2. Uang & Ruang Publik
Sebenarnya Pemprov DKI Jakarta sudah progresif dengan berbagai macam kebijakannya yang dirintis sejak Jokowi menjadi Gubernur, hingga diteruskan oleh Ahok sesudah Jokowi diangkat menjadi Presiden. Mulai dari Kartu Jakarta Sehat, Kartu Jakarta Pintar, Rumah Susun Sewa, pembangunan taman, danau, dan waduk, pemasangan parkir meter di berbagai tempat, revitalisasi pasar, pengembangan Transjakarta, dan MRT yang pada akhirnya dapat berjalan hingga saat ini pengeboran terowongan MRT telah berlangsung sepanjang ratusan meter.
Semestinya, jodoh dari Rumah Susun Sewa dan berbagai kebijakan progresif Jokowi-Ahok lainnya adalah sarana Transportasi Publik, bukan jalan Tol Dalam Kota.
Walaupun jumlah mobil pribadi di Jakarta sedemikian berlimpah ruah berceceran di jalan-jalan, harus diingat bahwa hanya sekitar 30% dari warga Jakarta yang memiliki mobil, sisanya menumpang transportasi publik atau naik motor, hingga - entah bagaimana ceritanya - menggelembungkan jumlah motor di kota ini hingga hampir dua kali lipat jumlah penduduknya.
Tujuh puluh persen warga DKI Jakarta yang tidak memiliki mobil pribadi tidak akan atau akan sangat jarang menikmati Tol Dalam Kota yang akan dibangun. Pembangunan enam ruas tol dalam kota ini memang tidak sepenuhnya menggunakan uang pajak masyarakat karena pembangunannya melibatkan investor, tetapi harus diingat bahwa yang dikorbankan bukan hanya uang publik, melainkan juga ruang publik.
Ruang yang dijadikan jalan Tol Dalam Kota tersebut adalah ruang yang sangat berharga untuk publik secara keseluruhan, bukan hanya bagi 30 persen warga yang memiliki mobil. Jika ada rasio yang sangat penting untuk ditingkatkan saat ini, dan merupakan hak seluruh warga negara untuk dapat hidup dengan layak dan sehat, adalah rasio luas ruang terbuka hijau, jalur pedestrian, plaza milik publik, dan berbagai macam ruang terbuka publik lainnya.
Dan jika ada sarana transportasi yang sangat mendesak untuk dikembangkan dan layak untuk dibayar menggunakan uang dan ruang publik, adalah melanjutkan studi dan secepat-cepatnya menggarap jalur MRT Timur-Barat. Karena sebagian dari 3 juta pengguna mobil di kota ini, dan tentu saja hampir seluruh dari pengguna motor, serta banyak sekali warga di kota ini yang setiap hari harus bertransportasi dengan cara yang primitif karena terpaksa oleh situasi. Mahal, melelahkan, berbahaya, tidak nyaman, macet, seperti hewan. Uang dan ruang milik publik selayaknya digunakan untuk sebesar-besar kepentingan publik.
Jalur MRT Timur-Barat sangat penting bagi warga kota ini, karena ia akan menghubungkan pusat-pusat pemukiman di daerah Barat Jakarta, juga untuk meneruskan perjalanan dari Tangerang dan sekitarnya, menuju kawasan pusat perekonomian dan pemerintahan di Jakarta Pusat, kawasan perindustrian di Jakarta Timur, sekaligus menjadi pintu gerbang dari arah Bekasi.
3. Transportasi Publik Berbasis Rel
Â
Dalam transportasi berbasis kendaraan pribadi, pengetahuan, rencana, kontrol, pertimbangan, dan keputusan dalam bertransportasi dilakukan di sepanjang perjalanan bagaikan hampir tanpa rencana, oleh masing-masing kepala yang mengemudikan setiap kendaraan, bahkan masing-masing kepala tadi akan memiliki emosi, kelelahan, dan kesehatan jiwanya masing-masing; setiap kendaraan melaju dengan kondisi mesin, ban, dan baterai yang berbeda-beda. Maka kira-kira cukup tepat jika ada satu kata yang dapat menggambarkannya dengan tepat: Anarkis.