melakukan terror yang lebih besar”.

 

Martin Heidegger menjelaskan terdapat perbedaan yang amat jelas mengenai Kecemasan dan Ketakutan. Menurutnya setiap hal yang kita ketahui apa objek yang jelas yang menunjukkan suatu perasaan disebut ketakutan, misalnya takut dipenjara karena membunuh, kita sudah mengetahui apa penyebab ketakutan kita, sudah jelas. Namun ada sebuah perasaan dimana kita tidak mengetahui tentang objek dari perasaan yang menghampiri kita, disebut kecemasan. Kecemasan ini hanya terjadi pada ranah eksitensi kita—atau menurut Heidegger sebagai Dasein. Ketika eksistensi kita dipertanyakan atau akan diakhiri ini menyebabkan perasaan kecemasan karena kita tidak tahu apa objek yang membuat perasaan ini. Pengakhiran eksistensi ini adalah kematian, kita tidak pernah tahu bagaimana caranya kita akan mati. Satu-satunya yang pasti di muka bumi ini adalah kematian—padahal menurut saya masa lalu juga merupakan sebuah kepastian. Kita tidak tahu bagaimana kita akan mati nantinya, kapan, dan dimana. Kita cemas akan kematian, terlebih ketika kita berada di posisi “memiliki”. Memiliki orang yang dikasihi, memiliki capital sosial, memiliki kekayaan, memiliki kebahagiaan, memiliki eksistensi. Misalnya ketika kita sedang bahagia, tiba-tiba kita mati, maka kematian ini merupakan pemutusan akses dari yang ADA kepada sebuah pengakhiran eksistensi manusia. Ini dibuktikan misalnya kematian seorang sahabat dibanding kematian anak jalanan. Orang yang memiliki posisi semakin “memiliki” cenderung akan dirindukan oleh orang-orang yang esksi di dunia (ada)—misalnya dengan isak tangis yang luar biasa, sementara berbeda dengan orang dengan derajat kepemilikan yang rendah akan cenderung tidak terlalu ditangisi.

 

Berbicara tentang kematian dan kecemasan menurut Heidegger. Ini sangat berkorelasi dengan respon #KamiTidakTakut. Kita lihat mengenai rasa cemas dan pemutusan akses. Kita harus melihat kecemasan dan kematian ini sebagai sebuah polaritas, bukan sebuah bineritas. Kita melihat kematian yang disebabkan karena kecemasan yang tinggi, dengan kematian yang disebabkan karena ketakutan yang tinggi. Dalam kasus #KamiTidakTakut mengindikasikan sebuah pergeseran rasa cemas menjadi rasa takut. Manusia menjadi semakin jelas akan cara mereka untuk mati—sebut saja jika mereka mati jelas karena di bom. Dan kita bisa lihat dari posisi kepemilikan sendiri, ini mungkin studi kasus yang sederhana dari teman saya yang memposting status facebook seperti di atas. Ia menurut saya adalah orang yang “memiliki” sehingga ia cemas dengan ketidakpastian. Atau simplifikasinya adalah orang “kaya” akan cenderung menghindar dari lokasi kejadian TKP ketimbang orang “miskin”. Hal yang sangat particular dalam pendefinisian #KamiTidakTakut menurut saya. Takut seharusnya menjadi sebuah ide untuk membawa kita menuju sebuah cara bagaimana kita mencari kemanan dan menekan rasa cemas kita menjadi rasa aman.

 

Lucu lagi ketika menggunakan teori Dramaturgi dari Erving Goffman. Ia menjelaskan bahwa hidup ini seperti panggung sandiwara, terdapat frontstage dan backstage. Baru saja saya tadi mendengar sebuah kritik dari sebuah stasiun radio yang kira-kira seperti ini kesimpulannya;

A                      :Kami tidak takut

Teroris            : Hahaha, kita lihat saja nanti (dengan nada antagonis)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun